Rabu, 23 Januari 2013

Marjinalisasi Pendidikan Pada Anak Keluarga Miskin


Marjinalisasi Pendidikan Pada Anak Keluarga Miskin (Studi Kasus Pada Keluarga Miskin di Tanjung Burung)

Oleh:
Desiati Saputri, Haolongan Lubis, Keysa Laodia Yesefin, Novitha Syari Dhevi, dan Rachma Agista

Abstark

Penelitian dan analisis ini ingin menjelaskan mengenai marjinalisasi pendidikan yang dialami oleh keluarga miskin di desa Tanjung Burung, kecamatan Teluknaga, kabupaten Tangerang. Maksud dari penelitian dan analisis ini adalah untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai pandangan dan pendapat keluarga miskin tentang pendidikan. Terdapat pandangan yang berbeda-beda. Begitu juga dengan faktor-faktor apa yang menghambat pendidikan pada keluarga miskin, akan tetapi secara garis besar hampir seluruh keluarga miskin di desa ini memiliki hambatan yang sama. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah setempat juga tidak begitu berarti, begitupun dengan fungsi-fungsi pendidikan yang apa saja yang berjalan dengan tidak baik pada keluarga miskin desa Tanjung Burung.

Pengantar

Pada penelitian ini, penulis membahas mengenai marjinalisasi pendidikan pada anak keluarga miskin pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Penjelasan mengenai permasalahan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, pandangan keluarga miskin di desa tanjung burung terhadap pendidikan. Kedua, faktor penghambat yang mempengaruhi pendidikan pada keluarga miskin di desa tanjung burung. Ketiga, usaha pemerintah setempat dalam meminimalisasi marjinalisasi pendidikan yang dialami oleh anak pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Keempat, fungsi lembaga pendidikan yang tidak berjalan dengan baik.
            Selanjutnya, dalam proses penulisan paper ini ada beberapa kerangka konseptual yang digunakan oleh penulis sebagai landasan. Kerangka konseptual tersebut terdiri dari, konsep marjinalisasi, pendidikan dan keluarga. Sedangkan pada teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis sebagai penunjang penelitian ini adalah pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan. Penggunaan metode wawancara dan pengamatan ini dipilih untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan realita yang ada. Sedangkan untuk metode studi kepustakaan digunakan untuk mendapatkan kerangka konseptual. Penulis juga menggunakan dokumentasi foto untuk menunjang data-data agar lebih konkret. Pada penulisan paper ini penulis menggunakan metode deskripsi dalam mengkaji marjinalisasi pendidikan pada anak keluarga miskin di desa Tanjung Burung.

Kerangka Konseptual

1.      Marjinalisasi
Anggota masyarakat dibedakan berdasarkan tingkat pendidikannya, atau stratifikasi pendidikan (educational stratification), hak dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih. Namun, pada pendidikan formal dalam masyarakat kita sering menjumpai kesenjangan besar antara mereka yang berpendidikan dasar dan menengah dengan mereka yang berpendidikan tinggi.[1] Hal inilah yang melahirkan marjinalisasi dalam masyarkat. Marjinalisasi tidak dapat dilepaskan dari konsep diskriminasi karena marjinalisasi hanyalah satu di antara banyak masalah yang timbul sebagai akibat diskriminasi.[2] Marjinalisasi  dengan strategi institusi sosial yang mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat, cenderung mengakibatkan keadaan komunitas lokal menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural. Dalam hal ini marjinalisasi pendidikan yang umumnya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal jauh dari pusat perekonomian atau ibu kota. Pada dasarnya, setiap penduduk Indonesia tentunya mengaharapkan dapat merasakan pendidikan yang baik yaitu pendidikan yang berkualitas tinggi dan merata. Dengan demikian dampak dari pembangunan negara dapat dirasakan seluruh elemen bangsa.
Pendidikan merupakan hak asasi dari setiap warga negara yang harus dipenuhi tuntutannya karena dengan adanya pendidikan tentunya dapat mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang memiki kualiatas intelektual yang baik dan demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Masalah pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, dan mutu pegajar. Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Padahal di Indonesia biaya pendidikan relatif murah bahkan sudah ada yang gratis atau bebas biaya pendidikan. Namun, hal ini masih saja membuat biaya pendidikan menjadi mahal karena adanya hal-hal yang lain. Hal-hal lain ini adalah seperti soal keterbatasan anggaran yang disediakan Negara kepada masyarakat, kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik Negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.[3] Mengenai keterbatasan anggaran yang disediakan oleh Negara hal itu menunjukkan bahwa Negara gagal menjalankan fungsinya, yaitu memeberikan pendidikan semurah-murahnya kepada warganya. Sedangkan mengenai kapitalisme global, hal itu akan melahirkan arena yang disebut dengan pasar yang digunakan untuk beradu kekuatan, akibatnya fungsi Negara untuk mencerdaskan masyarakat kembali gagal.

2.      Pendidikan
            Dalam buku Muhammad Rifa’i yang berjudul Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi di Dalam Institusi Pendidikan (2011) disebutkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pemeradaban, pemberbudayaan, manusia, dan pendewasaaan manusia. Pendidikan menurut Paulo Freire merupakan proses bagi seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling penting dalam kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Pendidikan sebagai suatu proses terus-menerus bagi pembebasan manusia. Pendidikan sebagai praktik pembebasan bukanlah pengalihan, atau penyebaran pengetahuan atau kebudayaan. Pendidikan bukan juga ekstensi pengetahuan teknis. Ia bukan pula tindakan menanamkan laporan atau fakta ke dalam terdidik. Dalam proses pendidikan bagi pembebasan, pendidik-terdidik dan terdidik-pendidik sama-sama menjadi subjek-kognitif di hadapan objek-pengetahuan yang menjembatani mereka. Konsep pendidikan yang dianjurkan oleh Freire adalah problem-content, berpusat pada problematisasi manusia dari dunia, bukan juga dunia yang terlepas dari manusia.[4]
Pendidikan[5] merupakan salah satu faktor penting yang dapat digunakan merealisasikan bakat-bakat yang dibawa manusia sejak lahir (talenta, teori konvergensi), sehingga manusia mempunyai keterampilan yang dapat digunakan untuk menghidupi dirinya (profesi). Pendidikan dalam arti luas tidak hanya bersifat klasikal (formal) tetapi juga bersifat non klasikal (non formal), keduanya harus terpadu, saling mengisi kontinyu, tidak pernah berhenti sampai akhir hayat. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Akhmad Muhaimin Azzet, 2011, hlm. 15) Nomor 20 Tahun 2003[6], pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
            Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses dan usaha sadar bagi seorang anak manusia untuk menemukan hal yang penting dalam kehidupannya,merealisasikan bakat-bakatnya, mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia sehingga ia memiliki keterampilan dan terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya.

3.      Keluarga
Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat. Keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan kata lain bahwa lembaga-lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Peran dan tingkah laku yang dipelajari di dalam keluarga merupakan contoh atau prototifperan tingkah laku yang diperlukan pada segi-segi lainnya dalam masyarakat.[7] Kedudukan utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara pada masyarakat besar. Sebagai penghubung pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar. Hanya dari keluargalah masyarakat itu dapat memperoleh dukungan yang diperlukan pribadi-pribadi.
Keluarga, bukan semata-mata perorangan yang digolongkan dalam struktur sosial. Keluarga merupakan kunci sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya. Interaksi antar pribadi pada tingkatan kelas yang berbeda-beda, dapat dilihat baik jarak maupun persamaannya. Jadi di sini terlihat jelas bahwa di dalam  keluarga juga terdapat kelas sosial pada masing-masing keluarga. Ada keluarga yang berada pada tingkatan kelas sosial yang tertinggi, kelas sosial menengah, dan kelas sosial terendah. Pada umumnya, antara keluarga yang memiliki kelas sosial tertinggi dan terendah memiliki suatu sistem sosial yang berbeda dalam keluarganya.
Tetapi pada masyarakat bagaimanapun, keluarga, perorangan, atau kasta akan mencoba untuk naik dalam penggolongan ekonomi atau sosial, dan banyak yang berhasil. Usaha ke atas ini terlihat jelas, meskipun aspirasi orang mungkin tidak tinggi, dan untuk mencapainya juga tipis. Namun, segala usaha yang secara pribadi ditujukan kepada gerak ke atas, secara kolektif hanya menimbulkan sedikit perubahan dalam kedudukan sosial seorang atau struktur kelas. Jadi dengan demikian, dalam suatu keluarga walau pun dalam keadaan kelas sosial yang rendah maka mereka akan selalu berusaha menaikkan kelas sosial tersebut dalam berbagai hal. Seperti dalam pendidikan, setidaknya walaupun mereka digolongkan sebagai keluarga dangan posisi kelas sosial rendah namun mereka masih sangat menganggap pendidikan itu penting untuk mengangkat kelas sosial mereka. Adanya perbedaan  kelas sosial dalam keluarga tersebut sangat mempengaruhi jenis sosialisasi yang akan diterima anak-anak. Persamaan latar belakang keluarga menambah kemungkinan bahwa suami istri dalam keluarga akan sepaham mengenai banyak persoalan, dan akan lebih dapat membesarkan anak-anak mereka untuk menerima pola yang sama dari keluarga mereka

Metodologi Penelitian

1.      Subjek Penelitian
      Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tujuan mendapatkan alasan dan faktor-faktor marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung, Banten. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Tanjung Burung pada umumnya, dan keluarga miskin yang mempunyai anak yang bersekolah pada khususnya. Untuk memperoleh data tambahan maka dilakukan juga wawancara kepada perangkat Desa Tanjung Burung.


2.      Peran Peneliti
      Penelitian ini dilakukan dengan cara tinggal beberapa hari di lokasi penelitian sehingga akan mempermudah proses memperoleh data primer, melalui pengamatan dan wawancara. Selain itu, faktor pengalaman penelitian sejenis yang dimiliki peneliti akan dijadikan alat untuk mempermudah penelitian. Peneliti akan mengoptimalkan pendekatan personal kepada setiap para informan. Didukung oleh dua dari lima orang diantara kami dapat berbahasa sunda yang merupakan bahasa keseharian masyarakat Desa Tanjung Burung. Hal ini merupakan poin plus untuk dapat mengkaji permasalahan tersebut. Dengan penggunaan bahasa yang sama ketika mewawancarai maka proses wawancara bisa berlangsung tidak terlalu sulit dan informasi yang tergali akan lebih banyak.

3.      Teknik Pengumpulan Data
      Untuk memenuhi kebutuhan data, peneliti menggunakan tiga dasar dalam teknik pengumpulan data yaitu pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan. Melalui teknik pengamatan, peneliti mengumpulkan data dengan cara mengunjungi  keluarga-keluarga miskin yang memiliki anak yang bersekolah di Desa Tanjung Burung. Pengamatan dilakukan guna melihat secara nyata tindakan sosial yang dilakukan informan, seperti tingkah laku mereka, pola interaksi, dll.
      Teknik yang kedua yakni wawancara, peneliti melakukan wawancara untuk memeperoleh data primer. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan guna mengetahui lebih jelas dan mendalam mengenai topik pendidikan dan mobilitas sosial pada masyarakat Desa Tanjung Burung. Ketiga, studi kepustakaan. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi tambahan (data sekunder). Peneliti melakukan penelusuran melalui buku, artikel, jurnal serta penelitian sejenis.

Pandangan Keluarga Miskin di Desa Tanjung Burung Terhadap Pendidikan

            Berdasarkan wawancara pada Jumat, 20 April 2012 dari beberapa kepala keluarga yang ada di kampung Beting, Desa Tanjung Burung, kami mengambil tiga kepala keluarga dari tujuh sampel kepala keluarga di desa Tanjung Burung. Berikut ini hasil wawancara dari beberapa narasumber tersebut:
            Menurut penuturan Ibu Rohani dan anaknya yang bernama Bapak Ranin yang merupakan penduduk asli desa Tanjung Burung adalah sebagai berikut:

“Anak ibu mah pada ga sekolah neng, ibu juga dulu ga sekolah. Anak ibu mentok cuma sampe kelas 3 SD doang, ya kalo menurut ibu mah pendidikan ga penting, ngabisinin duit aja, ntar ujung-ujung nya kerjanya mah sama aja ngangon kebo. Emang dasar anaknya juga pada ga mau sekolah, katanya mah pada mau kerja aja neng. Kebetulan juga ibu ga punya uang kalo mau sekolah mah.”  (Ibu Rohani).
“Kalo saya mah neng males sekolah, mendimg kerja langsung dapet duit” (Bapak Ranin). [8]

            Menurut ibu Kartini yang sudah empat tahun tinggal di desa Tanjung Burung, kampung Beting mengatakan bahwa:

“Buat ibu sekolah itu ya penting neng, buat masa depan biar ga suram kaya ibu. Siapa tau ntar hidupnya lebih seneng dari ibu kalo sekolahnya pinter. Ibu mah terserah dia aja, ya paling buat kebutuhan sekolahnya aja yang agak sulit, soalnya bapaknya cuma jadi buruh di Cengkareng.”[9]
Sedangkan menurut penuturan dari anaknya, dia tidak mau sekolah, dikarenakan pelajaran yang semakin banyak dan sulit. Dia juga menuturkan niatnya yang ingin berhenti jika sudah lulus Sekolah Dasar.
            Menurut Ibu Sumrah  yang sudah 20 tahun tinggal di desa  Tanjung Burung, kampung Beting. Yang memiliki tiga anak, 2 diantaranya telah menduduki bangku SMA dan SMP adalah sebagai berikut:

“Pendidikan buat ibu mah penting neng, walaupun harus ngutang sana-sini yang penting anak sekolah. Kalo dibilang kurang mah kurang banget duitnya. Tau sendiri neng pendidikan ga murah, tapi bisa-bisa ajalah gali lobang tutup lobang buat sekolah. Kalo bisa sih ibu berharap sekolahnya gratis.”[10]
           Dari ketiga keluarga yang telah kami wawancarai, dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata setiap keluarga memiliki pandangan, pola pikir, dan faktor penyebab yang berbeda.  Dari ketiga hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa dua diantaranya memarjinalisasikan pendidikan anak, hal ini terlihat pada wawancara keluarga pertama yang menganggap pendidikan itu tidak penting karena menghabiskan uang saja, sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja saja dari pada bersekolah. Disini terlihat jelas sekali bahwa keluarga ini mengesampingkan pendidikan. Marjinalisasi juga terlihat pada hasil wawancara keluarga kedua yang marjinalisasi tersebut disebabkan karena mata pencaharian ayahnya yang hanya sebagai buruh dan berpenghasilan kecil, serta didukung oleh anaknya yang tidak ingin bersekolah lagi ketika anak ini telah menamatkan jenjang sekolah dasar. Sedangkan pada keluarga ketiga sebenarnya keluarga ini berpotensi untuk memarjinalisasikan pendidikan, potensi ini terlihat karena faktor penghasilan yang rendah dari orang tuanya dan jarak tempuh yang jauh untuk sampai ke sekolah. Namun adanya daya juang dari orang tua dan kemauan dari anak-anaknya untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Faktor Penghambat yang Mempengaruhi Pendidikan Pada Keluarga Miskin Di Desa Tanjung Burung

1.      Faktor intern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin
a)      Pandangam atau pola pikir dari keluarga miskin
Pandangan atau pola pikir ini adalah mengenai pandangan orang tua terhadap pentingnya pendidikan, karena ada beberapa keluarga yang menganggap pendidikan itu penting, bisa meningkatkan status sosial keluarga, seperti menurut pandangan ibu Sumrah dan ibu Kartini. Namun ada juga keluarga yang berpandagan bahwa pendidikan itu tidak begitu penting, yaitu keluarga ibu Rohani, karena hanya membuang-buang uang saja, jadi lebih baik bekerja, karena nantinya semua orang pasti akan bekerja.

b)      Kemauan si anak untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan
Kemauan si anak, maksudnya adalah seperti pada kasus keluarga ibu Kartini, beliau menganggap pendidikan itu penting. Namun sayangnya anaknya tidak mau melanjutkan sekolahnya setelah dia tamat SD, karena anak tersebut berpikiran bahwa sekolah itu terlalau berat dan pelajarannya semakin banyak dan susah.

c)      Penghasilan orang tua
Penghasilan orang tua juga berperan penting dalam mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak. Seperti halnya keluarga ibu Sumrah yang harus rela berhutang pada  tetangganya demi membiayai sekolah anaknya hingga tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas). Ini juga terjadi pada keluarga ibu Kartini, suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh di Cengkareng, bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keperluan sekolah anaknya di SD. Namun karena penghasilan orang tua yang rendah ini juga yang mengakibatkan keluarga ibu Rohani lebih memilih mementingkan bekerja dan membantu orang tua, dibandingkan dengan bersekolah. Berikut ini terdapat data mengenai rumah tangga miskin yang diperoleh melalui balai desa Tanjung Burung.
Tabel 1.1
Daftar Jumlah Rumah Tangga Miskin
Pendataan Tahun 2003

No
Desa
Jumlah
1
Tanjung Burung
1.078
Sumber: data dari kantor desa Tanjung Burung

Tabel 1.2
Daftar Jumlah Rumah Tangga Miskin
Pendataan Tahun 2005

No
Desa
Jumlah
1
Tanjung Burung
740
Sumber: data dari kantor desa Tanjung Burung

d)     Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua juga mempengaruhi, dua keluarga, yaitu keluarga ibu Sumrah dan ibu Kartini merupakan keluarga yang berpendidikan rendah, namun mereka berpikiran bahwa pendidikan itu penting. Mereka juga berharap anak-anak mereka dapat meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan memperbaiki status sosial mereka. Namun hal ini berbeda dengan pemikiran ibu Rohani yang juga berasal dari keluarga berpendidikan rendah, namun seperti yang sudah di jelsakan sebelumnya bahwa keluarga ini tidak mementingkan pendidikan.

2.      Faktor ekstern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin
a)      Biaya dan keperluan sekolah
Biaya dan keperluan sekolah yang semakin meningkat, menjadi salah satu faktor ekstern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin. Apalagi ditambah penghasilan orang tua yang tidak mencukupi. Walaupun di tingkat SD biaya sekolah itu gratis, namun tetap saja untuk keperluan anak selama sekolah juga tetap tidak gratis. Hal ini juga yang dialami oleh ibu Sumrah yang rela berhutang demi anaknya.

b)      Jarak yang ditempuh untuk mendapatkan pendidikan
Jarak yang di tempuh untuk mendapatkan pendidikan juga menjadi pertimbagan bagi keluarga-keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Namun untuk keluarga ibu Sumrah hal tersebut tidak menjadi halangan dan rintangan, anaknya yang memiliki keinginan untuk bersekolah tetap memiliki semangat walaupun jarak yang di tempuh sangat jauh.

c)      Faktor lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam marjinalisasi pendidikan anak keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Seorang anak biasanya akan terpengaruh oleh lingkungan atau teman sebayanya dalam hal bersekolah. Seperti halnya keluarga ibu Rohani yang mayoritas tetangganya atau lingkungan sekitarnya tidak bersekolah dan lebih memilih bekerja dan membantu orang tuanya seperti menggembala kerbau. Juga dengan keluarga ibu Kartini, di mana anaknya lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya nanti, karena teman-temannya juga berpikiran yang sama, yaitu pelajaran di sekolah itu nantinya akan bertambah banyak dan sulit.

d)     Faktor geografis
Faktor geografis di sini adalah, faktor letak. Di mana letak desa Tanjung Burung itu sendiri berada di wilayah pesisir pantai. Di mana masyarakat desa tersebut lebih banyak yang bekerja sebagai nelayan dan petambak. Hal inilah yang kadang membuat orang berpikiran bahwa untuk menjadi seorang nelayan atau petambak tidaklah diperlukan pendidikan yang tinggi.




Usaha Pemerintah Setempat dalam Meminimalisasi Marjinalisasi Pendidikan Yang Dialami Oleh Anak Pada Keluarga Miskin Di Desa Tanjung Burung

            Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah setempat dalam meminimalisasi marjinalisasi pendidikan melalui menjalankan program dari pemerintah pusat, yaitu sekolah gratis bagi tingkat Sekolah Dasar (SD). Hal ini juga dituturkan oleh sekretaris desa Tanjung Burung, bapak Hasan Basri, sebagai berikut:

“Usahanya ya, berupa program dari pemerintah itu, yang sekolah gratis di SD.”[11]

            Namun sejauh ini menurut penuturan ketiga keluarga yang telah kami wawancarai, mereka semua mengaku bahwa tidak ada lagi usaha pemerintah untuk meminimalisasi marjinalisasi pendidikan yang dialami oleh anak pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Ataupun sosialisasi pemerintah setempat mengenai pentingnya pendidikan terhadap keluarga-keluarga di desa tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan ibu Kartini, sebagai berikut:

“Kalo sosialisasi dari pemerintah sini sih gak ada, neng… soalnya kan baru empat taun juga di sini, tapi gak tau sih kalau warga-warga yang lain mah….”[12]

            Hal yang serupa juga ditegaskan oleh ibu Sumrah warga kampung Beting, Desa Tanjung Burung:

“Nggak, gak ada tuh sosialisasi pendidikan dari pemerintah di sini….”[13]

Fungsi Lembaga Pendidikan yang Berjalan Tidak Baik Pada Anak Keluarga Miskin

            Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi seperti fungsi manifes, fungsi laten, dan fungsi sosial. Fungsi manifest adalah fungsi lembaga yang disadari (nyata). Fungsi laten adalah fungsi lembaga yang tidak disadari oleh masyarakat (tersembunyi) atau hanya disadari oleh orang-orang tertentu saja, tetapi berpengaruh amat besar bagi perkembangan masyarakat. Begitu juga lembaga pendidikan yang ada di desa Tanjung Burung, akan tetapi beberapa masyarakat di sana tidak begitu merasakan atau bahkan sama sekali tidak merasakan fungsi dari lembaga tersebut. Berikut ini beberapa fungsi lembaga pendidikan yang tidak berjalan dengan baik di desa Tanjung Burung:
1.      Fungsi Manifes[14]
a)      Transmisi pengetahuan dan budaya
Di dalam pendidikan tujuan utama adalah memperoleh ilmu pengetahuan dan budaya serta menambah wawasan. Akan tetapi hal itu sangat berbeda dengan sebagian keluarga miskin di desa Tanjung Burung, banyak anak-anak dari keluarga miskin ini tidak melanjutkan pendidikannya, karena mereka menganggap bahwa pendidikan hanya membuang-buang waktu dan uang saja.
·         Alat untuk mobilitas sosial
Mobilitas sosial adalah pergerakan dari satu strata ke strata yang lain atau pergerakan dari satu bagian ke bagian lain baik secara vertikal maupun horizontal. Jika seseorang memiliki pendidikan maka mobilitas sosial akan tercipta pada setiap pergerakannya. Akan tetapi, di desa Tanjung Burung kesadaran akan pendidikan sangatlah minim. Sangat jarang sekali terlihat anak yang terus bersekolah tinggi pada masyarakat Tanjung Burung, hal ini menyebabkan fungsi pendidikan sebagai alat untuk mobilitas sosial tidak nampak pada masyarakat Tanjung Burung. Mereka hanya memiliki ruang lingkup yang kecil, tidak ada pergerakan strata disana, sebagian besar dari mereka adalah nelayan.
·         Menciptakan lapangan pekerjaan
Melalui pendidikan, kita mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Hal itu juga bisa mengurangi pengangguran. Namun, di desa Tanjung Burung tidak begitu banyak dari masyarakatnya yang mampu membuka lapangan pekerjaan atau berwirausaha. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai nelayan, petani tambak ataupun pekerja biasa. Hal itu dikarenakan pendidikan mereka tidak tinggi, keterampilan yang mereka dapatkan di sekolahpun tidak banyak.
·         Kontrol Sosial
Pendidikan memiliki fungsi sebagai kontrol sosial, yaitu institusi pendidikan memiliki aturan, nilai dan norma. Mereka yang menduduki bangku pendidikan terikat pada aturan, nilai dan norma yang ada pada institusi pendidikan. Mereka bukan hanya menerima pengajaran tentang ilmu pengetahuan, namun juga menerima pendidikan tentang nilai, norma, moral, agama dan budi pekerti, semua hal yang telah disebutkan tadi mampu mengkondisikan seorang individu dengan lingkungannya. Sedangkan di  desa Tanjung Burung, dengan pendidikan mereka yang tidak tinggi, mereka hanya mendapatkan pendidikan tentang nilai, norma, agama dan moral hanya dari keluarga dan lingkungan saja. Artinya tidak ada institusi yang secara formal membatasi dan mengawasi perilaku mereka. Mereka cenderung bertutur kata dan bertingkah laku atas dasar apa yang tertanam pada keluarga dan lingkungan.

2.      Fungsi Laten
a)      Sekolah menunda masa dewasa atau pernikahan
b)       
3.      Fungsi Sosial
a)      Sosialisasi sekunder
b)      Memperluas relasi/network
c)      Lebih peka terhadap masalah sosial
d)     Membantu orang lain mengatasi masalah sosial

Kesimpulan

            Kasus marjinalisasi pendidikan pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung ini memiliki pola yang berbeda-beda. Pola pertama yang ditemukan oleh peneliti sekaligus penulis terdapat keluarga miskin yang berpikiran bahwa pendidikan itu tidak penting, karena hanya membuang waktu dan uang saja. Mereka lebih memilih untuk bekerja atau membantu orang tua mereka, karena menurut mereka pada dasarnya tujuan akhir sekolah adalah bekerja. Pola kedua, terdapat keluarga yang berpandangan bahwa pendidikan itu penting. Keluarga ini mendukung anak-anaknya untuk bersekolah tinggi. Akan tetapi terdapat pandangan pesimistis dari anak keluarga ini, selain itu juga tuntutan biaya pendidikan yang semakin tinggi yang membuat keluarga ini tidak mampu meneruskan pendidikan anaknya. Pola ketiga, keluarga ini juga berpandangan bahwa pendidikan itu sangatlah penting, bahkan 2 anaknya sudah mendudukin sekolah menengah, tetapi kendala terbesar dari keluarga ini adalah pendapatan keluarga yang tidak mencukupi. Namun pada keluarga ini terdapat pandangan yang optimistis, yaitu bagaimanapun juga anak-anak mereka harus melanjutkan pendidikan.
            Selain pola-pola yang berbeda, terdapat faktor-faktor penghambat yang menyebabkan marjinalisasi pendidikan pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Pertama adalah faktor internal yang terdiri dari pandangam atau pola pikir dari keluarga miskin, kemauan si anak untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan, penghasilan orang tua, dan pendidikan orang tua. Kedua adalah faktor eksternal, yaitu biaya dan keperluan sekolah, jarak yang ditempuh untuk mendapatkan pendidikan, faktor lingkungan, dan faktor geografis. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah setempat juga kurang begitu mereka rasakan. Seperti pendidikan gratis untuk tingkat SD. Walaupun terdapat pendidikan gratis, itu hanya berlaku untuk tingkat SD, jadi untuk meneruskan ke jengjang yang lebih tinggi mereka harus mengeluarkan uang. Selain itu pendidikan gratis, bukan berarti biaya peralatan dan perlengkapan untuk seolah juga gratis atau lebih murah, mereka harus kembali mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit.
            Dari faktor penghambat dan kenadala-kendala tersebut, dapat kita ketahui bawa fungsi pendidikan yaitu fungsi manifest, fungsi laten dan fungsi sosial tidak berjalan dengan baik pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Hal ini dikarenakan pendidikan yang mereka dapatkan tidaklah tinggi, keterampilan yang mereka peroleh tidaklah memadai untuk menjadi bekal hidup mereka, begitu juga setelah mereka mendapatkan pekerjaan, mereka hanya bekerja sebagai nelayan atau petani tambak saja. Oleh karena itu sebenarnya pendidikan di pedesaan haruslah diperhatikan lagi, selain itu pendidikan di pedesaan juga harus berpihak pada keluarga miskin. Sehingga keluarga miskin tetap bisa menikmati pendidikan, karena pada dasarnya pendidikan adalah untuk semua lapisan, baik kaya, menengah ataupun miskin.


[1] Kamanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hlm. 89
[2] Diakses melalui http://staff.ui.ac.id/internal/130366487/material/unpar.pdf pada 10 Mei 2012 pukul 21.02 WIB
[3] Benny Susetyo, 2005, Politik Pendidikan Penguasa. Bantul: LKIS, hlm. 107-109
[4] Paulo Freire, 1984, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Jakarta: Gramedia, hlm. 121.
[5] Sri Martini Meilanie, 2011, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: MKDK Universitas Negeri Jakarta, hlm. 2
[6] Akhmad Muhaimin Azzet, 2011, Pendidikan yang Mebebaskan, Jakarta:
[7] William J. Goude. 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara
[8] Wawancara pada 20 April 2012
[9] Wawancara pada 20 April 2012
[10] Wawancara pada 20 April 2012
[11] Wawancara pada 20 April 2012
[12] Wawancara pada 20 April 2012
[13] Wawancara pada 20 April 2012
[14] Op. Cit., Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, hlm. 66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar