Marjinalisasi
Pendidikan Pada Anak Keluarga Miskin (Studi Kasus Pada Keluarga Miskin di
Tanjung Burung)
Oleh:
Desiati Saputri, Haolongan Lubis, Keysa Laodia
Yesefin, Novitha Syari Dhevi, dan Rachma Agista
Abstark
Penelitian
dan analisis ini ingin menjelaskan mengenai marjinalisasi pendidikan yang
dialami oleh keluarga miskin di desa Tanjung Burung, kecamatan Teluknaga,
kabupaten Tangerang. Maksud dari penelitian dan analisis ini adalah untuk
memaparkan dan menjelaskan mengenai pandangan dan pendapat keluarga miskin
tentang pendidikan. Terdapat pandangan yang berbeda-beda. Begitu juga dengan
faktor-faktor apa yang menghambat pendidikan pada keluarga miskin, akan tetapi
secara garis besar hampir seluruh keluarga miskin di desa ini memiliki hambatan
yang sama. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah setempat juga tidak begitu
berarti, begitupun dengan fungsi-fungsi pendidikan yang apa saja yang berjalan
dengan tidak baik pada keluarga miskin desa Tanjung Burung.
Pengantar
Pada penelitian ini,
penulis membahas mengenai marjinalisasi pendidikan pada anak keluarga miskin
pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten
Tangerang. Penjelasan mengenai permasalahan ini akan dibagi menjadi beberapa
bagian. Pertama, pandangan keluarga miskin di desa tanjung burung terhadap
pendidikan. Kedua, faktor penghambat yang mempengaruhi pendidikan pada keluarga
miskin di desa tanjung burung. Ketiga, usaha pemerintah setempat dalam
meminimalisasi marjinalisasi pendidikan yang dialami oleh anak pada keluarga
miskin di desa Tanjung Burung.
Keempat, fungsi lembaga pendidikan yang tidak berjalan dengan baik.
Selanjutnya, dalam proses penulisan
paper ini ada beberapa kerangka konseptual yang digunakan oleh penulis sebagai
landasan. Kerangka konseptual tersebut terdiri dari, konsep marjinalisasi,
pendidikan dan keluarga. Sedangkan
pada teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh penulis sebagai penunjang penelitian ini
adalah pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan. Penggunaan metode
wawancara dan pengamatan ini dipilih untuk mendapatkan informasi yang sesuai
dengan realita yang ada. Sedangkan untuk metode studi kepustakaan digunakan
untuk mendapatkan kerangka konseptual. Penulis juga menggunakan dokumentasi
foto untuk menunjang data-data agar lebih konkret. Pada penulisan paper ini
penulis menggunakan metode deskripsi dalam mengkaji marjinalisasi pendidikan
pada anak keluarga miskin di desa Tanjung Burung.
Kerangka
Konseptual
1.
Marjinalisasi
Anggota masyarakat dibedakan berdasarkan tingkat pendidikannya, atau
stratifikasi pendidikan (educational
stratification), hak dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan
atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih. Namun, pada
pendidikan formal dalam masyarakat kita sering menjumpai kesenjangan besar
antara mereka yang berpendidikan dasar dan menengah dengan mereka yang
berpendidikan tinggi.[1] Hal
inilah yang melahirkan marjinalisasi dalam masyarkat. Marjinalisasi tidak dapat dilepaskan dari konsep
diskriminasi karena marjinalisasi hanyalah satu di antara banyak
masalah yang timbul sebagai akibat diskriminasi.[2]
Marjinalisasi dengan strategi
institusi sosial yang mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat, cenderung
mengakibatkan keadaan komunitas lokal menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi
terhadap perubahan struktural. Dalam hal ini marjinalisasi
pendidikan yang umumnya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal jauh dari pusat
perekonomian atau ibu kota. Pada dasarnya, setiap penduduk Indonesia tentunya
mengaharapkan dapat merasakan pendidikan yang baik yaitu pendidikan yang
berkualitas tinggi dan merata. Dengan demikian dampak dari pembangunan negara
dapat dirasakan seluruh elemen bangsa.
Pendidikan merupakan hak asasi dari
setiap warga negara yang harus dipenuhi tuntutannya karena dengan adanya
pendidikan tentunya dapat mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang memiki
kualiatas intelektual yang baik dan demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa
Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Masalah pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, dan mutu pegajar. Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia
sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Padahal di Indonesia biaya pendidikan
relatif
murah bahkan sudah ada yang gratis atau bebas biaya pendidikan. Namun, hal ini
masih saja membuat biaya pendidikan menjadi mahal karena adanya hal-hal yang
lain. Hal-hal lain
ini adalah seperti soal keterbatasan anggaran yang disediakan Negara kepada
masyarakat, kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan
privatisasi berbagai lembaga milik Negara untuk dipersaingkan di tengah pasar
bebas.[3]
Mengenai keterbatasan anggaran yang disediakan oleh Negara hal itu menunjukkan
bahwa Negara gagal menjalankan fungsinya, yaitu memeberikan pendidikan
semurah-murahnya kepada warganya. Sedangkan mengenai kapitalisme global, hal
itu akan melahirkan arena yang disebut dengan pasar yang digunakan untuk beradu
kekuatan, akibatnya fungsi Negara untuk mencerdaskan masyarakat kembali gagal.
2.
Pendidikan
Dalam buku Muhammad Rifa’i yang
berjudul Sosiologi Pendidikan Struktur
& Interaksi di Dalam Institusi Pendidikan (2011) disebutkan bahwa
pendidikan merupakan suatu proses pemeradaban, pemberbudayaan, manusia, dan
pendewasaaan manusia. Pendidikan menurut Paulo Freire merupakan proses bagi
seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling penting dalam
kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya
menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Pendidikan sebagai suatu proses
terus-menerus bagi pembebasan manusia. Pendidikan sebagai praktik pembebasan
bukanlah pengalihan, atau penyebaran pengetahuan atau kebudayaan. Pendidikan
bukan juga ekstensi pengetahuan teknis. Ia bukan pula tindakan menanamkan
laporan atau fakta ke dalam terdidik. Dalam proses pendidikan bagi pembebasan,
pendidik-terdidik dan terdidik-pendidik sama-sama menjadi subjek-kognitif di
hadapan objek-pengetahuan yang menjembatani mereka. Konsep pendidikan yang
dianjurkan oleh Freire adalah problem-content,
berpusat pada problematisasi manusia dari dunia, bukan juga dunia yang terlepas
dari manusia.[4]
Pendidikan[5]
merupakan salah satu faktor penting yang dapat digunakan merealisasikan
bakat-bakat yang dibawa manusia sejak lahir (talenta, teori konvergensi),
sehingga manusia mempunyai keterampilan yang dapat digunakan untuk menghidupi
dirinya (profesi). Pendidikan dalam arti luas tidak hanya bersifat klasikal
(formal) tetapi juga bersifat non klasikal (non formal), keduanya harus
terpadu, saling mengisi kontinyu, tidak pernah berhenti sampai akhir hayat. Berdasarkan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Akhmad Muhaimin Azzet, 2011, hlm. 15)
Nomor 20 Tahun 2003[6],
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah suatu proses dan usaha sadar bagi seorang anak manusia untuk
menemukan hal yang penting dalam kehidupannya,merealisasikan bakat-bakatnya,
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia sehingga ia memiliki
keterampilan dan terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya.
3.
Keluarga
Keluarga adalah satu-satunya lembaga sosial, di samping
agama, yang secara resmi telah berkembang di semua masyarakat. Keluarga
merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan kata
lain bahwa lembaga-lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Peran dan
tingkah laku yang dipelajari di dalam keluarga merupakan contoh atau
prototifperan tingkah laku yang diperlukan pada segi-segi lainnya dalam
masyarakat.[7]
Kedudukan utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara
pada masyarakat besar. Sebagai penghubung pribadi dengan struktur sosial yang
lebih besar. Hanya dari keluargalah masyarakat itu dapat memperoleh dukungan
yang diperlukan pribadi-pribadi.
Keluarga, bukan semata-mata
perorangan yang digolongkan dalam struktur sosial. Keluarga merupakan kunci
sistem stratifikasi dan mekanisme sosial yang memeliharanya. Interaksi antar
pribadi pada tingkatan kelas yang berbeda-beda, dapat dilihat baik jarak maupun
persamaannya. Jadi di sini terlihat jelas bahwa di dalam keluarga juga terdapat kelas sosial pada
masing-masing keluarga. Ada keluarga yang berada pada tingkatan kelas sosial
yang tertinggi, kelas sosial menengah, dan kelas sosial terendah. Pada umumnya,
antara keluarga yang memiliki kelas sosial tertinggi dan terendah memiliki
suatu sistem sosial yang berbeda dalam keluarganya.
Tetapi pada masyarakat
bagaimanapun, keluarga, perorangan, atau kasta akan mencoba untuk naik dalam
penggolongan ekonomi atau sosial, dan banyak yang berhasil. Usaha ke atas ini
terlihat jelas, meskipun aspirasi orang mungkin tidak tinggi, dan untuk mencapainya
juga tipis. Namun, segala usaha yang secara pribadi ditujukan kepada gerak ke
atas, secara kolektif hanya menimbulkan sedikit perubahan dalam kedudukan
sosial seorang atau struktur kelas. Jadi dengan demikian, dalam suatu keluarga
walau pun dalam keadaan kelas sosial yang rendah maka mereka akan selalu berusaha menaikkan kelas
sosial tersebut dalam berbagai hal. Seperti dalam pendidikan, setidaknya
walaupun mereka digolongkan sebagai keluarga dangan posisi kelas sosial rendah
namun mereka masih sangat menganggap pendidikan itu penting untuk mengangkat
kelas sosial mereka. Adanya
perbedaan kelas sosial dalam keluarga
tersebut sangat mempengaruhi jenis sosialisasi yang akan diterima anak-anak.
Persamaan latar belakang
keluarga menambah kemungkinan bahwa suami istri dalam keluarga akan sepaham
mengenai banyak persoalan, dan akan lebih dapat membesarkan anak-anak mereka
untuk menerima pola yang sama dari keluarga mereka
Metodologi
Penelitian
1.
Subjek Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tujuan mendapatkan alasan dan
faktor-faktor marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung, Banten. Informan dalam penelitian ini
adalah masyarakat desa Tanjung Burung pada umumnya, dan keluarga miskin yang mempunyai anak
yang bersekolah pada khususnya. Untuk memperoleh data tambahan maka dilakukan
juga wawancara kepada perangkat Desa Tanjung Burung.
2.
Peran Peneliti
Penelitian ini
dilakukan dengan cara tinggal beberapa hari di lokasi penelitian sehingga akan
mempermudah proses memperoleh data primer, melalui pengamatan dan wawancara.
Selain itu, faktor pengalaman penelitian sejenis yang dimiliki peneliti akan
dijadikan alat untuk mempermudah penelitian. Peneliti akan mengoptimalkan
pendekatan personal kepada setiap para informan. Didukung oleh dua dari lima
orang diantara kami dapat berbahasa sunda yang merupakan bahasa keseharian
masyarakat Desa Tanjung Burung. Hal ini merupakan poin plus untuk dapat
mengkaji permasalahan tersebut. Dengan penggunaan bahasa yang sama ketika
mewawancarai maka proses wawancara bisa berlangsung tidak terlalu sulit dan
informasi yang tergali akan lebih banyak.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk memenuhi
kebutuhan data, peneliti menggunakan tiga dasar dalam teknik pengumpulan data
yaitu pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan. Melalui teknik pengamatan,
peneliti mengumpulkan data dengan cara mengunjungi keluarga-keluarga miskin yang memiliki anak
yang bersekolah di Desa Tanjung Burung. Pengamatan dilakukan guna melihat
secara nyata tindakan sosial yang dilakukan informan, seperti tingkah laku
mereka, pola interaksi, dll.
Teknik yang
kedua yakni wawancara, peneliti melakukan wawancara untuk memeperoleh data
primer. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Peneliti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan guna mengetahui lebih jelas dan mendalam mengenai topik
pendidikan dan mobilitas sosial pada masyarakat Desa Tanjung Burung. Ketiga,
studi kepustakaan. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi
tambahan (data sekunder). Peneliti melakukan penelusuran melalui buku, artikel,
jurnal serta penelitian sejenis.
Pandangan Keluarga Miskin di Desa Tanjung Burung Terhadap
Pendidikan
Berdasarkan
wawancara pada Jumat, 20 April 2012 dari beberapa kepala keluarga yang ada di
kampung Beting, Desa Tanjung Burung, kami mengambil tiga kepala keluarga dari
tujuh sampel kepala keluarga di desa Tanjung Burung. Berikut ini hasil
wawancara dari beberapa narasumber tersebut:
Menurut
penuturan Ibu Rohani dan anaknya yang bernama Bapak Ranin yang merupakan
penduduk asli desa Tanjung Burung adalah sebagai berikut:
“Anak
ibu mah pada ga sekolah neng, ibu juga dulu ga sekolah. Anak ibu mentok cuma sampe kelas 3 SD doang, ya kalo menurut ibu mah
pendidikan ga penting, ngabisinin duit aja, ntar ujung-ujung nya kerjanya mah
sama aja ngangon kebo. Emang dasar anaknya juga pada ga mau sekolah, katanya
mah pada mau kerja aja neng. Kebetulan juga ibu ga punya uang kalo mau sekolah
mah.” (Ibu Rohani).
“Kalo
saya mah neng males sekolah, mendimg kerja langsung dapet duit” (Bapak Ranin). [8]
Menurut
ibu Kartini yang sudah empat tahun tinggal di desa Tanjung Burung, kampung Beting
mengatakan bahwa:
“Buat
ibu sekolah itu ya penting neng, buat masa depan biar ga suram kaya ibu. Siapa
tau ntar hidupnya lebih seneng dari ibu kalo sekolahnya pinter. Ibu mah
terserah dia aja, ya paling buat kebutuhan sekolahnya aja yang agak sulit,
soalnya bapaknya cuma jadi buruh di Cengkareng.”[9]
Sedangkan menurut penuturan dari
anaknya, dia tidak mau sekolah, dikarenakan pelajaran yang semakin banyak dan
sulit. Dia juga menuturkan niatnya yang ingin berhenti jika sudah lulus Sekolah
Dasar.
Menurut
Ibu Sumrah yang sudah 20 tahun tinggal
di desa Tanjung Burung, kampung Beting. Yang memiliki
tiga anak, 2 diantaranya telah menduduki bangku SMA dan SMP adalah sebagai
berikut:
“Pendidikan
buat ibu mah penting neng, walaupun harus ngutang sana-sini yang penting anak
sekolah. Kalo dibilang kurang mah kurang banget duitnya. Tau sendiri neng
pendidikan ga murah, tapi bisa-bisa ajalah gali lobang tutup lobang buat
sekolah. Kalo bisa sih ibu berharap sekolahnya gratis.”[10]
Dari ketiga keluarga
yang telah kami wawancarai, dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata setiap
keluarga memiliki pandangan, pola pikir, dan faktor penyebab yang berbeda. Dari ketiga hasil wawancara tersebut dapat
diketahui bahwa dua diantaranya memarjinalisasikan pendidikan anak, hal ini
terlihat pada wawancara keluarga pertama yang menganggap pendidikan itu tidak
penting karena menghabiskan uang saja, sehingga mereka lebih memilih untuk
bekerja saja dari pada bersekolah. Disini terlihat jelas sekali bahwa keluarga
ini mengesampingkan pendidikan. Marjinalisasi juga terlihat pada hasil
wawancara keluarga kedua yang marjinalisasi tersebut disebabkan karena mata
pencaharian ayahnya yang hanya sebagai buruh dan berpenghasilan kecil, serta
didukung oleh anaknya yang tidak ingin bersekolah lagi ketika anak ini telah
menamatkan jenjang sekolah dasar. Sedangkan pada keluarga ketiga sebenarnya
keluarga ini berpotensi untuk memarjinalisasikan pendidikan, potensi ini
terlihat karena faktor penghasilan yang rendah dari orang tuanya dan jarak
tempuh yang jauh untuk sampai ke sekolah. Namun adanya daya juang dari orang
tua dan kemauan dari anak-anaknya untuk tetap melanjutkan pendidikan.
Faktor
Penghambat yang Mempengaruhi Pendidikan Pada Keluarga Miskin Di Desa Tanjung
Burung
1. Faktor intern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak
pada keluarga miskin
a)
Pandangam atau pola
pikir dari keluarga miskin
Pandangan atau
pola pikir ini adalah mengenai pandangan orang tua terhadap pentingnya
pendidikan, karena ada beberapa keluarga yang menganggap pendidikan itu
penting, bisa meningkatkan status sosial keluarga, seperti menurut pandangan
ibu Sumrah dan ibu Kartini. Namun ada juga keluarga yang berpandagan bahwa pendidikan
itu tidak begitu penting, yaitu keluarga ibu Rohani, karena hanya
membuang-buang uang saja, jadi lebih baik bekerja, karena nantinya semua orang
pasti akan bekerja.
b)
Kemauan si anak
untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan
Kemauan si
anak, maksudnya adalah seperti pada kasus keluarga ibu Kartini, beliau
menganggap pendidikan itu penting. Namun sayangnya anaknya tidak mau
melanjutkan sekolahnya setelah dia tamat SD, karena anak tersebut berpikiran
bahwa sekolah itu terlalau berat dan pelajarannya semakin banyak dan susah.
c)
Penghasilan orang
tua
Penghasilan
orang tua juga berperan penting dalam mempengaruhi marjinalisasi pendidikan
anak. Seperti halnya keluarga ibu Sumrah yang harus rela berhutang pada tetangganya demi membiayai sekolah anaknya hingga
tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas). Ini juga terjadi pada keluarga ibu
Kartini, suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh di Cengkareng, bekerja keras
demi memenuhi kebutuhan keperluan sekolah anaknya di SD. Namun karena
penghasilan orang tua yang rendah ini juga yang mengakibatkan keluarga ibu
Rohani lebih memilih mementingkan bekerja dan membantu orang tua, dibandingkan
dengan bersekolah. Berikut ini terdapat data mengenai rumah tangga miskin yang
diperoleh melalui balai desa Tanjung Burung.
Tabel 1.1
Daftar Jumlah
Rumah Tangga Miskin
Pendataan
Tahun 2003
No
|
Desa
|
Jumlah
|
1
|
Tanjung Burung
|
1.078
|
Sumber:
data dari kantor desa Tanjung Burung
Tabel 1.2
Daftar Jumlah
Rumah Tangga Miskin
Pendataan
Tahun 2005
No
|
Desa
|
Jumlah
|
1
|
Tanjung Burung
|
740
|
Sumber:
data dari kantor desa Tanjung Burung
d)
Pendidikan orang
tua
Pendidikan
orang tua juga mempengaruhi, dua keluarga, yaitu keluarga ibu Sumrah dan ibu
Kartini merupakan keluarga yang berpendidikan rendah, namun mereka berpikiran
bahwa pendidikan itu penting. Mereka juga berharap anak-anak mereka dapat
meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan memperbaiki status
sosial mereka. Namun hal ini berbeda dengan pemikiran ibu Rohani yang juga
berasal dari keluarga berpendidikan rendah, namun seperti yang sudah di
jelsakan sebelumnya bahwa keluarga ini tidak mementingkan pendidikan.
2. Faktor ekstern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan
anak pada keluarga miskin
a)
Biaya dan keperluan
sekolah
Biaya dan
keperluan sekolah yang semakin meningkat, menjadi salah satu faktor ekstern
yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin. Apalagi
ditambah penghasilan orang tua yang tidak mencukupi. Walaupun di tingkat SD
biaya sekolah itu gratis, namun tetap saja untuk keperluan anak selama sekolah
juga tetap tidak gratis. Hal ini juga yang dialami oleh ibu Sumrah yang rela
berhutang demi anaknya.
b)
Jarak yang ditempuh
untuk mendapatkan pendidikan
Jarak yang di
tempuh untuk mendapatkan pendidikan juga menjadi pertimbagan bagi
keluarga-keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Namun untuk keluarga ibu
Sumrah hal tersebut tidak menjadi halangan dan rintangan, anaknya yang memiliki
keinginan untuk bersekolah tetap memiliki semangat walaupun jarak yang di
tempuh sangat jauh.
c)
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan
sangat berpengaruh dalam marjinalisasi pendidikan anak keluarga miskin di desa
Tanjung Burung. Seorang anak biasanya akan terpengaruh oleh lingkungan atau
teman sebayanya dalam hal bersekolah. Seperti halnya keluarga ibu Rohani yang
mayoritas tetangganya atau lingkungan sekitarnya tidak bersekolah dan lebih
memilih bekerja dan membantu orang tuanya seperti menggembala kerbau. Juga
dengan keluarga ibu Kartini, di mana anaknya lebih memilih untuk tidak
melanjutkan sekolahnya nanti, karena teman-temannya juga berpikiran yang sama,
yaitu pelajaran di sekolah itu nantinya akan bertambah banyak dan sulit.
d)
Faktor geografis
Faktor
geografis di sini adalah, faktor letak. Di mana letak desa Tanjung Burung itu
sendiri berada di wilayah pesisir pantai. Di mana masyarakat desa tersebut
lebih banyak yang bekerja sebagai nelayan dan petambak. Hal inilah yang kadang
membuat orang berpikiran bahwa untuk menjadi seorang nelayan atau petambak
tidaklah diperlukan pendidikan yang tinggi.
Usaha Pemerintah Setempat dalam Meminimalisasi Marjinalisasi
Pendidikan Yang Dialami Oleh Anak Pada Keluarga Miskin Di Desa Tanjung Burung
Salah satu usaha yang
dilakukan pemerintah setempat dalam meminimalisasi marjinalisasi pendidikan
melalui menjalankan program dari pemerintah pusat, yaitu sekolah gratis bagi
tingkat Sekolah Dasar (SD). Hal ini juga dituturkan oleh sekretaris desa
Tanjung Burung, bapak Hasan Basri, sebagai berikut:
“Usahanya ya,
berupa program dari pemerintah itu, yang sekolah gratis di SD.”[11]
Namun sejauh ini menurut penuturan
ketiga keluarga yang telah kami wawancarai, mereka semua mengaku bahwa tidak
ada lagi usaha pemerintah untuk meminimalisasi marjinalisasi pendidikan yang
dialami oleh anak pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Ataupun
sosialisasi pemerintah setempat mengenai pentingnya pendidikan terhadap
keluarga-keluarga di desa tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan ibu
Kartini, sebagai berikut:
“Kalo sosialisasi
dari pemerintah sini sih gak ada, neng… soalnya kan baru empat taun juga di
sini, tapi gak tau sih kalau warga-warga yang lain mah….”[12]
Hal yang serupa juga
ditegaskan oleh ibu Sumrah warga kampung Beting, Desa Tanjung Burung:
“Nggak, gak ada tuh
sosialisasi pendidikan dari pemerintah di sini….”[13]
Fungsi Lembaga Pendidikan yang Berjalan Tidak Baik Pada
Anak Keluarga Miskin
Seperti yang kita ketahui bahwa
lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi seperti fungsi manifes, fungsi
laten, dan fungsi sosial. Fungsi manifest adalah fungsi lembaga yang disadari
(nyata). Fungsi laten adalah fungsi lembaga yang tidak disadari oleh masyarakat
(tersembunyi) atau hanya disadari oleh orang-orang tertentu saja, tetapi
berpengaruh amat besar bagi perkembangan masyarakat. Begitu juga lembaga
pendidikan yang ada di desa Tanjung Burung, akan tetapi beberapa masyarakat di
sana tidak begitu merasakan atau bahkan sama sekali tidak merasakan fungsi dari
lembaga tersebut. Berikut ini beberapa fungsi lembaga pendidikan yang tidak
berjalan dengan baik di desa Tanjung Burung:
1. Fungsi
Manifes[14]
a) Transmisi
pengetahuan dan budaya
Di dalam
pendidikan tujuan utama adalah memperoleh ilmu pengetahuan dan budaya serta
menambah wawasan. Akan tetapi hal itu sangat berbeda dengan sebagian keluarga
miskin di desa Tanjung Burung, banyak anak-anak dari keluarga miskin ini tidak
melanjutkan pendidikannya, karena mereka menganggap bahwa pendidikan hanya
membuang-buang waktu dan uang saja.
·
Alat untuk mobilitas
sosial
Mobilitas sosial
adalah pergerakan dari satu strata ke strata yang lain atau pergerakan dari
satu bagian ke bagian lain baik secara vertikal maupun horizontal. Jika
seseorang memiliki pendidikan maka mobilitas sosial akan tercipta pada setiap
pergerakannya. Akan tetapi, di desa Tanjung Burung kesadaran akan pendidikan
sangatlah minim. Sangat jarang sekali terlihat anak yang terus bersekolah
tinggi pada masyarakat Tanjung Burung, hal ini menyebabkan fungsi pendidikan
sebagai alat untuk mobilitas sosial tidak nampak pada masyarakat Tanjung
Burung. Mereka hanya memiliki ruang lingkup yang kecil, tidak ada pergerakan
strata disana, sebagian besar dari mereka adalah nelayan.
·
Menciptakan lapangan
pekerjaan
Melalui
pendidikan, kita mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Hal itu juga bisa
mengurangi pengangguran. Namun, di desa Tanjung Burung tidak begitu banyak dari
masyarakatnya yang mampu membuka lapangan pekerjaan atau berwirausaha. Sebagian
dari mereka berprofesi sebagai nelayan, petani tambak ataupun pekerja biasa.
Hal itu dikarenakan pendidikan mereka tidak tinggi, keterampilan yang mereka
dapatkan di sekolahpun tidak banyak.
·
Kontrol Sosial
Pendidikan
memiliki fungsi sebagai kontrol sosial, yaitu institusi pendidikan memiliki
aturan, nilai dan norma. Mereka yang menduduki bangku pendidikan terikat pada
aturan, nilai dan norma yang ada pada institusi pendidikan. Mereka bukan hanya
menerima pengajaran tentang ilmu pengetahuan, namun juga menerima pendidikan
tentang nilai, norma, moral, agama dan budi pekerti, semua hal yang telah
disebutkan tadi mampu mengkondisikan seorang individu dengan lingkungannya.
Sedangkan di desa Tanjung Burung, dengan
pendidikan mereka yang tidak tinggi, mereka hanya mendapatkan pendidikan
tentang nilai, norma, agama dan moral hanya dari keluarga dan lingkungan saja.
Artinya tidak ada institusi yang secara formal membatasi dan mengawasi perilaku
mereka. Mereka cenderung bertutur kata dan bertingkah laku atas dasar apa yang
tertanam pada keluarga dan lingkungan.
2. Fungsi
Laten
a) Sekolah
menunda masa dewasa atau pernikahan
b)
3. Fungsi
Sosial
a) Sosialisasi
sekunder
b) Memperluas
relasi/network
c) Lebih
peka terhadap masalah sosial
d) Membantu
orang lain mengatasi masalah sosial
Kesimpulan
Kasus marjinalisasi pendidikan pada
keluarga miskin di desa Tanjung Burung ini memiliki pola yang berbeda-beda.
Pola pertama yang ditemukan oleh peneliti sekaligus penulis terdapat keluarga
miskin yang berpikiran bahwa pendidikan itu tidak penting, karena hanya
membuang waktu dan uang saja. Mereka lebih memilih untuk bekerja atau membantu
orang tua mereka, karena menurut mereka pada dasarnya tujuan akhir sekolah
adalah bekerja. Pola kedua, terdapat keluarga yang berpandangan bahwa
pendidikan itu penting. Keluarga ini mendukung anak-anaknya untuk bersekolah
tinggi. Akan tetapi terdapat pandangan pesimistis dari anak keluarga ini,
selain itu juga tuntutan biaya pendidikan yang semakin tinggi yang membuat
keluarga ini tidak mampu meneruskan pendidikan anaknya. Pola ketiga, keluarga
ini juga berpandangan bahwa pendidikan itu sangatlah penting, bahkan 2 anaknya
sudah mendudukin sekolah menengah, tetapi kendala terbesar dari keluarga ini
adalah pendapatan keluarga yang tidak mencukupi. Namun pada keluarga ini
terdapat pandangan yang optimistis, yaitu bagaimanapun juga anak-anak mereka
harus melanjutkan pendidikan.
Selain pola-pola yang berbeda,
terdapat faktor-faktor penghambat yang menyebabkan marjinalisasi pendidikan
pada keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Pertama adalah faktor internal
yang terdiri dari pandangam atau pola
pikir dari keluarga miskin, kemauan si anak untuk bersekolah atau mendapatkan
pendidikan, penghasilan
orang tua, dan pendidikan orang tua. Kedua adalah faktor
eksternal, yaitu biaya dan keperluan
sekolah, jarak
yang ditempuh untuk mendapatkan pendidikan,
faktor lingkungan,
dan faktor geografis. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh pemerintah setempat juga kurang begitu mereka rasakan.
Seperti pendidikan gratis untuk tingkat SD. Walaupun terdapat pendidikan
gratis, itu hanya berlaku untuk tingkat SD, jadi untuk meneruskan ke jengjang
yang lebih tinggi mereka harus mengeluarkan uang. Selain itu pendidikan gratis,
bukan berarti biaya peralatan dan perlengkapan untuk seolah juga gratis atau
lebih murah, mereka harus kembali mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak
sedikit.
Dari faktor penghambat dan
kenadala-kendala tersebut, dapat kita ketahui bawa fungsi pendidikan yaitu
fungsi manifest, fungsi laten dan fungsi sosial tidak berjalan dengan baik pada
keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Hal ini dikarenakan pendidikan yang
mereka dapatkan tidaklah tinggi, keterampilan yang mereka peroleh tidaklah
memadai untuk menjadi bekal hidup mereka, begitu juga setelah mereka
mendapatkan pekerjaan, mereka hanya bekerja sebagai nelayan atau petani tambak
saja. Oleh karena itu sebenarnya pendidikan di pedesaan haruslah diperhatikan
lagi, selain itu pendidikan di pedesaan juga harus berpihak pada keluarga
miskin. Sehingga keluarga miskin tetap bisa menikmati pendidikan, karena pada
dasarnya pendidikan adalah untuk semua lapisan, baik kaya, menengah ataupun
miskin.
[1] Kamanto
Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi), Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hlm. 89
[2] Diakses
melalui http://staff.ui.ac.id/internal/130366487/material/unpar.pdf
pada 10 Mei 2012 pukul 21.02 WIB
[5] Sri Martini Meilanie, 2011, Pengantar
Ilmu Pendidikan,
Jakarta: MKDK Universitas Negeri Jakarta, hlm. 2
[7] William J. Goude. 2007. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara
[8] Wawancara pada 20 April 2012
[9] Wawancara pada 20 April 2012
[10] Wawancara pada 20 April 2012
[11] Wawancara pada 20 April 2012
[12] Wawancara pada 20 April 2012
[13] Wawancara pada 20 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar