Sabtu, 19 Januari 2013

LAPORAN PENELITIAN PRAKTEK KULIAH LAPANGAN SOSIOLOGI PEDESAAN 20 – 22 APRIL 2012


 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI 
KOMUNITAS PEDESAAN PESISIR 
DESA TANJUNG BURUNG BANTEN





DISUSUN OLEH :
BUNGA PERMATA UTAMI         
DYAH AYU RATNASARI            
ERIK SUTANTO                              
JUMADI
YANUAR SUMARNO



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat serta hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas laporan penelitian kuliah lapangan Sosiologi Pedesaan yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengembangan Ekonomi Komunitaas Pedesaan Pesisir (Studi kasus di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Tangerang, Banten”, dalam rangka penyelesaian tugas mata kuliah Sosiologi Pedesaan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada : Bapak Drs. Muhammad Zid, M.Si., Ibu Hj. Dewi Sartika, S.Sos., M.Si. selaku dosen pengampu yang telah memberi tugas dan petunjuk kepada kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ahmad Tarmiji Alkhurdi, S.Pd., karena telah membimbing kami dalam praktek perkuliahan ini. Dan juga kepada orang tua dan teman-teman dan pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan semangatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya, meskipun tidak sedikit hambatan yang kami temui.
Kami merasa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami, sehingga tujuan yang diharapkan dari pembuatan makalah ini dapat tercapai.

Jakarta, 30 Mei 2012
Penyusun







METODOLOGI PENELITIAN

1.            Tujuan Operasional Penulisan
Penulisan laporan hasil praktek kuliah lapangan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan dan gambaran (deskriptif) mengenai pemberdayaan perempuan dalam pengembangan ekonomi komunitas pedesaan pesisir Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten. Dari segi tujuannya, penulisan ini lebih bersifat deskriptif dan analisis karena berusaha menjelaskan kondisi struktur masyarakat Desa Tanjung Burung dan peran perempuan terhadap pengembangan ekonomi Desa Tanjung Burung.

2.            Objek, Waktu, Dan Lokasi Praktek Kuliah Lapangan Sosiologi Pedesaan
·         Objek yang menjadi subject matter dalam penelitian kami adalah pemberdayaan perempuan dalam pengembangan ekonomi komunitas Desa Tanjung Burung.
·         Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 20 – 22 April 2012. Sedangkan pencarian data dan wawancara dengan narasumber dilaksanakan pada tanggal 21 April 2012, yang dimulai pada pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB.
·         Lokasi Praktek Kuliah Lapangan Sosiologi Pedesaan bertempat di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten.

3.            Metode Penulisan
Metode penulisan dalam Praktek Kuliah Lapangan ini adalah deskriptif dengan pendekatan hubungan antara studi kepustakaan dan penelitian lapangan secara langsung, karena diawali dengan telaah bahan kepustakaan yang terkait dengan subject matter di atas. Kemudian, hasil perpaduan telaah kepustakaan dan penelitian langsung dijadikan analisis pembuatan laporan ini.

4.            Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam laporan Praktek Kuliah Lapangan ini menggunakan tiga teknik atau instrument, sebagai berikut :

·         Studi Literatur atau Kepustakaan
Berbagai tulisan dalam buku – buku ataupun artikel dari internet yang relevan, akan dikaji dan dipadukan untuk mendukung penulisan laporan Praktek Kuliah Lapangan Sosiologi Pedesaan.

·         Studi Dokumen
Berbagai dokumen penting mengenai profil dan potensi desa, data monografi desa, data organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), dijadikan acuan oleh kelompok 6 dalam penulisan laporan.

·         Observasi Langsung dan wawancara
Adanya narasumber yang berhubungan langsung sesuai dengan tema pemberdayaan perempuan dan merupakan penduduk Desa Tanjung Burung, membuat kelompok mudah dalam menyusun laporan Praktek Kuliah Lapangan.



PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI
KOMUNITAS PEDESAAN PESISIR
(Studi kasus di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Tangerang, Banten)


ABSTRAK
Tulisan ini merupakan laporan hasil penelitian kuliah lapangan di Desa Tanjung Burung, Teluknaga, Banten. Pemberdayaan perempuan yang berjalan di desa ini, terpecah ke dalam dua bagian besar, yakni pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural, dalam hal ini adalah organisasi PKK (Pembinaan Kesjahteraan Keluarga), dan pemberdayaan perempuan berdasarkan kutural yang dilakukan oleh ibu – ibu golongan kelas menengah ke bawah dan perempuan lanjut usia. Munculnya dua bentuk pemberdayaan perempuan yang bertolak belakang ini disebabkan oleh kurangnya organisasi perempuan yang tercipta akibat struktur, yakni PKK, dalam menjangkau keseluruhan perempuan yang ada di Desa Tanjung Burung, Banten. Organisasi PKK hanya mengembangkan kemampuan diri individu anggotanya, tanpa mengupayakan pengembangan kesejahteraan ekonomi anggota dan masyarakat Desa Tanjung Burung. Pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural lebih berperan terhadap pengembangan ekonomi komunitas pedesaan pesisir Tanjung Burung. Salah satu penyebabnya adalah karena budaya membuat sapu lidi yang dijadikan salah satu penghasilan perempuan desa Tanjung Burung. Berbagai data terkait penyusunan laporan ini didapatkan dari berbagai narasumber melalui observasi langsung dan wawancara serta studi historis. Penulisan dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai data yang telah didapatkan ke dalam format laporan penelitian.


I.             PENGANTAR
       Dalam era demokratisasi saat ini, warga negara berhak memperoleh kesempatan untuk menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintah. Salah satu dari bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Pembinaan terhadap masyarakat paling efektif dilakukan pada tempat – tempat yang masih berkategori sebagai desa. Salah satu bentuk pembinaan tersebut adalah pemberdayaan perempuan.
       Pemberdayaan perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial, budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. Tujuan lain dari pemberdayaan perempuan adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1] Pelaksanaan pemberdayaan perempuan pun memiliki berbagai manfaat disebabkan tujuannya yang begitu dalam dan kompleks. Manfaat dari pemberdayaan perempuan antara lain seorang perempuan akan mampu berkembang dengan baik setelah melakukan pembinaan pemberdayaan perempuan. Karena banyak manfaat dan tujuannya, pemberdayaan perempuan dinilai sangatlah penting dilaksanakan di desa.
       Tulisan ini merupakan laporan yang dibuat oleh kelompok 6 mata kuliah Sosiologi Pedesaan. Tulisan ini bermula dari kegiatan kuliah lapangan yang dilakukan oleh Pendidikan Sosiologi 2010 di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Banten. Di desa ini, kami melihat adanya peran perempuan dalam upaya membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Perempuan yang pada awalnya merupakan ibu rumah tangga biasa yang melakukan pekerjaan rumah, diberdayakan oleh lingkungan agar bisa bertahan di tengah dinamika ekonomi yang semakin gencar menerpa kawasan pesisir banten.
            Namun, di tengah pemberdayaan yang dilakukan oleh lingkungan terhadap para perempuan desa, kami menemukan fakta bahwa hanya sebagian kecil perempuan desa yang berdaya secara ekonomi. Mereka sungguh – sungguh bekerja di sektor usaha informal yang menghasilkan uang guna membantu perekonomian keluarga. Pada umumnya, mereka adalah para perempuan lanjut usia yang tetap bertahan dengan usaha membuat sapu lidi dari bahan baku tulang daun kelapa kering.
            Tulisan ini akan membahas bagaimana pemberdayaan perempuan berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi komunitas di Desa Pesisir Tanjung Burung, Banten. Ada beberapa poin yang akan dibahas lebih jauh pada tulisan ini. Pertama, menjelaskan mengapa pemberdayaan perempuan terjadi di desa pesisir ini ? Kedua, sejauh mana pemberdayaan perempuan mempengaruhi pengembangan ekonomi komunitas desa pesisir ini ?
            Tulisan ini akan disajikan dalam 6 bagian. Pertama, pengantar terkait penjelasan mengenai garis besar tulisan. Kedua, deskripsi lokasi yang dijadikan bahan penelitian untuk tugas mata kuliah Sosiologi Pedesaan. Ketiga, menjelaskan mengenai pemberdayaan perempuan di desa Tanjung Burung berdasarkan struktur organisasi yang diciptakan di desa ini. Keempat, menjelaskan mengenai pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung berdasarkan kultur yang ada di desa ini. Kelima, analisis kajian Sosiologi Pedesaan terkait pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung dan pengaruhnya terhadap pengembangan ekonomi komunitas. Keenam, penutup terkait kesimpulan laporan yang telah disajikan.
            Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil observasi, studi lapangan, dan wawancara kepada beberapa perempuan warga Desa Tanjung Burung Banten. Metode yang digunakan di dalam tulisan ini adalah metode kualitatif dan deskriptif, agar penggambaran mengenai pemberdayaan perempuan di desa ini dapat terangkum dengan jelas dan lengkap.

II.          DESKRIPSI LOKASI
Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai pemberdayaan perempuan, sub bab ini akan mendeskripsikan lokasi penelitian yang dijadikan objek kajian kelompok. Praktek Kuliah Lapangan Sosiologi Pedesaan Pendidikan Sosiologi 2010 dilaksanakan di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Banten. Desa Tanjung Burung berdiri pada tahun 1984, dengan luas wilayah 864 hektar. Desa ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung Pasir, Desa Tegalangus, dan Desa Pangkalan. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pangkalan dan Desa Kampung Melayu Barat, dan Kali Cisadane, Desa Kalibaru serta Desa Kohod di sebelah barat.
Lahan yang ada di Desa Tanjung Burung dimanfaatkan untuk berbagai keperluan penduduk desa. Pembagian lahan ini antara lain : 170 hektar untuk tanah pemukiman, 1.500 m2 untuk tanah pekuburan, 122 hektar diperuntukkan lahan pertanian, 320 hektar sebagai lahan pertambakan, peternakan disediakan lahan sebanyak 42 hektar, dan 0 hektar untuk prasarana umum. Dengan adanya pembagian yang diatur oleh aparatur desa, diharapkan tercipta keselarasan pembangunan Desa Tanjung Burung.[2]
Saat ini, Desa Tanjung Burung dikepalai oleh seorang Kepala Desa bernama Rusdiyono. Dalam bertugas, Kepala Desa Tanjung Burung dibantu oleh Sekretaris Desa dan Kepala Urusan, baik Kaur Pemerintahan, Kaur Ekonomi Pembangunan, Kaur Kesejahteraan Rakyat, dan Kaur Umum. Karena berperan sebagai Kepala Desa, maka Bapak Rusdiyono pun tidak terlepas dari tanggung jawab dalam memegang dan mengawasi wilayah administrasi pemerintahan desa. Pembagian wilayah Desa Tanjung Burung meliputi :Keadaan sosial penduduk Desa Tanjung Burung yang akan diuraikan di dalam laporan ini adalah jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin per Juli 2010 berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010. Data yang disertakan hanya berupa data penduduk berdasarkan jenis kelamin karena data ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap isi laporan mengenai pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung. Berikut tabel jumlah penduduk Desa Tanjung Burung bedasarkan jenis kelamin :Secara umum, keadaan topografi Desa Tanjung Burung adalah daerah dataran rendah dengan spesifikasi berupa wilayah pesisir laut Jawa. Namun, keadaan topografi ini tidak lantas membuat mata pencaharian penduduk desa menjadi bermayoritas sebagai nelayan. Di desa ini, profesi sebagai nelayan justru tidak banyak digeluti, yang justru menjadi favorit adalah profesi sebagai buruh atau pegawai swasta. Berikut, penulis sertakan diagram jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian :Membesarnya minat penduduk desa untuk menggeluti pekerjaan sebagai buruh atau pegawai swasta dikarenakan Desa Tanjung Burung tidak lagi menjadi desa pesisir yang sebenarnya. Berada di muara sungai Cisadane membuat keadaan desa pesisir ini memburuk. Sampah – sampah yang berasal dari kota yang dialiri sungai ini sebelumnya, misalnya dari kota Tangerang, akan menumpuk di muara sungai, yakni Desa Tanjung Burung. Ini menyebabkan memburuknya kadar perairan di sekitar desa dan lepas pantai Tanjung Burung, yang akhirnya berimbas pada menurunnya tingkat pendapatan sumber daya laut. Tidak heran, jika pada saat sekarang ini penduduk desa lebih memilih menjadi buruh di pabrik atau pegawai swasta.
Keadaan ekonomi yang didasarkan kepada mata pencaharian pokok penduduk desa mengakibatkan dinamika tingkat kesejahteraan masyarakat. Penduduk yang tergolong sebagai orang kaya, dimana pendapatan yang diperoleh lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga ada sebanyak 277 Kepala Keluarga/jiwa. Kemudian, penduduk yang berpenghasilan cukup/sedang sebanyak 500 Kepala Keluarga/jiwa, dan penduduk dengan penghasilan di bawah rata – rata dan dianggap kurang mampu sebanyak 740 Kepala Keluarga/jiwa.
Besarnya jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan, perbedaan mata pencaharian dan tingkat kesejahteraan mengakibatkan munculnya pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung. Pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung terbagi ke dalam dua kategori besar, yakni pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural dan pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural.
Dua pemberdayaan perempuan yang berbeda paham ini ditimbulkan oleh berbedanya pergaulan perempuan yang tumbuh di Desa Tanjung Burung. Pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural tumbuh dan berkembang diakibatkan oleh munculnya organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang diketuai oleh Ibu Kepala Desa. Organisasi ini memberdayakan perempuan berdasarkan asas – asas yang telah disepakati dan memiliki target serta program kerja yang jelas. Perempuan yang tergabung di dalam organisasi PKK  ini pun tergolong perempuan dari keluarga mampu dan sedang, yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga saja.
Pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural muncul dan semakin berkembang seiring himpitan perekonomian yang menerpa Desa Tanjung Burung. Perempuan dari golongan menengah ke bawah dan perempuan yang berusia lanjut biasanya memberdayakan dirinya serta perempuan lain, untuk berusaha dalam sektor ekonomi. Salah satu kultur yang melingkupi ranah perempuan di Desa Tanjung Burung adalah usaha pembuatan sapu lidi dengan menggunakan tulang daun kelapa kering. Perempuan yang berdaya berdasarkan ranah kultural ini biasanya tidak menyentuh dan mendapat pelayanan dari pemberdayaan perempuan struktural. Sub bab berikutnya akan membahas lebih rinci dan mendalam mengenai dua aspek pemberdayaan perempuan yang ada di Desa Tanjung Burung Banten.

III.       PEMBERDAYAAN PEREMPUAN BERDASARKAN STRUKTURAL
            Seperti desa-desa yang lain, desa Tanjung Burung juga memiliki satu saluran pemberdayaan perempuan, yaitu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) yang merupakan pemberdayaan perempuan di desa Tanjung Burung secara struktural. Sebelum masuk pada pembahasan PKK di desa Tanjung Burung, terlebih dahulu kita akan melihat pada PKK secara keseluruhan di Indonesia. PKK adalah organisasi masyarakat yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan baik di kota maupun desa. Tujuan dari PKK ini tidak lain adalah memberdayakan perempuan dalam rangka menjadikannya perempuan yang mandiri serta mampu membina keluarganya[4]. Selain itu, PKK ini memiliki sasaran manfaat yang tidak hanya bagi perempuan itu sendiri, tapi juga dalam kegiatan sosial untuk masyarakat, membina suatu keluarga agar menjadi keluarga yang harmonis, sampai dengan menumbuhkan dan mengembangkan usaha ekonomi keluarga.
            PKK di Indonesia dalam kegiatannya memiliki sepuluh program pokok[5], yaitu:
No
Program PKK
Penjelasan
1
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
PKK aktif dalam mengembangakan rasa kebersamaan, taat pada aturan, taat pada hukum, berbudi peketi luhur, berwatak mulia sebagai pengamalan pancasila.
2
Gotong Royong
PKK berperan dalam menbudayakan sikap gotong royong dalam rangka meningkatkan kebersamaan dalam masyarakat.
3
Pangan
PKK menggalakan penyuluhan untuk pemanfaatan pekaranan, antara lain dengan menanam tanaman yang bermanfaat sperti sayu-sayuran, buah-buahan dan bumbu-bumbu. Hasil dari perkarangan tersebut dapat dimanfaatkan untuk sendiri maupun dijual untuk menambah perekonomian keluarga.
4
Sandang
PKK menggalakkan upaya untuk dapat memanfaatkan produk bahan dan corak pakaian setempat, dengan mencintai produk dalam negeri.
5
Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga
PKK berperan dalam mensosialisasikan kepada masyrakat khususnya perempuan untuk menciptakan rumah yang bersih dan layak untuk dijadikan tempat berteduh.
6
Pendidikan dan Keterampilan
PKK memanfaatkan jalur pendidikan non-formal seperti pelatihan-pelatihan keterampilan, pendidikan pada usia dini (PAUD) dan lainnya. PKK berperan dalam meningkatkan pendidikan dan kesempatan belajar yang sama, seperti memberantas buta huruf dan kursus belajar pendidikan paket A, Bdan C.
7
Kesehatan
Perhatian PKK khusus pada bidang kesehatan dikhususkan pada kesehatan perempuan dan anak-anak, direalisasikan dalam bentuk posyandu.
8
Pengembanganan Kehidupan Berkoperasi
PKK menganjurkan pembentukan koperasi dalam rangka memberdayakan keluarga dengan meningkatkan pendapatan.
9
Kelestarian Lingkungan Hidup
Program ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan secara ekologis, dengan cara PKK memberikan penyuluhan sederhana agar lingkungan tidak dirusak dan mencegah pencemaran lingkungan.
10
Perencanaan Sehat
Perencanaan sehat mencakup upaya meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengelola keuangan keluarga secara efektif, efisien dengan memperhatikan kepentingan masa depan.

Masuk pada PKK di desa Tanjung Burung, PKK desa Tanjung Burung telah ada sejak awal keberadaan desa Tanjung Burung itu sendiri. Sejak awal keberadaannya, PKK telah dipimpin oleh istri dari kepala desa yang menjabat saat itu. Jadi, secara otomatis siapapun istri dari kepala desa yang tengah menjabat, dialah yang menjadi ketua dari PKK desa Tanjung Burung. Ibu Ubayanti, istri dari Kepala Desa Tanjung Burung yang menjabat saat ini, merupakan ketua dari PKK di desa Tanjung Burung saat ini. Jabatan ketua PKK di desa Tanjung Burung ini berlangsung selama enam tahun sesuai dengan masa jabatan kepala desa, dan untuk Ibu Ubayanti ini telah menjabat selama dua tahun. Dalam melaksanakan kegiatan PKK tersebut, tentunya Ibu Ubayanti tidak sendirian, tetapi dibantu dengan anggota-anggota PKK desa Tanjung burung yang lain seperti yang dapat kita lihat pada daftar berikut :
Selayaknya kepengurusan organisasi yang lain, pengurus dari PKK desa Tanjung Burung pastinya memiliki tugasnya masing-masing, seperti sekretaris yang mengurus segala keperluan surat-menyurat PKK desa Tanjung Burung dan bendahara yang mengatur dan mendata keuangan dari PKK desa Tanjung Burung. Di dalam kepengurusan juga terdapat empat kepala Pokja (kelompok kerja) yang menjalankan tugas sesuai bidang yang dinaungi masing-masing yaitu Pokja 1 yang menangani bidang kemasyarakatan, Pokja 2 menangani bidang pendidikan, Pokja 3 menangani bidang lingkungan dan keterampilan, dan terakhir Pokja 4 menangani bidang pendataan masyarakat dan kesehatan.
Untuk jumlah anggota PKK sendiri saat ini kurang lebih terdapat 40 anggota (baik aktif maupun pasif) yang terdiri dari ibu-ibu rumah tangga di kawasan desa Tanjung Burung. Perlu diketahui, bahwa anggota-anggota dari PKK desa Tanjung Burung ini dipilih langsung oleh ibu Ubayanti selaku ketuanya. Hal ini dibuktikan dengan salah satu informan kami yang sudah menjadi anggota PKK (dari Pokja 4) kurang lebih selama 7 tahun yaitu ibu Umi, yang menyatakan:
Ibu ketua kan yang milih langsung anggota PKK, beliau lebih milih orang-orang yang udah pengalaman di PKK sebelumnya yang dipimpin sama mertuanya sendiri.
Ibu Ubayanti dalam pengakuan ibu Umi dikatakan sebagai pribadi yang cenderung konservatif sebagai ketua PKK baik dalam hal kegiatan ataupun masalah keanggotaan PKK desa Tanjung Burung. Hal ini secara tidak langsung membuat ibu Ubayanti yang memiliki hak untuk memilih anggota, cenderung mempertahankan anggota-anggota PKK yang sebelumnya telah menjabat sekaligus dengan melihat kualitas yang dimiliki anggota tersebut. Kondisi ini secara tidak langsung berakibat pada suatu pandangan pada masyarakat terutama perempuan di desa Tanjung Burung, bahwa yang menjadi anggota PKK bersifat monotone (orang yang sama), eksklusif dan hanya orang-orang terdekat dari ibu Ubayanti selaku ketua PKK desa Tanjung Burung.
Masuk pada kegiatan, dalam rangka memberdayakan perempuan di desa Tanjung Burung, PKK desa Tanjung Burung mengadakan berbagai kegiatan di setiap Pokja. Misalnya seperti pengajian ibu-ibu yang diselenggarakan oleh Pokja 1, pelaksanaan PAUD untuk pendidikan anak-anak usia dini di desa Tanjung Burung oleh Pokja 2, pelaksanaan lomba kebersihan dan kerja bakti oleh Pokja 3, selain itu Pokja 3 juga mengadakan pelatihan keterampilan seperti demo masak membuat kue, pelatihan membuat tikar dan keset. Terakhir, Pokja 4 memiliki kegiatan pendataan terhadap anak-anak, ibu-ibu maupun lansia yang ada di desa Tanjung Burung serta kegiatan posyandu untuk balita desa Tanjung Burung.
Diantara semua kegiatan yang diselenggarakan PKK desa Tanjung Burung tersebut, terdapat satu kegiatan yang dapat dikatakan aktif atau menjadi kegiatan rutin dari PKK desa Tanjung Burung yaitu Posyandu. Seperti pernyataan Ibu Ubayanti berikut:
Kalau kami yang dibilang berhasil ya program kegiatan posyandu, sudah jadi kegiatan rutin yang kita adain. Posyandu itu kegiatan aktif kita lah gitu. Kalo kegiatan yang lain tergantung, kayak pengajian itu gak menentu juga kita adainnya. 
Pernyataan Ibu Ubayanti tersebut juga dibenarkan oleh ibu Umi, seperti berikut :
Dulu jarang banget ada kegiatan di PKK kita, sama ibu kades yang sekarang mendingan, banyak kegiatan. Tapi bisa dibilang kegiatan banyak juga yang berjalan bagus Cuma satu mbak, posyandu aja. Posyandunya sendiri diadain satu kali tiap bulannya setiap tanggal 8.
Kegiatan lain diluar posyandu seperti demo masak, kerja bakti dan lainnya bukan berarti mengalami stagnansi. Tetap berjalan, namun sifatnya tentative, pengadaanya bergantung pada situasi dan kondisi yang tidak terjadwalkan seperti kegiatan posyandu tersebut.  Lalu, bila terkait dengan pemberdayaan perempuan oleh PKK desa Tanjung Burung dalam rangka pengembangan perekonomian masyarakat desa Tanjung Burung, terdapat fakta            bahwa tidak adanya kegiatan PKK desa Tanjung Burung yang berorientasi pada pengembangan perekonomian masyarakat desa Tanjung Burung, terutama secara khusus untuk anggota PKK itu sendiri. Seperti yang dinyatakan Ibu Ubayanti:
Ya kalo masalah kegiatan yang menghasilkan uang sih memang enggak ada. Semua kegiatan lebih ke sosial masyarakat aja, saya juga kan baru ngejabat dua tahun jadi masih ngelanjutin aja kegiatan yang dulu pernah ada. Saya pengen sih ada kegiatan PKK itu yang menghasilkan uang baik buat kas PKK atau uang tambahan anggota saya, Cuma ya mungkin belum sekarang ini karena saya masih lebih ke jalanin yang ada dulu aja.”

Pada realitanya PKK yang dipimpin oleh Ibu Ubayanti disini kegiatannya cenderung bertujuan untuk memberikan dan mengembangkan kemampuan (baik wawasan dan ketrampilan) anggota PKK itu sendiri, bukan lebih kepada upaya memberdayakan anggotanya atau perempuan lain di desa Tanjung Burung untuk mencapai pengembangan kesejahteraan ekonomi baik di tingkat keluarga ataupun masyarakat desa Tanjung Burung secara keseluruhan. Dapat kita lihat dari yang diterangkan sebelumnya, kegiatan PKK di desa Tanjung Burung kebanyakan aktifitasnya bersifat sosial, contohnya saja kegiatan Posyandu yang diadakan setiap bulan yang dijalankan oleh Pokja 4 dan kegiatan kerja bakti yang dilakukan oleh Pokja 3.
Kemudian kegiatan sosial berikutnya yang dikelola oleh pokja 3 berupa pembelajaran masak atau demo masak yang dapat dikatakan sebagai kegiatan pemberdayaan keterampilan perempuan desa Tanjung Burung terutama anggota PKK tersebut. Dengan adanya kegiatan ini para ibu-ibu atau perempuan yang ada di desa Tanjung Burung diberi keterampilan untuk mengelola bahan-bahan mentah yang kemudian dijadikan sebuah masakan yang layak atau enak untuk disantap. Pada kegiatan demo masak itu hanyalah sebatas penambahan wawasan dalam bidang memasak, juga melatih keterampilan namun tidak menyalurkan hasil produksi dari kegiatan ini untuk dijual, tetapi digunakan untuk diri mereka sendiri, sehingga PKK desa tanjung burung seperti tidak memiliki produk hasil produksi PKK sendiri yang dapat memberi keuntungan secara finansial untuk PKK dan perempuan desa Tanjung Burung.
Dari hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh PKK desa Tanjung Burung lebih berkonsetrasi pada pengembangan kemampuan sebatas anggota PKK saja dan tidak terlihat meluas kepada perempuan lain yang ada di desa Tanjung Burung yang berada diluar dari keanggotaan PKK desa Tanjung Burung. Semua dilakukan sebatas pelatihan belaka, tidak disertai suatu tujuan yang akan dicapai dibalik pengadaan latihan tersebut baik yang menguntungkan PKK, anggota PKK maupun keseluruhan perempuan di desa Tanjung Burung. Belum ada suatu target pencapaian, belum ada pemwadahan hasil produksi pengadaan pelatihan kemampuan tersebut. Selain itu, pengembangan kemampuan yang dilaksanakan PKK masih sangat tentative, belum memiliki kontinuitas, yang nantinya akan menjadi rutinitas dan memberikan manfaat lebih banyak lagi bagi anggota PKK dan perempuan desa Tanjung Burung.
Melihat dari karakter ibu Ubayanti selaku ketua PKK yang konservatif, PKK desa Tanjung Burung menjadi terlihat seolah hanya mengutamakan pelaksanaan program-program seperti biasanya, menjalankan program yang telah ada secara turun menurun dan pengembangan kemampuan dari individu anggotanya. Namun PKK desa Tanjung Burung ini belum melihat pada adanya pengembangan kesejahteraan ekonomi individu anggotanya, terlebih belum melihat pengembangan ekonomi perempuan (diluar keanggotaan PKK) di desa Tanjung Burung, keluarga-keluarga yang ada  dan masyarakat desa Tanjung Burung secara keseluruhan.
Pastinya ini membuat tidak tercipta suatu program kegiatan pemberdayaan yang berorientasi ekonomi yang diolah langsung oleh PKK desa Tanjung Burung yang dapat memberikan manfaat secara luas. Kalaupun ada penghasilan ekonomi yang diterima anggota PKK lebih kepada inisiatif individu tersebut dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari kegiatan PKK, dalam bentuk menjual belikan hasilnya dan mengolah atas namanya sendiri. Penghasilannya tersebut pun cenderung langsung masuk ke ‘kantong’ individu tersebut dan tida berdampak luas pada masyarakat desa Tanjung Burung lainnya.



IV.       PEMBERDAYAAN PEREMPUAN BERDASARKAN KULTURAL
Dari data yang diperoleh ketika melakukan penelitian lapangan di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Tangerang, Banten, tepatnya di RT 11, kelompok menemukan bahwa selain pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural ada juga pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural. Pemberdayaan perempuan berdasarkan aspek kultural sangat bertolak belakang dengan konsep yang diusung dengan prinsip struktural. Pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural di sini berarti bahwa perempuan ada dan berdaya dikarenakan aspek budaya yang melekat sejak lama di komunitas tertentu. Segi kultural menekankan tidak adanya pemberdayaan secara teratur, tidak memiliki dan terikat lembaga tertentu.
Salah satu budaya yang digunakan dalam pemberdayaan perempuan Desa Tanjung Burung adalah membuat sapu lidi. Sapu lidi merupakan suatu benda yang digunakan oleh penduduk desa untuk membersihkan halaman rumah atau kebun. Pemberdayaan perempuan dengan membuat sapu lidi ini sudah ada sejak Desa Tanjung Burung berdiri, namun pengalokasian untuk nilai ekonomisnya baru dirasakan akhir – akhir ini. Tidak hanya melalui sapu lidi, perempuan Desa Tanjung Burung sekarang ini sudah terbiasa untuk melihat nilai ekonomis dari suatu kegiatan, terutama untuk perempuan golongan menengah ke bawah. Mereka diharapkan dapat membantu suami dan keluarga untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Hal inilah salah satu dasar alasan budaya membuat sapu lidi kembali ada dan berkembang di Desa Tanjung Burung.
Pemberdayaan perempuan berdasarkan aspek kultural, terutama membuat sapu lidi, di Desa Tanjung Burung lebih banyak didominasi oleh perempuan yang sudah melewati usia produktif, rentang usia antara 60 – 90 tahun. Sedangkan perempuan usia produktif, berusia antara 18 – 45 tahun kebanyakan tidak bekerja, menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak di rumah. Pemberdayaan ini didasarkan keinginan dari perempuan – perempuan di desa untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya lewat usaha – usaha informal. Perempuan yang sudah lanjut usia kebanyakan mengisi waktu luang mereka dengan membuat sapu lidi. Hal ini diperkuat oleh penuturan Ibu Isah (71 Tahun) :
“Yah, kalo saya mah memang ga ada kerjaan, udah nenek – nenek dan tinggal sendiri, abis suami udah meninggal. Nah, saya bikin sesapu (sapu lidi) yah buat dapet duit sehari –hari aja, dijadiin rezeki utama, biar ga bosen, lumayan buat beli beras barang seliter sama kopi.”
Pembuatan sapu lidi dulunya merupakan kegiatan yang dikerjakan oleh ibu-ibu untuk mengisi waktu luang, di tengah kesibukan sebagai ibu rumah tangga biasa. Ketika itu, tulang daun kelapa kering sangat mudah didapatkan bahkan tidak terpakai, sehingga timbullah inisiatif dari segelintir perempuan untuk memanfaatkannya. Inisiatif ini hanya berbatas pada nilai guna sapu lidi masa itu, dimana sapu lidi digunakan untuk membersihkan halaman rumah. Saat ini, sapu lidi di Desa Tanjung Burung sudah mampu menjadi suatu komoditi ekonomi yang membuat perempuan berdaya secara finansial.
Tidak hanya perempuan lanjut usia, beberapa perempuan usia produktif pun ada yang bekerja sambilan membuat sapu lidi. Dari penelitian di Desa Tanjung, didapatkan data ada sekitar 20 perempuan usia produktif yang bekerja sambilan dengan membuat sapu lidi. Perempuan usia produktif ikut berdaya secara ekonomi dengan cara membuat sapu lidi, dikarenakan adanya ajakan dari perempuan – perempuan yang lebih tua. Inilah yang kelompok maksud sebagai sebuah pemberdayaan, dimana mereka yakni para perempuan yang lebih muda tertarik untuk mengkuti jejak perempuan yang lebih tua dalam hal membuat sapu lidi. Melalui ajakan dan obrolan yang dilakukan sehari-hari, semakin banyak perempuan Desa Tanjung Burung yang menganggap sapu lidi sebagai benda yang bernilai guna ekonomis. Perempuan yang lebih muda biasanya akan membuat sapu lidi setelah kegiatan pokok mereka selesai dilakukan seperti selesai memasak, mencuci, dll. Produksi sapu lidi yang dapat dihasilkan oleh perempuan Desa Tanjung Burung sendiri secara keseluruhan berkisar antara 6 – 9 sapu lidi setiap hari tergantung bahan mentah yang mereka dapatkan.
Bahan sapu lidi didapatkan dari perkebunan kelapa yang ada di sekitar lingkungan Desa Tanjung Burung. Mengingat Desa Tanjung Burung merupakan sebuah desa pesisir, maka tidak heran jika banyak pohon kelapa yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah ini. Pembuatan sapu lidi tidak terpengaruh oleh musim atau keadaan cuaca tertentu, sebab bahan sapu lidi bisa didapatkan kapan saja oleh yang menginginkannya. Kelapa sebagai bahan baku dalam membuat sapu lidi ini tersedia sepanjang tahun dan tidak mudah habis meski penduduk desa banyak memanfaatkannya untuk berbagai keperluan.
Bahan baku mebuat sapu lidi biasanya didapatkan ketika ada pemetik pohon kelapa sedang memetik kelapa. Perempuan di desa ini , terutama yang lanjut usia, akan meminta tolong untuk diambilkan bahan baku pembuat sapu lidi, yaitu tulang daun kelapa. Kemudian, daun kelapa yang dipetik ini akan dikeringkan selama 2-3 hari, agar bisa di proses menjadi sebuah sapu lidi. Selain meminta langsung kepada pemetik kelapa, perempuan – perempuan ini juga mencari sendiri bahan baku pembuat sapu lidi itu dengan cara mengambil daun kelapa kering yang sudah jatuh ke tanah di sekitar kebun kelapa.
Daun kelapa kering yang sudah jatuh ini disebut sebagai belara. Belara yang paling baik digunakan dalam pembuatan sapu lidi adalah belara yang sudah dalam kondisi tua, karena belara tua ini memiliki tekstur yang lebih kuat daripada belara muda. Semakin tua dan kering daun kelapa yang didapatkan maka akan semakin kuat dan bagus sapu lidi yang dihasilkan. Berikut hasil wawancara kami dengan Ibu Sedia (65 Tahun) :

“Kalo ada yang lagi ke kebon dan mau manjat kelapa, kita nitip, buat ambilin daun yang masih di pohon kelapanya. Kalo belara mah ga usah minta bantuan, tinggal keliling aja ke kebon – kebon, ntar juga ada yang berserakan.”
 
Pembuatan sapu lidi di Desa Tanjung Burung sendiri kebanyakan dilakukan oleh perempuan secara individu. Kegiatan membuat sapu lidi di Desa Tanjung Burung dilakukan secara individu karena kurang terorganisirnya pemberdayaan perempuan melalui usaha ini. Karena kurang diberdayakan secara organisasi, maka pembuatan sapu lidi pun tidak dilakukan secara berkelompok.
Dari segi pemasarannya, perempuan – perempuan ini tidak menemui kesulitan dalam penjualan sapu lidi. Sapu lidi yang dibuat oleh perempuan desa biasanya akan dibeli semuanya oleh pembeli keliling. Pembeli keliling ini sudah menghapal rumah – rumah penduduk yang membuat sapu lidi, sehingga setiap hari dia akan berkeliling dengan rute yang sama. Berapa pun sapu lidi yang dihasilkan oleh perempuan Desa Tanjung Burung, dia tetap akan membelinya. Biasanya, pembelian sapu lidi dalam jumlah banyak ini diperuntukkan sebagai produksi pabrik. Jadi, dari segi pemasaran sapu lidi, perempuan Desa Tanjung Burung tidak memiliki masalah berarti.
Pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural ini merupakan hasil dari tidak meratanya orgainisasi PKK Desa Tanjung Burung. Organisasi PKK yang merupakan pemberdayaan perempuan berdasarkan struktur, hanya mengembangkan kreatifitasnya dan melaksanakan kegiatan turun temurun yang tidak berbasiskan ekonomi. Tidak heran jika ada stigma yang berkembang di masyarakat Desa Tanjung Burung, bahwa yang dapat masuk ke organisasi PKK adalah perempuan – perempuan golongan kaya dan kenal dekat dengan Ibu Kepala Desa. Seperti penuturan Ibu Rohamah (60 Tahun) :
“Kalo PKK mah cuman mentingin buat diri dia doang. Program kegiatannya ga sampe ke semua masyarakat desa. Ini juga usaha bikin sesapu ga ada dari PKK sedikit pun, bener – bener niatan kita buat usaha, lanjutin yang udah – udah.  Ini mah pinter – pinternya kita aja, ngarepin PKK datang ke orang – orang seperti kita mah, atuh kapan tau, ga bakal kayanya.”
 Pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural justru mampu memberdayakan perempuan Desa Tanjung Burung ke arah kemapanan ekonomi. Hal yang menarik dicermati di desa ini adalah, pemberdayaan kultural ini ada dan berkembang justru dikarenakan upaya pemberdayaan perempuan yang tergolong lanjut usia. Mereka yang seharusnya sudah hanya menikmati hari tua dengan nyaman, ternyata masih berkutat dengan kegiatan yang tidak hanya kreatif tetapi juga menghasilkan uang. Uang yang dihasilkan memang tidak banyak dan hanya mencukupi kehidupan sehari-hari, namun aspek budaya yang berkembang menjadi nilai lebih dari kegiatan membuat sapu lidi ini. Pemberdayaan perempuan melalui aspek kultural di Desa Tanjung Burung memecah kebuntuan perempuan yang ingin berdaya secara ekonomi baik untuk dirinya sendiri serta keluarganya.
V.          ANALISIS KAJIAN
Pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung mengacu ke dalam dua bagian besar. Pertama, pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural dan yang kedua pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural. Di Desa Tanjung Burung ini, Kami melihat kecenderungan bahwa pemberdayaan perempuan berdasarkan aspek kultural lebih berperan dalam upaya pengembangan ekonomi. Perempuan – perempuan yang tidak masuk ke dalam organisasi PKK desa, dan cenderung kepada perempuan lanjut usia, ternyata lebih mampu untuk memberdayakan dirinya dan orang lain untuk mencari nafkah dengan membuat sapu lidi. Pemberdayaan perempuan melalui aspek kultural didasarkan kepada budaya masyarakat Desa Tanjung Burung yang dijadikan pegangan dalam menghadapi dinamika ekonomi saat ini. Membuat sapu lidi yang sejak dulu sudah dilakukan oleh perempuan Desa Tanjung Burung tetap diteruskan hingga kini karena dianggap masih relevan dalam membantu keuangan keluarga. Namun, tidak semua perempuan ingin meneruskan budaya yang sudah ada ini, kebanyakan perempuan usia muda sudah tidak mau lagi menjalankan tradisi ini karena berbagai alasan. Kebiasaan dalam membuat sapu lidi pun semakin mengerucut kepada perempuan – perempuan lanjut usia.
Terlepas dari upaya pengembangan ekonomi, pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural juga mampu menghadirkan kearifan lokal yang ada di Desa Tanjung Burung. Sebuah kearifan lokal yang dipertahankan secara turun temurun akan membentuk budaya tersendiri yang akan memperkuat dan memperkaya iklim budaya Tanjung Burung. Hampir semua unsur kebudayaan mengalami perubahan. Sebagian unsur kebudayaan gugur, karena dianggap tidak sesuai dengan lingkungan sekarang, dan yang lainnya tetap dilanjutkan. Unsur yang gugur kadangkala muncul kembali dengan konsep yang baru dan diinterpretasi secara baru.[6] Ini dapat difokuskan pada tradisi membuat sapu lidi di Desa Tanjung Burung. Dulu, membuat sapu lidi adalah sebuah pekerjaan untuk membuat perempuan – perempuan desa bersatu, mereka bertukar informasi dan menghabiskan waktu luang sambil membuat sapu lidi. Sapu lidi menjadi sebuah simbol pertemanan di kala itu.
Namun, sekarang tradisi itu mulai ditinggalkan, perempuan – perempuan semakin individualis dari hari ke hari. Organisasi PKK dibentuk dan dibuat untuk pemberdayaan perempuan, tetapi tidak menjangkau ke seluruh perempuan desa. Kemudian, karena adanya himpitan ekonomi, perempuan desa yang tidak tersentuh oleh organisasi PKK beralih kembali kepada tradisi lama yakni membuat sapu lidi. Membuat sapu lidi menjadi sumber kearifan lokal Tanjung Burung dalam menghadapi kehidupan.
Dasar dari pengembangan ekonomi komunitas desa pesisir Tanjung Burung juga dapat kita pahami melalui pemahaman Jim Ife yang tertuang dalam bukunya Community Development. Ia mengatakan bahwa pengembangan komunitas didasarkan kepada dua perspektif, yang pertama adalah perspektif ekologi dan yang kedua adalah perspektif keadilan sosial. Namun, yang lebih tepat dalam menganalisis pemberdayaan perempuan Desa Tanjung Burung adalah melalui perspektif ekologi. Perspektif ekologi lebih berperan di dalam analisis kajian di dalam karya tulis ini dikarenakan adanya keterkaitan antara pemberdayaan perempuan dalam upaya pengembangan ekonomi komunitas dengan persoalan ekologi yang dihadapi oleh Desa Tanjung Burung saat ini.
Menurut Jim Ife, ada dua reaksi yang akan diberikan oleh suatu lingkungan dalam menghadapi persoalan ekologi.[7] Persoalan ekologi yang dihadapi Desa Tanjung Burung sudah cukup banyak, mulai dari polusi laut, air, tanah, dan lain sebagainya. Persoalan ekologi ini secara tidak langsung akan berdampak kepada perubahan pola sosial dan ekonomi wilayah. Dua reaksi yang diberikan lingkungan, antara lain : mencari cara untuk memecahkan persoalan lingkungan secara spesifik dengan menemukan solusi yang lain, ini merupakan pendekatan dengan pemikiran linier yang merupakan pemikiran dominan dalam pandangan dunia barat. Praktek karakteristik ini di Desa Tanjung Burung adalah pergantian pekerjaan dari nelayan menjadi buruh atau pegawai swasta diakibatkan telah rusaknya kondisi laut Jawa. Kedua, mencari solusi dengan melihat keadaan politik, sosial, ekonomi yang sudah ada. Di Desa Tanjung Burung, keadaan sosial yang pada karya tulis ini terkhusus pada pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural, tidak berjalan dengan baik sehingga muncullah solusi dari kaum perempuan sendiri untuk meneruskan tradisi dan budaya lama yang memiliki nilai ekonomi, yakni membuat sapu lidi.
Untuk membangun sebuah komunitas menjadi jauh lebih baik dan maju serta berdaya diperlukan berbagai upaya-upaya yang relevan dengan kegiatan di dalam komunitas. Jim Ife[8] mengatakan, model pembangunan komunitas berdasarkan perspektif ekologi mengacu kepada empat prinsip ekologi, yakni :
1.            Holistik
Pembangunan dan pengembangan komunitas, disyaratkan agar melihat segala fenomena sebagai bagian dari keseluruhan dari sistem yang lebih besar. Hal ini berlawanan dengan cara fikir linier yang mengabaikan masyarakat. Pandangan holistik mengarah kepada ekosentris daripada antroposentris, menekankan pada perubahan organik, dimana memihak masyarakat untuk berubah sendiri tanpa dipaksa.
Pembuatan sapu lidi sebagai salah satu upaya perempuan Desa Tanjung Burung merupakan bagian dari keseluruhan sistem ekonomi yang lebih besar. Ekonomi yang ditekankan pada pembuatan sapu lidi bersifat memihak masyarakat. Tidak ada paksaan atau keharusan dalam melestarikan budaya membuat sapu lidi, meskipun itu menghasilkan nilai guna ekonomi. Masyarakat dibiarkan untuk memilih kegiatan apa yang paling cocok dilakukan oleh dirinya, baik melalui struktur yang telah disediakan atau justru melestarikan kultur daerah yang sudah ada sebelumnya.

2.            Keberlanjutan
Prinsip keberlanjutan berarti bahwa sistem harus dapat dipertahankan dalam jangka panjang, bahwa sumber daya hanya boleh digunakan apabila dapat diisi ulang kembali, dan konsumsi harus dapat diminimalisasi ke dalam tahap tertentu. Strategi ini akan memperkecil pertumbuhan ekonomi dan memperkuat usaha konservasi. Ini merupakan kendala juga bagi perkembangan teknologi dan kapitalisasi.
Baik pemberdayaan perempuan secara struktural maupun kultural, keduanya tetap memperhatikan aspek keberlangsungan sumber daya yang ada dan telah digunakan. Pada pemberdayaan secara struktural, sumber daya yang dimaksud adalah perempuan-perempuan anggota PKK Desa Tanjung Burung. Dengan dilakukannya berbagai kegiatan oleh PKK, diharapkan kader-kader PKK mampu untuk meneruskan aktivitas kepada generasi selanjutnya. Di lain pihak, pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural hanya mengambil sumber daya alam berupa daun kelapa, namun dalam jumlah yang terjangkau dan tidak berlebihan. Ini dimaksudkan agar tetap tercipta kesinambungan antara keberadaan bahan baku dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Kedua jenis pemberdayaan perempuan di Desa Tanjung Burung ini mempraktekkan prinsip keberlanjutan di dalam kegiatannya.

3.            Keberagaman
Prinsip keberagaman merupakan aspek fundamental dari perspektif ekologi. Dengan keberagaman, sistem alami mampu berkembang, beradaptasi serta tumbuh. Keberagaman menghargai perbedaan, tidak memusatkan perhatian pada satu jawaban atas persoalan tertentu dan memihak desentralisasi.
Munculnya pemberdayaan perempuan melalui aspek kultural disebabkan oleh adanya prinsip keberagaman yang diterapkan di Desa Tanjung Burung. Persoalan mengenai PKK yang tidak mencakup ke seluruh penduduk perempuan, tidak dijadikan masalah yang besar. Ketiadaan PKK di semua golongan perempuan desa, memunculkan solusi baru yang dicetuskan oleh perempuan lanjut usia. Ini merupakan eksistensi sistem lama yang ada di Desa Tanjung Burung, dimana tradisi diharapkan mampu menjawab persoalan yang ada. Kedua jenis pemberdayaan perempuan ini kemudian tumbuh dan berkembang seiring dinamika kehidupan Desa Tanjung Burung.

4.            Keseimbangan
Keseimbangan penting untuk menjembatani hubungan antara sistem dan kebutuhan. Keseimbangan antara konteks global dengan lokal, apakah ide yang mengglobal bisa diterapkan dalam ranah lokal. Keseimbangan antara hak dan tanggung jawab dalam menjaga lingkungan, baik sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Keseimbangan ini perlu ada di dalam Desa Tanjung Burung, agar tidak terjadi ketimpangan yang terlalu jauh antara pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural dan pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural. Masing-masing pihak telah sadar akan hak dan kewajibannya dalam sebagai penduduk Desa Tanjung Burung. Jika yang muncul hanya pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural saja, maka akan tercipta kerusakan sistem (misalnya sistem sosial) di dalam komunitas Desa Tanjung Burung. Ide lokal yang berupa tradisi membuat sapu lidi diharapkan mampu untuk menyeimbangkan keberadaan struktur PKK yang sudah ada.
Prinsip – prinsip ini merupakan landasan pendekatan ekologi untuk mengembangkan komunitas yang berbasiskan pemikiran hijau dan tidak merusak lingkungan. Apabila keempat prinsip ini dijalankan dengan benar dan tepat di Desa Tanjung Burung, maka lingkungan desa pun akan berangsur –angsur membaik. Jika lingkungan ekologinya sudah baik, maka aspek sosial, ekonomi dan budaya Desa Tanjung Burung juga akan membaik.

VI.       PENUTUP
Desa Tanjung Burung merupakan desa yang berada di muara Sungai Cisadane yang berbatasan dengan Laut Jawa. Keadaan topografis ini membuat Desa Tanjung Burung menjadi salah satu desa pesisir di daratan Jawa. Meski menjadi desa pesisir, mata pencaharian penduduk desa justru terpusat kepada sektor swasta atau sebagai buruh pabrik. Pekerjaan sebagai nelayan sudah banyak ditinggalkan oleh penduduk desa, karena sedikitnya keuntungan yang didapat dari pekerjaan nelayan. Ini disebabkan oleh rusaknya wilayah laut Jawa akibat sampah yang terbawa hingga ke muara Cisadane yang berakhir di Desa Tanjung Burung.
Pengembangan ekonomi di Desa Tanjung Burung ini tidak terlepas dari pemberdayaan yang dilakukan terhadap perempuan desa. Kelompok menemukan fakta bahwa ada dua jenis pemberdayaan perempuan yang berjalan di Desa Tanjung Burung ini. Pemberdayaan perempuan yang berjalan di desa ini adalah pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural yakni melalui organisasi PKK (Pembinaaan Kesejahteraan Keluarga) dan pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural yakni melalui penekanan kebudayaan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kelompok juga melihat pemberdayaan ekonomi berdasarkan kultural lebih berperan dalam upaya pengembangan ekonomi masyarakat Desa Tanjung Burung.
Pemberdayaan perempuan berdasarkan struktural di desa Tanjung Burung diwadahi oleh organisasi PKK. PKK disini menjalankan program kegiatan pemberdayaan perempuannya ke dalam bidang sosial untuk masyarakat desa Tanjung Burung. Selain itu, PKK juga melihat pada adanya pengembangan kemampuan pada individu anggotanya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan pelatihan keterampilan. Namun yang disayangkan, jika kita kaitkan dengan pengembangan ekonomi desa Tanjung Burung, PKK desa Tanjung Burung tidak memiliki kegiatan yang berorientasi pada ekonomi. Orientasi ekonomi disini maksudnya tidak ada kegiatan dari PKK yang menghasilkan uang baik untuk kas PKK maupun untuk perekonomian anggota PKK dan masyarakat desa Tanjung Burung.
Pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural lebih menekankan bagaimana perempuan berdaya dalam mengembangkan ekonomi dirinya dan keluarganya, agar bisa tetap bertahan di dalam dinamika sosial ekonomi masyarakat. Salah satu contoh pemberdayaan perempuan berdasarkan kultural di Desa Tanjung Burung adalah usaha membuat sapu lidi dari bahan baku berupa tulang daun kelapa kering. Usaha membuat sapu lidi ini terbilang cukup menjanjikan dan tidak membutuhkan tenaga apalagi modal yang banyak. Perempuan yang melakukan usaha ini rata – rata adalah perempuan golongan ekonomi ke bawah dan perempuan lanjut usia. Pemberdayaan perempuan ini dilakukan dengan cara sosialisasi secara langsung dan tidak langsung dari turun temurun.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Ife, Jim. 2002. Community Development : Community – based alternatives in an age of globalization. Australia : Pearson Education.
Geertz, Clifford. 1983. Local Knowledge : Further Essays in Interpretive Anthropology. New York : Basic Books. Inc. Publisher.

Website dan Soft Copy:
Data wawancara dengan narasumber di Desa Tanjung Burung.
Data profil Desa Tanjung Burung.


[1] http://pkk-kelurahanperbutulan.blogspot.com/ (diakses pada tanggal 27 Mei 2012, pukul 18.34).
[2] Merupakan data profil desa yang berbentuk document word, diberikan oleh Sekretaris Desa Tanjung Burung dalam rangka penelitian.
[3] Ibid.
[5]Ibid.
[6] Clifford Geertz. 1983. Local Knowledge : Further Essays in Interpretive Anthropology. New York : Basic Books. Inc. Publisher.
[7] Jim Ife. 2002. Community Development : Community – based alternatives in an age of globalization. Australia : Pearson Education.
[8] Ibid.