Jumat, 25 Januari 2013

HITAM PUTIH PENAMBANGAN PASIR: STUDI KASUS DESA TANJUNG BURUNG, KECAMATAN TELUK NAGA, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN


HITAM PUTIH PENAMBANGAN PASIR:
STUDI KASUS DESA TANJUNG BURUNG, KECAMATAN TELUK NAGA, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN







Disusun oleh :
Andi Guna
M. Marwan Rifai
Rio Cahyo Saputro
Rusmiati Sintia Dewi
Zsa ZSa Ryana

Abstrak
Desa Tanjung Burung, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, sebuah desa di pesisir pantai utara Pulau Jawa yang di sebelah baratnya dilalui Sungai Cisadane ini, memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang melimpah, terutama pasir lautnya. Hal itu membuat ketertarikan perusahaan-perusahaan yang menggunakan pasir sebagai barang komoditasnya, bekerja sama dalam memanfaatkan potensi pasir laut tersebut bersama pihak warga desa. Ternyata, kerja sama yang diharapkan tidak “semanis” seperti yang diidealkan. Kami melihat banyaknya kontroversi dan konspirasi terkait permasalahan kondisi lingkungan yang dihadapkan dengan kebutuhan ekonomi dan kepentingan politik. Karya tulis ini berupaya mendeskripsikan permasalahan penambangan pasir tersebut terkait aspek ekologis, ekonomi, dan politik, dengan berbagai data yang kami dapat dari hasil wawancara langsung narasumber dan kesekretariatan desa Tanjung Burung, didukung dengan berbagai studi kepustakaan dan referensi.
Kata kunci: penambangan, pasir [laut], ekologi, ekonomi, politik.

Pendahuluan
Peradaban panjang Indonesia telah membuktikan bagaimana peran pesisir dalam siklus pembentukan tatanan masyarakat. Kawasan pesisir berperan sebagai kota-kota pelabuhan. Sungai seolah menjadi pusat peradaban dan pusat kegiatan yang tiada henti bagi mereka. Dalam hal ini, dapat kita ketahui bahwa bagaimana orang sejak dulu telah menyadari betapa besarnya peranan dari sungai demi keberlangsungan hidup manusia.
Desa Tanjung Burung sebagai salah satu desa yang dilalui sungai tentu menjadi suatu hal yang istimewa. Disadari atau tidak, potensi sumber daya desa Tanjung Burung dapat dieksplor dan tentu menjanjikan keuntungan berlimpah. Pasir laut dan sungai menjadi potensi utama di Desa Tanjung Burung. Sejak tahun 80-an penambangan pasir di desa ini telah ada. Demikian pula eksplorasi penambangan pasir sungai hingga sekarang masih tetap berlangsung.
Faktanya, penambangan pasir yang masih berlangsung hingga saat ini mengundang kontroversi dari berbagai kalangan. Benturan-benturan kepentingan seringkali terjadi dan menjadi alasan utama munculnya kontroversi tersebut. Kepentingan ekonomi, lingkungan, maupun politik menjadi beberapa aspek yang terlibat. Kontroversi yang terjadi tentu tak luput dari perhatian masyarakat desa. Disadari atau tidak, mereka tentu dapat merasakan dampak positif maupun negatif dari penambangan pasir yang ada di sepanjang pinggiran sungai Cisadane yang melalui Desa Tanjung Burung tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan, penulis berusaha fokus untuk meneliti bagaimana kontroversi penambangan pasir ini terjadi. Dalam artian, peneliti lebih menitikberatkan pada kajian aspek ekologis, politik dan ekonomi penambangan pasir di desa tersebut.
Metode penelitian ini ialah penelitian langsung di lapangan yang dilakukan secara kualitatif. Metode kualitatif yang dipakai bertujan demi menguak kontroversi penambangan pasir yang ada serta bagaimana kepentingan politik, ekonomi, dan lingkungan bermain dalam arena ini. Selain penelitian langsung di lapangan, peneliti juga melakukan studi pustaka untuk kajian lebih lanjut serta referensi terkait dengan penelitian ini.
Untuk menggambarkan hasil penelitian secara lebih sistematis, maka hasil penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian, di antaranya gambaran umum Desa  Tanjung Burung, kajian ekologis terhadap penambangan pasir di Desa Tanjung Burung, kajian ekonomi terhadap penambangan pasir di Desa Tanjung Burung, dan kajian politik terhadap penambangan pasir di Desa Tanjung Burung.

Gambaran Umum Desa Tanjung Burung
            Secara geografis, Desa Tanjung Burung yang terletak di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten ini, berada di sekitar pesisir pantai utara jawa. Laut Jawa menjadi batas administrasi sebelah utara desa ini, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan jalan raya utama Teluk Naga. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung Pasir, dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane yang memanjang dari utara ke selatan desa ini.[1][1]
            Dari potensi alamnya, kondisi di Desa Tanjung Burung terbilang cukup melimpah. Terbukti dari luas lahan daratan dan perairan[i1] [i1] yang menjadi potensi besar desa ini. Meski terbilang luas dan potensial, namun itu semua tidak mewujud menjadi hal yang dapat membuat warga setempat memperoleh hasil yang memadai. Lahan-lahan yang ada tidak termanfaatkan dengan baik. Seperti lahan yang ada di beberapa ratus meter sebelah utara gapura Desa Tanjung Burung, yang lahannya malah dijadikan peternakan sapi Tum[2][2]. Dan, beberapa ratus meter ke utara, terlihat adanya tumpukan sampah plastik yang dipilah oleh warga sekitar, yang kemudian menjual sampah hasil pilahan tersebut ke perusahaan yang mau membelinya untuk diolah. Padahal, jika lahan peternakan sapi dan lokasi pemilahan sampah plastik tersebut digunakan oleh warga sekitar untuk keperluan – misalnya – pertanian, pertambakan, atau perladangan, hasil dari pengolahan lahan itu bisa dirasakan langsung oleh warga setempat. Bukan seperti yang sedang terjadi saat ini.
Meski memang benar pada kenyataannya juga telah banyak lahan yang dimanfaatkan warga untuk pertanian, perladangan, pertambakan, dan peternakan rumahan (kecil), namun pemandangan tidak mengenakkan seperti pemilahan sampah plastik, atau pembuangan limbah galangan kapal ke aliran sungai Cisadane, tidak dapat dipungkiri lagi. Seandainya hal itu tidak perlu terjadi, mungkin kehidupan ekonomi warga Desa Tanjung Burung yang seperti mereka impikan dapat secara stabil diwujudkan bersama kelestarian lingkungan dan keasriannya.
Bapak Guntur, selaku warga desa ini sekaligus pengamat lingkungan, mengungkapkan[3][3] :
“..., kita gak suka sama hadirnya peternakan [sapi] itu, apalagi waktu warga ditawarin [proyek] kompos oleh Tum itu. Itu nanti baunya ke mana-mana, limbah pembuangannya langsung ke kali [Cisadane]. Terus, galangan [kapal] itu yang ada di kanan jalan kalo dari sini, itu juga kita gak suka. Bau dari catnya, terus limbah minyak dan karbit yang dibuangnya ke kali, bikin bau di sini, terus ikan pada mati. Ditambah lagi setahun terakhir ini, di kiri jalan kalo dari sini, ada tumpukan sampah plastik yang ntar dipilih-pilih mana plastik yang masih bagus buat dijual lagi ke PT.... Tapi, kita gak dapet apa-apa. Malah orang-orang atas (elit politik) yang dapet hasilnya dari peternakan dan galangan itu…”
            Dengan keadaan yang seperti itu, masyarakat setempat telah mendaya-gunakan lahannya untuk membuat tambak. Selain tambak, masyarakat desa ini juga ada yang menggantungkan penghasilannya pada laut dan sungai dengan menjadi nelayan. Di sisi lain, juga terdapat suatu potensi melimpah yang dimiliki desa ini selain lahan perkebunan, tambak, dan perairan. Yakni, pasir laut (dan sungai). Sebelah utara desa yang berbatasan dengan (pesisir) laut dan memanjang di sebelah barat dari utara ke selatan Sungai Cisadane, membuat desa ini dianugerahi pasir laut yang melimpah. Hingga menjadi sebab kenapa sekarang ini banyak penambangan pasir di daerah aliran sungai Cisadane sampai ke muara.
            Lalu, bagaimana kehidupan masyarakatnya? Ternyata, kehidupan sosial masyarakatnya di sini cukup unik, jika kita melihat dan terbiasa dengan kehidupan kota Jakarta saat ini. Terbukti dari kebiasaan-kebiasaan kaum ibu-ibu yang menghadiri suatu acara kondangan. Mereka menghadiri acara kondangan dengan bersama-sama dengan tetangga sedesanya (atau satu RW) dan terkoordinasi oleh koordinatornya. Selain kondangan, ibu-ibu juga aktif dalam kegiatan yang disosialisasikan oleh komunitas PKK setempat. Tidak hanya ibu-ibu, para bapak-bapak dan remaja laki-laki pun punya kegiatan unik, yakni ber-silat. Para jawara silat di sini masih mumpuni, termasuk Pak Sarnubi.
            Pola interaksi antar anggota masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal, secara umum terbilang baik. Terlihat dari interaksi-interaksi warganya yang dinilai masih tergolong guyub atau oleh Durkheim disebut memiliki solidaritas mekanik.[4][4] Terdapat beberapa pendapat dari warga sekitar, salah satunya pendapat dari Pak Guntur yang diselingi oleh ungkapan-ungkapan dari Pak Sarnubi dengan mengatakan bahwa pola interaksi maasyarakat di desa ini masih cenderung ramah dan tidak berbeda jauh dari pola interaksi 15 tahun yang lalu. Mereka mengatakan[5][5] :
“ … kalo di masyarakat sini sekarang mah, gak beda jauh sama yang dulu-dulu. Bedanya mah, paling kalo lagi kumpul-kumpul, yang dulu biasanya jalan kaki atau naik sepeda, sekarang udah pake motor. Yang bikin heran, udah ada motor, malah sering dateng telat. Padahal dulu waktu jalan kaki atau sepeda, jarang yang telat, eh, sekarang malah pada telat begitu pada punya motor. Kita mah gak tau yah kenapa bisa telat, tapi kita gak boleh suudzan (buruk sangka). Mereka kan juga manusia biasa, punya kegiatan sendiri juga, begitulah istilahnya. … “
            Mungkin, dari ungkapan warga melalui Pak Guntur dan Pak Sarnubi tersebut, tersirat bahwa telah ada sedikit perubahan pola interaksi pada masyarakat setempat, ditandai dari perubahan kebiasaan-kebiasaan. Hal itu pun ditegaskan oleh Bapak Hasan Basri, selaku sekretaris desa Tanjung Burung, dalam pernyataannya bahwa masyarakat desa Tanjung Burung ini telah sedikit berubah, ditambah lagi dengan suasana politik Indonesia yang mereka anggap sedang semrawut ini dan masuknya parpol-parpol ke desa.
            Seperti itulah kondisi geografis dan kehidupan sosial berbudaya masyarakat Desa Tanjung Burung. Mengenai proses penambangan pasir dan aspek-aspek tertentu di dalamnya, akan dibahas pada sub-bab pembahasan berikutnya.
            Terkait mengenai potensi pasir di Desa Tanjung Burung, memang sudah sejak lama sumber daya alam pasir ini tersedia. Tidak ada yang tahu pasti kapan pasir laut ini mulai ada di daerah ini. Para narasumber yang kami wawancarai pun mengakui tidak mengetahui secara pasti kapan pasir laut di desa ini mulai ada. Mereka mengungkapkan bahwa pasir laut di sini sudah ada sejak lama, bahkan mungkin sebelum desa ini ada, namun mulai ada penambangan pasir laut itu mulai tahun 80-an.[6][6]
            Beberapa narasumber kami yang berprofesi sebagai penambang pasir, warga desa, maupun tokoh masyarakat menilai bahwa pasir laut di desa ini (dan di desa-desa yang berada di daerah aliran sungai Cisadane dan sekitar muara) cukup bagus, melimpah, dan murah.[7][7] Kualitasnya yang dinilai baik oleh pihak penambang dan pembeli pasir, membuat pasir laut di desa ini menjadi barang komoditas ekonomi yang menjadi andalan desa Tanjung Burung saat ini.[8][8] Jumlah yang melimpah dan terbilang murah pun, menjadi faktor pendukung yang membuat pasir laut di desa ini terus diekplorasi dan diambil untuk dijual tiap harinya.

Kajian Ekologi terhadap Penambangan Pasir di Desa Tanjung Burung          
            Penambangan pasir yang terdapat di wilayah Desa Tanjung Burung, ternyata merupakan akibat-sebab dari suatu fenomena lain. Fenomena konflik sumber daya alam merupakan isu ekologis yang secara instrumental menjadi garapan ekologi manusia. Apa penyebab lahirnya penambangan pasir di daerah ini? Ternyata, Bapak Guntur selaku mantan ketua LH Tanjung Burung, mengatakan bahwa penambangan pasir akibat dari limbah kota dan industri. Limbah yang mulai datang pada awal tahun 1990-an, memasuki aliran Sungai Cisadane secara berkala (setahun sekali) yang berdampak pada perpindahan kumpulan-kumpulan ikan yang semula berada di tempat terdalam di sungai yang biasanya terdapat pada bagian tengah dari lebar sungai, ke pinggiran/tepian sungai karena limbah yang memiliki massa lebih berat dari air bergerak ke hulu menyusuri bagian tengah sungai Cisadane ini. Sehingga, penduduk memiliki kesempatan untuk panen ikan ketika limbah datang. Dalam hal ini terlihat sisi ekologi manusia yaitu adanya hubungan timbal balik makluk hidup (manusia) dengan lingkungan hidupnya.
            Namun, perlahan tapi pasti, 15 tahun terakhir ini ternyata banyaknya limbah yang mengalir dari “atas” semakin meningkat kuantitasnya bersamaan dengan tingkat kejenuhan material yang terkandung. Hal itu berakibat pada banyaknya ikan-ikan yang tidak dapat bertahan hidup saat harus berhadapan dengan limbah itu. Hingga sejak 6-8 tahun terakhir tidak ada lagi ikan yang bisa di panen, kecuali ikan sapu-sapu yang kemampuan daya tahan untuk bertahan hidupnya tinggi. Namun, ternyata ikan sapu-sapu pun kini sudah berkurang bahkan tak ada lagi yang mampu hidup di sungai Cisadane di aliran desa Tanjung Burung.[9][9]
Ketiadaan ikan-ikan di aliran sungai Cisadane Tanjung Burung ini, serta semakin sedikitnya lahan-lahan persawahan, lalu karena ulah-ulah beberapa anggota masyarakat yang menginginkan membangun/membuat lahan tambak, mereka menjual pasir yang merupakan hasil pengerukkan tambak itu ke orang yang membutuhkan pasir untuk membangun gedung/rumah. Lalu, dengan itu, ditemukanlah potensi baru dari desa Tanjung Burung berupa pasir pantai dengan berbagai kualitas yang akhirnya menjadi salah satu potensi besar yang dimiliki desa Tanjung Burung. Hingga membentuk suatu kesempatan kerja baru berupa penambangan pasir pantai.
            Sayangnya, penambangan pasir ini tidak menggunakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), sehingga terlalu banyak pasir yang diambil di tepian sungai dan laut yang berakibat pada intrusi air laut (asin) dan air payau ke dalam tanah yang nantinya dikonsumsi untuk kebutuhan masyarakat. Di mana tingkat salinitas yang tinggi tidak baik bagi peredaran darah tertutup pada manusia umumnya. Di sisi lain, penambangan pasir ini juga berdampak pada melebarnya tepian sungai Cisadane yang mengaliri desa Tanjung Burung ini dan meningkatnya tingkat kerusakan akibat abrasi di bagian utara desa Tanjung Burung. Dalam arti lain, tiap tahunnya, desa Tanjung Burung mengalami penyempitan wilayah daratan, dan terancam longsor pada daerah-daerah di sepanjang tepian sungai dan laut. Inilah akibat dari penambangan pasir yang dikategorikan “tidak memenuhi persyaratan hukum ekonomi dan potensi.”


1
Limbah Masuk Normal è Tiap Tahun è Panen Ikan
2
Limbah Masuk Tinggi è Panen Ikan Habis è Kecuali Sapu-sapu
3
Limbah Masuk Makin Tinggi è Sapu-sapu lenyap è Tambak
4
Tambak è Pasir Hasil Galian Dijual è Jadi Modal + Bahan Bangunan
5
Pasir Jadi Potensi è Penambangan Pasir è Tidak AMDAL è Kerusakan Lingkungan dan Kerugian
6
Kerusakan Lingkungan è Intrusi dan Abrasi
7
Kerugian è Materi dan Korban Jiwa

Pemaparan di atas lebih kurang telah mendeskripsikan kondisi perlakuan masyarakat Desa Tanjung Burung terhadap kali yang ada di sana. Indikasi adanya destabilisasi keseimbangan alam pun telah tampak. Dalam hal ini, kajian ekologi bisa menganalisisnya. Ekologi merupakan sebuah multi-disiplin di mana fokus perhatiannya pada dinamika hubungan interaksional antara sistem sosial dan sistem ekologi yang juga memerlukan dukungan dari beberapa cabang ilmu lain untuk melengkapinya.[10][10] Dinamika internal ekosistem selalu berkaitan antara faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik di sini adalah manusia atau masyarakat Desa Tanjung Burung dan faktor abiotik di sini adalah Sungai Cisadane yang dikeruk potensi pasirnya.
Pengerukan pasir di Sungai Cisadane sekitar Desa Tanjung Burung sendiri tidaklah terlepas dari pengaruh atau kebijakan para elit politiknya. Kajian ekologi politik selalu mempertanyakan kekuatan (ekonomi dan politik) apakah yang sesungguhnya telah menyebabkan rusaknya pesisir? Jika keadaan lingkungan merupakan produk dari proses-proses politik maka tidak terlepas adalah keterlibatan proses dialektik dalam politik ekonomi.[11][11] Penurunan kualitas dari Sungai Cisadane sekitar Tanjung Burung dengan pengerukan pasir yang terus dilakukan sebenarnya bertujuan untuk memanfaatkan potensi pasir di sungai tersbeut. Juga untuk meningkatkan ekonomi dari masyarakat stempat. Tetapi pengambilan potensi pasir yang dilakukan masyarakat Desa Tanjung Burung tidaklah disertai dengan penghitungan faktor lingkungan atau sisi ekologinya. Apabila terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam proses pertukaran-pertukaran dalam sistem ekologi, maka keseluruhan sistem akan mengalami gangguan yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam, dalam hal ini kawasan Sungai Cisadane sekitar Desa Tanjung Burung. Pada akhirnya, ketidakseimbangan yang telah terjadi di Sungai Cisadane sekitar Tanjung Burung tersebut malah menyebabkan kesusahan tersendiri bagi masyarakat Tanjung Burung.
Betapapun kecilnya fungsi dan peranan sebuah komponen ekosistem, keberadaannya tetap harus dipertahankan dan dilestarikan. Akan tetapi melihat penggalian pasir yang ada di Desa Tanjung Burung telah menyingkap adanya kontradiksi antara kepentingan ekonomi dan politik dengan kepentingan ekologi. Sejatinya, dalam paham ekologi, pendekatan untuk mencapai derajat kesejahteraan adalah dengan pertukaran yang adil dan seimbang. Pertukaran yang adil dan seimbang ini jika dikaitkan dengan penggalian pasir di Tanjung Burung bisa berupa peran apa yang dilakukan oleh masyarakat Tanjung Burung terhadap lingkungan sungai disamping aktivitas penggalian pasir terus dilakukan. Jadi, masyarakat mengambil untung dari pasir di sungai tetapi lingkungan pun tetap merasakan pertularan yang adil, lingkungan tetap dipelihara, misalnya saja peran yang bisa dilakukan adalah melakukan penggalian atau bpenambangan pasir yang berbasis AMDAL. Kode etik dalam pemanfaatan sumber daya alam di paham ekologi sendiri adalah dengan hidup bersama antar elemen makhluk diiringi dengan pembagian ruang yang adil.
Landasan moral dari rasionalisme ekologi sendiri adalah dengan preservasi dan perbaikan material dan ecological basis of society yang diperlukan agar berjalannya berbagai fungsi dan struktur rasional dalam kehidupan seperti aktivitas penambangan pasir tersebut yang lebih berorientasi pada ekonomi. Kemudian adalah nilai moralitas yang senantiasa mendorong seseorang atau anggota komunitas untuk berupaya maksimal dan menciptakan situasi optimal bagi terbentuknya sistem sosial –ekologi yang jauh dari ancaman ekologis[12][12]. Proyek-proyek yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi harus dipikir-pikir ulang. Dengan mengacu pada landasan moral tersebut, diharapkan kedepannya seluruh aspek masyarakat (semua golongan dari elit pengabil keputusan sampai warga biasa) yang berhubungan kesehariannya dengan Sungai Cisadane tersebut dapat lebih bersikap arif dan berpikir rasional akan segala kebijakan terkait penambangan pasir di daerah tersebut. Dengan demikina, diharapkan destabilitasi lingkungan sekitar sungai bisa dikurangi tetapi ekonomi dari masyarakat Tanjung Burung tetap hidup, dengan atau tanpa penambangan pasir.

Kajian Ekonomi terhadap Penambangan Pasir di Desa Tanjung Burung        
Desa Tanjung Burung, desa yang di dalamnya akan Anda dapati sebuah daerah yang masih jauh tertinggal dari hiruk-pikuk perkotaan. Di sini jangan harap anda akan bertemu gedung-gedung perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, bahkan minimart sekalipun. Kegiatan bisnis (baca: perdagangan) seperti itu hanya diwakili oleh warung-warung kecil, maupun kegiatan sektor informal lain yang berciri pedesaan.
Namun demikian, justru disanalah keistimewaan Tanjung Burung. Meskipun secara geografis, Desa Tanjung Burung berada di tengah-tengah metropolitan Tangerang yang notabene merupakan penyangga ibukota Jakarta, akan tetapi Desa Tanjung Burung sendiri masih jauh dari kesan kemewahan seperti halnya yang biasa dipamerkan wajah kota metropolitan. Sekumpulan orang yang sedang memancing, sekelompok warga yang sedang bercengkerama satu sama lain, dan pemandangan khas desa lainnya masih menjadi pemandangan yang tak sulit untuk dijumpai.
            Walau hanya mengandalkan jalan yang lebarnya tak lebih dari 3 meter sebagai akses utama, namun lambat laun mampu membuat ekonomi Desa Tanjung Burung terus perlahan naik dari waktu ke waktu. Kondisi alam Tanjung Burung yang masih “hijau” dan letaknya yang berada di pesisir laut jawa, membuatnya menjadi kandidat kuat primadona baru bagi warga ibukota yang haus akan tempat wisata. Kian hari, sumber pemasukkan pundi pun kian bervariasi. Berbagai sektor pun berdatangan dan mewarnai ekonomi Desa Tanjung Burung. Mulai dari wisata air, tambak, warung kecil, rumah makan, tempat pemancingan, hingga penambangan pasir pun  turut ambil bagian dalam perekonomian Desa Tanjung Burung.
            Seperti halnya di wilayah lainnya, di mana ada peluang pertumbuhan ekonomi, di situ pula investor akan berbondong-bondong untuk menanamkan investasinya. Hal itulah yang kini menghinggapi Desa Tanjung Burung. Berbagai macam usaha seperti yang telah dijabarkan di atas,  ternyata banyak dimiliki oleh orang-orang di luar Tanjung Burung. Para investor begitu jeli dalam membaca peluang bisnis di Desa Tanjung Burung yang memiliki banyak potensi bisnis. Sebut saja dari sektor perikanan dan pariwisata, yang dalam ilmu ekonomi disebut dengan sektor ekonomi riil[13][13], dapat dikatakan cukup menjanjikan untuk mendatangkan pundi demi pundi ke kantong para penanam investasi.
            Begitu pun halnya dengan penambangan pasir yang ada di Desa Tanjung Burung itu sendiri. Dalam tulisan ini, kami akan memfokuskan kajian kami pada penambangan pasir karena tentang lahan perekonomian lainnya telah dikaji oleh kelompok yang lain. Penambangan pasir, sebuah proses di mana manusia mengambil pasir-pasir dari kawasan sungai, untuk kemudian dijual dan dijadikan bahan bangunan. Penambangan pasir memang acapkali menjadi primadona bagi perekonomian masyarakat pesisir, termasuk masyarakat Desa Tanjung Burung.
Penambagan pasir yang ada di Desa Tanjung Burung ini sendiri sudah berumur kurang lebih mencapai 25 tahun. Sebuah umur yang cukup fantastis untuk sebuah keberlangsungan bisnis. Terbayang, berapa banyak pundi yang berhasil mampir ke saku-saku investor maupun warga Desa Tanjung Burung itu sendiri.
Akan tetapi, keberlangsungan penambangan pasir ini bukannya tanpa ganjalan begitu saja. Dalam penambangan pasir yang dilakukan di Desa Tanjung Burung itu sendiri, banyak terjadi kotroversi. Mulai dari legalitas penambangan pasir itu sendiri hingga masalah lingkungan begitu menjadi sorotan warga Desa Tanjung Burung itu sendiri dan beberapa pihak di luar Desa Tanjung Burung.
Dalam segi bisnis pun, penambangan pasir di Desa Tanjung Burung pun terbilang “jorok” atau dengan kata lain banyak melakukan pelanggaran. Mulai dari aplikasi penambangannya hingga nilai etik pun sedikit diabaikan oleh pengusaha penambangan pasir. Penambangan pasir yang notabene termasuk ke dalam bisnis di bidang sumber daya alam yang terbatas, seharusnya memperhatikan tentang biaya peluang atau oppotunity cost[14][14]. Opportunity cost dalam kasus perbisnisan ini, berarti bahwa tiap-tiap bisnis di bidang sumber daya alam yang terbatas ini, haruslah memperhatikan tentang cadangan sumber daya itu sendiri agar tak mengorbankan keseimbangan alam maupun kehidupan masyarakat sekitar.

Kajian Politik terhadap Penambangan Pasir Desa Tanjung Burung    
Politik, hal yang selalu dikaitkan dengan kekuasaan dan wewenang ini hadir dalam berbagai aspek kehidupan yang dijalani manusia. Karena memang menurut Talcot Parson, politik adalah salah satu unsur kehidupan yang harus ada dan berjalan sesuai fungsinya. Begitu pun halnya di Desa Tanjung Burung, percaturan politik pun terjadi demi menjaga keseimbangan faktor-faktor penyusun kehidupan itu sendiri.
Dalam kasus penambangan pasir di Desa Tanjung Burung ini pun syarat akan campur tangan politik di dalamnya, statusnya yang ilegal namun mampu terus bertahan hingga sekarang, menandakan bahwa di baliknya begitu banyak muatan politik. Tanda-tandanya dapat dibaca secara kasat mata, di mana tak ada upaya-upaya pihak teknokrat untuk menghentikan penambangan pasir ini, padahal dampak-dampak negatifnya telah dirasakan warga sekitar, bahkan warga pun telah mencoba mengajukan protes ke pemerintah, namun tetap saja mentah dan tak mengubah apa pun.
Setali tiga uang dengan fenomena penambangan pasir tersebut, ternyata dalam keilmuan sosiologi, kecenderungan seperti ini telah disinggung jauh-jauh hari. George Simmel dalam bukunya The Philosophy of Money, menegaskan bahwa uang yang tadinya tercipta sebagai alat pembayaran atau alat pertukaran barang atau jasa, telah mengalami perluasan definisi. Simmel menegaskan bahwasanya uang mampu mereduksi kualitas menjadi kuantitas[15][15], maksudnya adalah uang telah menjadi komoditas yang di dalamnya terjadi transaksi kepentingan, yang di dalamnya ditentukan seberapa besar uang yang bermain diantara mereka.
Dalam kasus penambangan pasir ini, yang ternyata turut melibatkan elit-elit desa setempat, uang memiliki peran untuk memback-up elit desa  agar nantinya dapat meredam gelombang penolakkan dari warga maupun dari aktivis lingkungan yang ada. Royalti per bulan yang diberikan pemilik tambang kepada elit desa, disinyalir sebagai bukti yang kuat dan jadi penyebab utama dari tumpulnya mata pisau pemerintah saat berhadapan dengan ilegalisasi pasir yang terjadi di Desa Tanjung Burung. Padahal nominal yang diterima para elit pun hanya berkisar puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah saja. Sebuah nominal yang tentu saja tak sebanding dengan keuntungan yang diterima pemilik tambang serta kerusakan alam yang terjadi akibat penambangan tersebut.
Fenomena politik terkait penambangan pasir ini pun tak berhenti sampai di situ, sistem dualisme sekdes yang ada di Desa Tanjung Burung pun ternyata turut berperan dalam bertahannya penambangan pasir ilegal ini. Sistem Pilkades yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya, mendorong terjadinya sebuah pemilihan kepala desa seperti layaknya pilkada ataupun pilpres. Di mana tiap calon maju secara pasangan, dan tentunya disponsori oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini pula lah yang diduga beberapa tokoh masyarakat Desa Tanjung Burung berkaitan dengan tetap bertahannya penambangan pasir ilegal tersebut. Bos-bos penambang ini disinyalir turut mensponsori kemenangan kepala desa yang menjabat sekarang ini.[16][16]

Kesimpulan
Dari Penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bagaimana eksplorasi sumber daya alam, dalam hal ini penambangan pasir berimplikasi pada kehidupan masyarakat Desa Tanjung Burung. Dalam hal ini terlihat, bagaimana keseimbangan lingkungan terganggu akibat adanya penambangan pasir yang faktanya memang profit oriented. Banjir, sendimentasi lumpur sungai, dan erosi tanah di sepanjang pinggir sungai menjadi beberapa implikasi negatif yang ditanggung lingkungan.
Selain itu kepentingan yang bersifat politis pun turut andil untuk melanggengkan penambangan pasir yang didominasi oleh beberapa perusaahaan yang notabennya cukup besar. Bentrok kepentingan yang terjadi, juga melibatkan aparat birokratis desa yang secara tidak langsung memperoleh keuntungan atas adanya penambangan pasir yang sedang berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, Arya Hadi. 2007. “Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan : Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik” dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Post-modernisme. Jakarta: Kanisius.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi : dari Teori Sosiologi Klasik sampai Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Tim Erlangga. 2000. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta: Penerbit Erlangga.





[1][1] Data didapat dari pengamatan langsung penulis, dengan referensi data tertulis dari kesekretariatan desa.
[2][2] Nama perusahaan ternak sapi
[3][3] Berdasarkan wawancara ringan pada tanggal 20 April 2012, pukul 23.45-24.35.
[4][4] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi edisi revisi. Jakarta : FEUI. 2004. Hal. 128.
[5][5] Berdasarkan wawancara ringan pada tanggal 20 April 2012, pukul 23.45-24.35.
[6][6] Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber tanggal 21 dan 22 April 2012.
[7][7] Berdasarkan hasil wawancara oleh beberapa narasumber pada tanggal 22 April 2012, pukul 10.30-11.45.
[8][8] Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak Jenggot pada tanggal 20 April 2012, pukul 16.35. Pak Jenggot merupakan salah seorang penambang pasir lepas (freelance), sekaligus pembeli pasir demi keperluan proyek bangunan.
[9][9] Berdasarkan wawancara dengan Pak Sarnubi pada tanggal 21 April 2012, pukul 10.30.
[10][10] Arya Hadi Darmawan, “Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan : Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik” dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Vol. 1 No. 1, April 2007, hal 11.
[11][11] Ibid.
[12][12] Ibid, hal 28.
[13][13] Tim Erlangga, Pasar Modal dan Manajemen Portofolio, Jakarta : Penerbit Erlangga. 2000. Hal. 284.
[14][14] Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004. Hal. 64.

[15][15] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: dari strukturalisme sampai post modernisme, Jakarta : Kanisius. 2001. Hal. 339.

[16][16] Berdasarkan wawancara dari berbagai narasumber pada tanggal 20-22 April 2012.

 [i1]buktikan dg data….