STRATEGI
BERTAHAN DAN POLA NAFKAH
KELUARGA BURUH TAMBAK
(Studi: Dusun Beting, RT/RW: 16/08, Desa
Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang)
Oleh:
Ade
Nur Rahma
Amalina
Nabil
Destario
Sagita
Naila
Shofyan
Rahmat
Saehu
Abstrak
Di Desa Tanjung Burung terdapat 320 Ha
pertanian tambak sebagai tempat 20 rumah tangga menggantungkan hidupnya. Namun,
ternyata mereka hanyalah sebagai buruh tambak, bukan sebagai pemilik. Sebagai
buruh tambak, penghasilan yang mereka peroleh sangat pas-pasan, bahkan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ditambah lagi adanya
kendala-kendala yang banyak muncul. Kenyataan seperti itulah yang membuat kami
tertarik untuk melakukan penelitian di sana. Selain itu, penelitian ini kami
lakukan dalam rangka pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi
Pedesaan. Kami menggunakan metode kualitatif dalam penulisan paper ini. Dalam
paper ini, kami mencoba mengupas bagaimana kehidupan buruh tambak di desa
tanjung burung dalam menghadapi kendala-kendala yang ada. Mengapa mereka tetap
bertahan dengan keadaan yang memprihatinkan, serta bagaimana cara mereka
bertahan dan pola nafkah yang mereka lakukan.
PENGANTAR
Indonesia selain
dikenal sebagai negara agraris, dikenal juga sebagai negara maritim. Sebagian
besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan perikanan.
Masyarakat yang menggantungan hidupnya dari hasil perikanan, baik nelayan
maupun petambak biasanya hidup di daerah kepulauan, sepanjang pesisir. Sumber
daya pesisir dan kelautan adalah aset yang penting bagi negara Indonesia.
Terbentang 5,5 juta Km2 lautan di Indonesia dengan sumber daya
perikanan yang beragam. Setiap tahunnya, 6,7 juta ton ikan, udang dan cumi
dihasilkan dari lautan Indonesia.[1]
Saat ini, setidaknya
terdapat dua juta rumah tangga yang menggantungkan perekonomiannya pada sektor
perikanan[2].
Selain menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan. Mereka juga menekuni
bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kelautan, seperti usaha pariwisata
bahari, pengangkutan antarpulau, penyeberangan, dan penggalian pasir. Kehidupan
masyarakat pesisir biasanya kental dengan kemiskinan, karena hidup mereka
sangat tergantung pada kondisi alam. Apabila alam terganggu, maka kegiatan
bekerja mereka pun akan terganggu.
Kali ini, kami akan
membahas mengenai penduduk pesisir Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga,
Kabupaten Tangerang yang berprofesi sebagai buruh tambak. Sebagian buruh tambak
tersebut tinggal di Dusun Beting RT 14, 15, dan 16 RW 08. Mereka menjadikan
tambak sebagai tempat menggantungkan hidup mereka, meski dengan hasil yang
sangat minim. Berbagai cara mereka lakukan untuk memenugi segala kebutuhan
keluarga. Meski tempat tinggal mereka tak jauh dari kota Jakarta, tetapi kehidupan
mereka sungguh jauh dari kata sejahtera.
Tulisan ini menggunakan
metode kualitatif. Yaitu dengan mendeskripsikan secara jelas keseluruhan data
yang kami peroleh di lapangan. Pada saat pelaksanaan penelitian, kami
menggunakan metode wawancara.
Dalam tulisan ini, kami akan membahas beberapa hal.
Pertama, karakteristik masyarakat pesisir. Di sini kami akan membahas bagaimanakah
karakteristik mesyarakat pesisir secara keseluruhan. Kedua, konteks sosial
geografis Desa Tanjung Burung. Pada bagian ini, kami akan memaparkan bagaimana
kondisi sosial dan geografis di Desa Tanjung Burung. Ketiga, tambak di Desa
Tanjung Burung. Kami akan menjelaskan apakah yang dimaksud dengan tambak dan
kenyataan tambak yang ada di Desa Tanjung Burung. Keempat, kehidupan buruh tambak di Desa Tanjung Burung yang
di dalamnya akan dibahas mengenai bagaimana keluarga buruh tambak bertahan
hidup dengan situasi yang ada serta berbagai kendalanya, bagaimana pola nafkah
yang dilakukan keluarga buruh tambak, serta mengapa mereka tetap bertahan
dengan keadaan yang memprihatinkan. Kelima, penutup yang berupa kesimpulan dari
seluruh pembahasan paper kami.
KARAKTERISTIK
MASYARAKAT PESISIR
Masyarakat pesisir
merupakan salah satu karakteristik masyarakat yang ada di Indonesia, karena
status Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal tersebut disebabkan oleh posisi
geografis Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudra, yaitu Benua
Asia dan Benua Australia, serta dua samudra,
yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Nikijuluw berpendapat
bahwa masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang atau
suatu komunitas yang mendiami daerah pesisir dan menggantungkan kehidupan
perekonomiannya secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir[3].
Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan, pemilik tambak, pengontrak tambak,
buruh tambak, penambang pasir illegal, pengumpul ikan hasil melaut, dan
lain-lain. Sementara dalam bidang non pertanian, masyarakat pesisir bekerja
diantaranya sebagai pedagang, sopir, dan PNS.[4]
Redfield mengemukakan
bahwa pada dasarnya masyarakat pesisir merupakan masyarakat dengan tipe
komunitas desa petani dan desa yang terisolasi. Maksud dari desa terisolasi
adalah sebuah desa yang masyarakatnya tidak memiliki akses yang cukup untuk
melakukan hubungan dengan masyarakat luar dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya dan hanya menggantungkan hidup dari hasil laut.[5]
Redfield juga
mengemukakan bahwa karakteristik masyarakat pesisir tidaklah sama dengan
karakteristik masyarakat agraris. Pada masyarakat agraris sebagian besar
masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Mereka juga mampu
mengontrol pendapatannya, karena pola panen yang terkontrol, sehingga mereka
dapat menentukan strategi untuk meningkatkan pendapatan mereka dari hasil
pertanian dan peternakan. Sementara pada masyarakat pesisir, mata pencaharian
masyarakatnya sebagian besar adalah nelayan. Mereka sangat menggantungkan
hidupnya pada kondisi laut yang tak menentu, sehingga mereka tidak mampu
mengontrol pendapatan yang mereka inginkan.[6]
Selain itu,
karakteristik masyarakat pesisir juga dapat dilihat dari beberapa aspek,
diantaranya adalah dilihat dari aspek pengetahuan, kepercayaan, dan posisi sosial
nelayan. Dilihat dari segi aspek pengetahuan, ilmu yang dimiliki masyarakat
pasisir diperoleh dari warisan nenek moyang mereka, misalnya adalah mereka
menggunakan rasi bintang sebagai penunjuk arah dan untuk melihat kalender. Dari
aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih percaya bahwa laut memiliki
kekuatan ghaib, sehingga mereka sering mengadakan sedekah laut untuk menjaga
agar mereka selamat dari keganasan laut. Namun, sekarang ini sebagian
masyarakat pesisir tidak percaya lagi dengan anggapan bahwa laut memiliki
kekuatan ghaib. Jadi, upacara adat seperti pemberian sedekah untuk laut mereka
lakukan hanya sebagai formalitas semata. Posisi sosial para nelayan biasanya
berada posisi kasta rendah.
Secara sosiologis,
masyarakat pesisir memiliki ciri khas pada struktur sosialnya, yaitu kuatnya
hubungan patron dan klien dalam pasar perikanan. Patron biasanya memberikan
hutang kepada kliennya, sehingga kliennya terikat dengan patron. Hal tersebut
merupakan taktik para patron agar usahanya tetap berjalan.[7]
KONTEKS
SOSIAL GEOGRAFIS DESA TANJUNG BURUNG
Desa Tanjung Burung
merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang.
Desa Tanjung Burung berdiri pada tahun 1984 dengan luas wilayah 864 Ha. Di Desa
Tanjung Burung terdapat tujuh dusun, delapan rukun warga dan enam belas rukun
tetangga. Saat ini, Desa Tanjung Burung dipimpin oleh seorang kepala desa yang
bernama Rusdiono.
Di Desa Tanjung Burung, 864 Ha luas wilayah yang ada
dipergunakan untuk pemukiman, pemakaman, pertanian, partambakan, serta
peternakan. Lahan yang digunakan untuk pertanian tambak adalah seluas 320
hektar. Namun, tambak-tambak yang ada di Desa Tanjung Burung bukanlah milik
penduduk setempat, melainkan milik penduduk di luar Desa Tanjung Burung.
Kalaupun ada tambak yang dimiliki oleh penduduk Desa Tanjung Burung, maka
pemiliknya adalah penduduk Desa Tanjung Burung yang beretnis Tionghoa.
Tabel 1
Pemanfaatan Lahan di Desa Tanjung Burung pada Tahun 2012
Pemanfaatan Lahan
|
Luas Lahan
|
Pemukiman
|
170 Ha
|
Pemakaman
|
1500 m2
|
Pertanian
|
122 Ha
|
Pertambakan
|
320 Ha
|
Peternakan
|
42 Ha
|
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Keadaan topografis Desa Tanjung Burung merupakan daerah
dataran rendah, dengan iklim kemarau dan penghujan seperti iklim daerah tropis
pada umumnya.
Komposisi penduduk di Desa Tanjung Burung dapat
dikatakan heterogen, karena terdiri dari berbagai etnis, agama, tingkat
pendidikan, serta mata pencaharian. Jumlah penduduk di Desa Tanjung Burung
berdasarkan sensus tahun 2010 sebanyak 7.391 jiwa, dengan komposisi sebagai
berikut:
Tabel
2
Komposisi penduduk berdasarkan agama
Agama
|
Jumlah
|
Islam
|
6.338
|
Katolik
|
16
|
Protestan
|
170
|
Hindu
|
0
|
Budha
|
853
|
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas penduduk Desa
Tanjung Burung tidak tamat SD. Namun, ada juga beberapa penduduk yang telah
mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dengan tingkat pendidikan
yang rendah, maka tidak heran jika sebagian besar penduduk Desa Tanjung Burung
bekerja sebagai buruh. Berikut ini adalah komposisi tingkat pendidikan penduduk
di Desa Tanjung Burung.
Tabel
3
Komposisi penduduk berdasarkan tingkat
pendidikan
Tingkat Pendidikan
|
Jumlah
|
Tidak tamat SD
|
1.126
|
SD
|
680
|
SMP
|
680
|
SMA
|
521
|
D1, 2, 3
|
8
|
S1
|
47
|
S2
|
3
|
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Secara umum dapat
dijelaskan bahwa sebagian besar
penduduk Desa
Tanjung Burung bermata pencaharian sebagai
buruh. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk Desa Tanjung
Burung yang rendah. Yaitu sebanyak 1.126 penduduk di sana tidak tamat SD.
Berikut ini adalah komposisi matapencaharian pendudun Desa Tanjung Burung.
Tabel 4
Komposisi penduduk berdasarkan mata
pencaharian
Jenis
Pekerjaan
|
Jumlah
|
Buruh
|
3.017
|
Pegawai
Negeri Sipil (PNS)
|
20
|
Pengrajin
|
16
|
Pedagang
|
320
|
Penjahit
|
16
|
Petrenak
|
1
|
Nelayan
|
68
|
Montir
|
11
|
Dokter
|
1
|
Sopir
|
53
|
Pengemudi
becak
|
8
|
TNI/Polri
|
1
|
Pengusaha
|
6
|
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Tabel
5
Komposisi
sarana dan prasarana desa Tanjung Burung
Sarana dan Prasarana
|
Jumlah
|
SD
|
2
|
TK
|
1
|
Madrasah
|
1
|
Jalan
Kampung/Desa (m)
|
17.201
|
Jembatan (Unit)
|
1
|
Sarana peribadatan Lainnya
|
1
|
Masjid / Mushola
|
17
|
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Tabel 5 (lima) di atas adalah tabel mengenai sarana
dan prasarana yang ada di Desa Tanjung Burung. Dari tabel di atas dapat
diketahui bahwa bangunan sekolah yang ada di Desa Tanjung Burung sangat minim.
TAMBAK DI DESA TANJUNG
BURUNG
Dalam perikanan, tambak adalah kolam buatan yang biasanya berada di
daerah pantai yang dimanfaatkan sebagai sarana budidaya ikan (akuakultur).
Dalam tambak tersebut, biasa binatang yang dibudidayakan adalah binatang air,
terutama ikan, udang dan kerang. Yang disebut dengan tambak ini bisanya adalah
kolam dengan air payau atau air laut. Sedangkan untuk kolam air tawar disebut
dengan empang.[9]
Di Desa Tanjung Burung, terdapat tambak seluas 320 Ha yang terletak
di Dusun Beting RT 14, 15, 16 RW 08. Tambak yang ada di sana rata-rata milik
orang luar Desa Tanjung Burung dan dikelola oleh penduduk Tanjung Burung dengan
sistem kontrak atau hanya sebagai buruh. Namun, ada beberapa yang dimiliki
penduduk Tanjung Burung yang beretnis Tionghoa.
Berdasarkan penuturan Sekretaris Desa Tanjung Burung, banyaknya
tambak di sana disebabkan oleh pendangkalan sungai Cisadane, sehingga perahu
nelayan susah keluar masuk muara. Akhirnya, lahan persawahan di sekitar garis
pantai dialihfungsikan menjadi tambak[10].
Dari tambak itulah dua puluh kepala keluarga di Dusun Beting menggantungkan
hidupnya dengan bekerja sebagai buruh tambak.
Ada dua jenis tambak di Desa Tanjung Burung, yaitu tambak adat dan
tambak garap. Tambak adat adalah tambak milik Desa yang sudah ada sejak lama
sebelum pendangkalan muara Sungai Cisadane. Sedangkan tambak garap adalah
tambak yang dibuka sebagai lahan pencarian nafkah karena terjadinya
pendangkalan di muara Sungai Cisadane.
Sekitar tahun 1980-an, tambak di Desa Tanjung Burung dikenal sebagai
tambak penghasil udang windu. Namun, ketika Sungai Cisadane mulai tercemar
limbah pabrik, banyak udang windu yang mati. Akhirnya, spesies yang
dibudidayakan di sana sekarang ini adalah ikan bandeng, mas, mujaer dan kakap.
Kenyataan yang terjadi pada tambak-tambak di Desa Tanjung Burung,
menurut Sumitro adalah dampak dari perkembangan ekonomi dan industri yang
menghasilkan beberapa perubahan, diantaranya adalah perubahan kepemilikan lahan
sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri[11].
Namun, yang terjadi di Desa Tanjung Burung adalah perubahan lahan pertanian
menjadi tambak yang awalnya dimiliki oleh penduduk sekitar, kemudian dengan
alasan tertentu tambak-tambak tersebut dijual kepada orang lain.
KEHIDUPAN
BURUH TAMBAK DI DESA TANJUNG BURUNG
Bagi para buruh tambak di Desa
Tanjung Burung secara umum, kehidupan sehari-hari mereka sudah dimulai pada
pagi hari. Para buruh tambak berangkat ke lokasi tambak pada pukul 05.00 WIB
dan pulang saat menjelang petang, yaitu pada pukul 17.00 WIB. Kegiatan yang
dilakukan di tambak adalah memberi pakan ikan dengan kurun waktu setiap dua jam
sekali, serta menjaganya dari burung pemakan ikan. Pada malam hari mereka harus
kembali ke tambak untuk mengontrol kondisi tambak. Kondisi tersebut berlangsung
selama musim pembibitan. Selama musim pembibitan, buruh tambak yang ada di Desa
Tanjung Burung tidak memiliki cukup waktu untuk beristirahat di rumah. Sebagian
besar waktu mereka dihabiskan untuk menjaga tambak.
Pada musim panen keadaan sekitar tambak sangat berbeda
dari musim pembibitan, karena pada musim tersebut banyak orang yang datang
untuk memancing ikan hasil empat bulan masa pembibitan. Bagi buruh tambak di
Desa Tanjung Burung, kedatangan pemancing ke lokasi tambak menjadi berkah
tersendiri, karena pada saat tersebut istri buruh tambak di sana banyak yang
membuka usaha warung kopi. Pada saat
itulah istri buruh tambak di sana dapat membantu menambah penghasilan rumah
tangga mereka.
Kegiatan
bekerja yang dilakukan oleh keluarga petambak di Desa Tanjung Burung, oleh
Sumitro disebut sebagai pola pencaharian nafkah. Menurutnya, pola pencaharian
nafkah adalah cara-cara yang dilakukan masyarakat untuk memperoleh hasil atau
pendapatan guna membiayai kebutuhan ekonomi rumah tangganya yang dilakukan
secara teratur dan berulang.[12]
Selama
masa panen, setiap hari selalu ada pengunjung yang datang. Pada hari sabtu dan
minggu jumlah pengunjung yang datang lebih banyak dari hari-hari biasanya.
Namun, penghasilan yang didapat dari hasil menjual kopi tidaklah seberapa,
karena biasanya para pengunjung telah membawa bekal makanan dan minuman sendiri.
Kehidupan
keluarga buruh tambak di Desa Tanjung Burung sangat jauh dari kata sejahtera.
Dengan gaji Rp500.000,00 per bulan tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka. Untuk menutup kekurangan yang ada, mereka menyiasatinya dengan
berbagai cara, diantaranya adalah dengan meminjam uang kepada saudara,
tetangga, atau berhutang kepada pemilik tambak yang mereka garap dengan sistem cashbon. Selain itu, para buruh tambak
di Desa Tanjung Burung juga memanfaatkan tenaga keluarganya untuk bekerja dalam
rangka menambah penghasilan rumah tangga meski dengan hasil yang tidak
seberapa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, biasanya sang istrilah yang
membantu bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Hal tersebut sejalan
dengan konsep mekanisme survival dari Moser. Moser mengatakan bahwa mekanisme
survival merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai
asset yang dimilikinya. Berdasarkan konsep tersebut, Moser membuat kerangka
analisis yang disebut dengan The Asset Vulnerability
Framework. Dalam
kerangka tersebut terdapat beberapa cara dalam pengelolaan asset, yaitu[13]:
1. Aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan
keterlibatan wanita dan anak-anak untuk membantu perekonomian keluarga.
2. Aset modal manusia, misalnya
memanfaatkan status kesehatan, keterampilan dan pendidikan untuk mementukan
kapasitas orang untuk bekerja dan menentukan hasilnya.
3. Aset produktif, misalnya menggunakan
rumah, ternak, sawah untuk keperluan hidupnya.
4. Aset relasi rumah tangga atau keluarga
besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme uang kiriman.
5. Aset modal sosial, misalnya memanfaatkan
lembaga-lembaga sosial lokal dan memberikan kredit informal dalam proses dan
sistem perekonomian keluarga.
Menurut Sumitro,
perkembangan ekonomi dan industri dapat berdampak pada berubahnya pola nafkah
suatu keluarga. Misalnya adalah pembagian kerja yang semakin tajam dan
berviariasi antaranggota dalam rumah tangga, atau biasa disebut pola nafkah
ganda[14].
Hal tersebut dilakukan karena sebuah keluarga tidak bisa menggantungkan
perekonomiannya hanya dari hasil bekerja salah seorang anggota keluarganya.
Pada keluarga buruh tambak di Desa Tanjung Burung, pola nafkah ganda terjadi
ketika anak dan istri mereka ikut bekerja dalam rangka menambah penghasilan
keluarga, dan tidak hanya bergantung pada kepala keluarga.
Selain itu, White
menyatakan bahwa kondisi lahan yang semakin sempit mendorong keluarga miskin
untuk bertahan hidup dengan melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Hal
itu dilakukan karena (1) imbalan di luar sektor pertanian lebih kecil, tetapi
mereka terpaksa melakukannya, atau (2) imbalan di luar sektor pertanian lebih
besar. Menurut Sajogyo, ada kecenderungan rumah tangga miskin melakukan
kegiatan nafkah di luar pertanian karena keterpaksaan sebagai salah satu cara
untuk bertahan hidup. Sajogyo menyebutnya dengan pola nafkah ganda.[15]
Dalam hal ini, para
buruh tambak melakukan kegiatan nafkah di luar tambak dengan hasil yang kecil
karena terpaksa sebagai salah satu cara menambah penghasilan agar tetap dapat
bertahan hidup. Pekerjaan lain di luar tambak yang biasanya mereka lakukan, diantaranya adalah dengan menangkap ikan di laut, menjadi
pengemudi speedboat, serta dari hasil
menangkap udang di tambak menggunakan bubu[16]. Mereka juga mengatur sedemikian rupa
pengeluaran rumah tangganya untuk bertahan hidup, diantaranya dengan menghemat
pengeluaran untuk konsumsi.
Seperti yang dikatakan oleh Scott, bahwa
upaya yang dilakukan keluarga miskin untuk mempertahankan hidupnya adalah[17]:
1.
Mereka mengurangi frekuensi
makan dan beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah.
2.
Menggunakan alternatif
subsistem yaitu swadaya yang mencakup kegiatan-kegiatan seperti berjualan
kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, buruh lepas atau berimigrasi.
3.
Menggunakan jaringan
sosial yang berfungsi sebagai peredam kejut selama masa krisis ekonomi.
Pada penelitian ini, informan yang kami
wawancarai adalah para buruh tambak di Desa Tanjung Burung yang bertempat
tinggal di Dusun Beting RT/RW 16/08. Masing-masing buruh tambak memiliki
strategi dan pola nafkah sendiri-sendiri dalam mempertahankan roda perekonomiannya.
1.
Pak
Suramin (52 tahun)
Bapak Suramin memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Ia tinggal di Dusun Beting, RT/RW 16/08, Desa Tanjung Burung, Kecamatan
Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Pekerjaan sebagai buruh tambak didapatnya dari
orangtuanya. Karena keterbatasan ekonomi keluarga, ia tidak mampu menikmati
pendidikan. Pada waktu
kecil, ia banyak
menghabiskan waktunya di tambak untuk
membantu orangtuanya bekerja. Dari situlah kemampuan mengelola
tambak diperolehnya. Sudah tiga tahun lamanya Pak Suramin bekerja sebagai buruh
tambak. Sebelumnya beliau bekerja sebagai penambang pasir illegal di Sungai
Cisadane. Namun, karena pasir yang tersedia di Sungai Cisadane mulai berkurang akibat banyaknya
penambang di sana, beliau menghentikan pekerjaan sebagai penambang pasir dan beralih menjadi
buruh tambak.
Setiap hari beliau berangkat dari rumah pukul 05.00 WIB dan pulang ke rumah
pada pukul 17.00 WIB. Kegiatan yang dilakukan selama di tambak adalah memberi
makan ikan dan menjaga ikan-ikan di tambak dari burung pemakan ikan. Namun,
pada malam hari Bapak Suramin kembali ke tambak untuk mengontrol kondisi di
sekeliling tambak. Berdasarkan penuturannya, hal itu dilaksanakan karena pada
malam hari sering ada anjing air yang memangsa ikan-ikan di tambak. Kesulitan yang dialami Pak Suramin dalam mengelola
tambak adalah apabila bibit-bibit ikan yang dilepas ke tambak mati, atau
terseret banjir. Selain itu, tercemarnya aliran Sungai Cisadane juga menurunkan
kualitas air tambak.
Penghasilan yang didapat dari bekerja sebagai buruh tambak bukan berupa
uang, melainkan berupa 75 kilogram beras setiap bulannya. Hasil tersebut
diperoleh salama masa pembibitan. Pada masa panen, beliau mendapatkan 20% dari
keseluruhan hasil panen, yang berasal dari penjualan ikan serta uang sewa
pemancingan. Menurut Pak Suramin, penghasilan paling besar yang pernah beliau
dapatkan dari 20% hasil panen adalah sebesar
Rp5.000.000,00.
Penghasilan yang didapatnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari, membiayai sekolah anaknya, serta kebutuhan lainnya seperti biaya
listrik, dan kebutuhan tak terduga lainnya.
Menurutnya, hidup dengan mengandalkan
penghasilan dari bekerja sebagai buruh tambak tidaklah cukup. Oleh karena itu, ia sering meminjam uang dari
pemilik tambak dengan sistem cashbon.
Namun, sistem cashbon tersebut
menimbulkan kerugian bagi Pak suramin, yaitu apabila hutangnya kepada pemilik
tambak belum terbayar semua, maka gajinya perbulan akan dipotong.
Hal itu
menyebabkan pemasukan keluarga beliau berkurang. Selain itu, untuk menyiasati
kekurangan keuangan, Pak suramin memiliki sumber penghasilan lain selain dari
bekerja sebagai buruh tambak. Ia kerap menangkap udang dari laut yang masuk ke
tambaknya menggunakan bubu[18]. Kemudian,
hasilnya akan dijual kepada tetangga yang mau membeli atau dijual ke pasar.
Hasil yang diperoleh dari menjual udang sebesar Rp300.000,00. Istri Pak Suramin
juga membantu beliau mancari nafkah dengan berjualan kopi pada musim panen.
Ketika tambak ramai dengan pengunjung, maka penghasilan yang diperoleh bisa
mencapai Rp500.000,00 per bulan. Dari penghasilan tambahan itulah Pak Suramin
mampu menutupi kekurangan keuangan keluarganya.
Untuk
memperkecil pengeluaran rumah tangga, Pak Suramin mengatur sedemikian rupa
pengeluaran yang ada. Misalnya, Pak Suramin seringkali makan dengan lauk
seadanya, seperti sambal terasi dan daun kedondong sebagai lalapnya. Namun,
meski sudah hidup dengan sangat irit, tetap saja penghasilan yang diperolehnya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Dengan keadaan
yang saperti itu, Pak suramin tetap setia menggeluti pekerjaannya sebagai buruh
tambak. Menurut Pak Suramin, alasannya tetap bertahan dengan pekerjaannya
sebagai buruh tambak adalah karena beliau tidak memiliki keahlian lain. Hal itu
disebabkan oleh tingkat pendidikannya yang rendah. Beliau hanyalah tamatan SD,
karena orang tuanya tidak mampu membiayainya untuk menempuh pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Kemampuan mengelola tambak beliau peroleh secara
turun temurun dari orang tuanya karena dulu orang tuanya juga bekerja sebagai
buruh tambak.
2.
Pak
Madawi (65 tahun)
Pak Madawi, biasa dipanggil Pak
Dawi. Beliau tinggal di Dusun Beting RT/RW 16/08 Desa Tanjung Burung bersama
seorang istri dan seorang anak perempuannya. Sudah lima tahun beliau bekerja
sebagai buruh tambak. Sebelumnya, beliau bekerja sebagai pengemudi speedboat untuk mengantar pengunjung ke
pulau. Namun, karena usia yang mulai lanjut, beliau meninggalkan pekerjaannya
sebagai penngemudi speedboat.
Sama
seperti Pak Suramin, kegiatan Pak Dawi setiap harinya adalah berangkat ke
tambak pada pukul 05.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB untuk mengontrol tambak dan
member makan ikan-ikan. Pak Dawi juga kerap kembali ke tambak pada malam hari
untuk mengontrol keadaan tambak. Kesulitan yang beliau alami dalam mengelola
tambak tak jauh beda dengan yang dialami oleh Pak Suramin, yaitu tercemarnya
aliran Sungai Cisadane, matinya bibit-bibit ikan, serta terseretnya bibit ikan
oleh banjir. Menurut penuturan Pak Dawi, pada tahun 2002 ketika banjir melanda
daerah Jakarta dan sekitarnya,menimbulkan kerugian yang begitu besar bagi
petani tambak di Desa Tanjung Burung sehingga buruh tambak di sana tidak
mendapat upah.
Penghasilan
yang beliau peroleh dari bekerja sebagai buruh tambak tidak menentu. Terkadang sebulan
sekali sebesar Rp500.000,00 atau dua bulan sampai tiga bulan sekali baru
menerima gaji. Tetapi, gaji yang diperoleh bukan kelipatan dari bulan-bulan
sebelumnya yang tidak digaji, melainkan tetap Rp500.000,00. Pada musim panen,
keseluruhan hasil panen dibagi tiga, yaitu antara pemilik tambak, pengontrak
dan buruh tambak. Jadi, pada musim panen Pak Dawi memperoleh 1/3 dari
keseluruhan hasil panen. Penghasilan yang beliau peroleh dipergunakan untuk
makan sehari-hari, membayar listrik s0erta kebutuhan tak terduga lainnya.
Dengan
penghasilan yang ada, Pak Dawi kesulitan untuk membagi uang yang ada untuk
memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Beruntung, ketiga anaknya yang sudah berumah
tangga tidak lagi tinggal dengannya, sehingga dapat mengurangi bebannya.
Seorang anak perempuannya yang masih tinggal dengannya pun sudah bekerja,
sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk
menambah penghasilan rumah tangga, Pak Dawi terkadang mencari ikan di laut.
Istri beliau juga membantu bekerja sebagai guru mengaji di majelis. Ketakika
musim panen, seperti istri petambak lainnya, istri Pak Dawi juga berjualan kopi
di tambak.
Alasan
Pak Dawi tetap setia menggeluti pekerjaannya sebagai buuruh tambak lagi-lagi
karena keterbatasan keterampilan serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut
penuturannya, Pak Dawi tak pernah merasakan menempuh ilmu di bangku sekolah.
Kemampuan mengelola tambak pun diperolehnya dari orang tuanya. Jadi, tak ada
pilihan lain selain tetap menjadi seorang buruh tambak meski dengan hasil yang
sangat tak mencukupi.
3.
Ibu
Rani (32 tahun)
Ibu Rani adalah warga desa Tanjung
Burung yang juga bertahan hidup dari hasil tambak. Suaminya, Bapak Suparman
adalah seorang buruh tambak yang telah dua tahun menggeluti pekerjaan ini.
Untuk menghidupi dua orang anaknya, mereka bekerjasama agar mendapatkan
penghasilan yang lebih besar. Selama musim panen, ibu Rani membuka usaha warung
di dekat lahan tambak milik bos tempat suaminya menjadi buruh tambak. Setiap
harinya, bu Rani mendapatkan Rp. 15.000,00 dari hasil penjualan makanan kecil,
minuman, maupun penjualan alat pancing. Biasanya di musim panen banyak
pemancing yang datang dan kesempatan tersebut diambil oleh bu Rani untuk
memenuhi kebutuhan pemancing. Awalnya bu Rani mnegeluarkan modal Rp. 400.000,00
untuk membuka warung tersebut, jika dihitung pendapatan perbulan bu Rani bisa
memperoleh Rp. 450.000,00 perbulan, itupun jika warungnya ramai pengunjung. Bu
Rani hanya membuka warungnya pada saat musim panen saja, sehingga ia
membutuhkan strategi lain untuk dapat membantu suaminya dalam menafkahi
keluarganya.
Selama musim pembibitan, selain
menjadi buruh tambak Pak Suparman mencari pekerjaan lain, yaitu sebagai pencari
kepiting. Pendapatan yang diperoleh sebagai buruh tambak sebesar Rp. 500.000,00
per bulan. Sedangkan pendapatannya akan bertambah, ketika Pak Suparman menjadi
pencari kepiting. Bu rani dan suaminya tetap bertahan sebagai buruh tambak
karena keterbatasan ilmu mereka dibidang yang lainnya. Strategi bertahan
keluarga tambak bu Rani dan suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari hari
adalah dengan memperkecil pengeluaran. Namun, terkadang penghasilan yang ada
hanya sukup untuk makan sehari-hari. Untuk biaya sekolah anak-anaknya yang
masih SD terkadang bu Rani harus meminjam atau berhutang kepada
saudara-saudaranya yang memiliki penghasilan lebih.
Tabel 6
Pola nafkah keluarga buruh tambak
Suami (si buruh tambak)
|
Istri buruh tambak
|
-
Mengelola tambak
-
menangkap
ikan di laut
-
menjadi
pengemudi speedboat
-
menangkap
udang di tambak menggunakan bubu
|
Masa pembibitan:
menjadi guru mengaji atau sekedar menjadi ibu rumah tangga.
Masa panen:
berjualan kopi di sekitar tambak.
|
Sumber: hasil wawancara dengan informan
Berdasarkan tabel di atas, dapat di
lihat bahwa pola nafkah yang dijalankan oleh keluarga buruh tambak di Desa
Tanjung Burung adalah pola nafkah ganda. Maksudnya adalah, dalam satu keluarga
tidak hanya kepala keluarga atau sang istri saja yang mencari nafkah, tetapi
keduanya sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun
sang istri membantu mencari nafkah hanya pada masa panen saja, tetapi kagiatan
tersebut berlangsung terus menerus secara berkala.
Tabel 7
Strategi bertahan keluarga buruh tambak
Kendala yang dihadapi
|
Usaha untuk bertahan
|
Dalam
mengelola tambak
-
Banjir
-
Air limbah
-
Anjing air
-
Burung pemakan ikan
-
Matinya bibit ikan karena
kualitas air yang buruk
|
-
Memberikan makanan
ikan dengan kualitas terbaik agar hasil panen melimpah
-
Menjaga tambak dari
serangan anjing air pada malam hari
|
Dalam
mengelola keuangan
-
Banyaknya kebutuhan
-
Penghasilan minim
-
Keterlambatan
pembayaran gaji
-
Pemotongan gaji untuk
membayar hutang
|
-
Mengatur keuangan
dengan sedemikian rupa
-
Mengurangi frekuensi
makan sehari-hari
-
Menjalankan usaha
lain, seperti menangkap ikan di laut, menjadi supir speedboat, dan menangkap
udang.
-
Meminjam uang dari
kerabat dekat atau dari pemilik tambak
|
Sumber: hasil wawancara dengan informan
Berdasarkan tabel di atas, dapat diamati
bahwa kehidupan buruh tambak di Desa Tanjung Burung sangat memprihatinkan.
Mereka selalu terjerat hutang dengan para pemilik tambak, karena mereka tidak
mampu membayar hutang-hutang tersebut. Akibatnya adalah gaji mereka tiap bulan
dipotong untuk membayar hutang. Bahkan, ada pemilik tambak yang tidak
membayarkan gaji buruh tambak satu rupiah pun untuk melunasi hutang mereka. Hal
itulah yang menyebabkan para buruh tambak terikat dengan pamilik tambak
(patron).
Tabel 8
Perbandingan pendapatan
Masa Pembibitan
|
Masa Panen
|
||
Sumber Pendapatan
|
Jumlah
|
Sumber Pendapatan
|
Jumlah
|
Gaji mengelola tambak
|
Rp500.000,00
|
Komisi hasil panen
|
Rp1.250.000,00
|
Usaha sampingan
|
Rp300.000,00
|
Usaha sampingan
|
Rp300.000,00
|
Jumlah
|
Rp800.000,00
|
|
Rp1.550.000,00
|
Sumber: hasil wawancara dengan informan
Dari tabel di atas, terlihat perbedaan
pemasukan buruh tambak di Desa Tanjung Burung pada masa pembibitan dan masa
panen. Selisih antara keduanya adalah sebesar Rp750.000,00. Jumlah penghasilan
yang ada kami rata-ratakan antara ketiga informan yang kami wawancarai. Menurut
mereka, pada masa panen komisi yang sering mereka peroleh adalah sekitar
Rp1.250.000,00. Jadi, jumlah itulah yang kami tuliskan.
PENUTUP
Uraian di atas telah
memperlihatkan pola nafkah dan strategi bertahan hidup keluarga buruh
tambak. Kesulitan hidup yang dialami keluarga buruh
tambak membuat mereka harus memutar otak untuk memecahkan kebuntuan selama ini.
Berbagai hal telah dilakukan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan tenaga
anggota keluarga selain kepala keluarga. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa biasanya istri petambak ikut bekerja di tambak
sebagai penjual makanan dan minuman. Hal ini sejalan dengan salah satu poin
dalam kerangka analisis konsep mekanisme survival Moser yaitu Aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan
keterlibatan wanita dan anak-anak untuk membantu perekonomian keluarga.
Selain pola nafkah yang seperti itu, berbagai strategi
juga telah dicoba oleh keluarga petambak guna mempertahankan hidupnya. Strategi
tersebut antara lain dengan cara meminjam uang dari saudara atau cashbon dengan
pemilik tambak. Dengan gaji yang rata-rata hanya Rp. 500.000,00 sebulan, tidak memungkinkan mereka untuk membayar
hutang-hutang tersebut. Mengharapkan bonus yang tidak
pasti datangnya juga tidak dimungkinkan. Untuk menyiasatinya, kelurga petambak
biasanya merangkap beberapa pekerjaan seperti menjadi guru mengaji, pencari udang, penjual
kopi dan sebagainya. Hasilnya dapat digunakan untuk menutup kekurangan meskipun hanya sebagian.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay,
Perdamean. Tanpa tahun terbit. Mamik
Sumarmi. Survival Mechanism Victim
Houshold Of Lumpur Lapindo In Sidoarjo - Jawa Timur. UPBJJ: UT Surabaya. PDF
Mugni,
Abdul. 2006. Strategi Rumahtangga Nelayan
Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan
Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Fakultas Pertanian Institut:
Pertanian Bogor. PDF
Widiyanto dkk. Tanpa tahun terbit. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau
di Lereng Gunung Sumbing. Tanpa kota terbit: Tanpa nama penerbit. PDF
SUMBER
LAIN:
http://famif08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/masyarakat-pesisir/ diakses pada 03 Mei 2012 pukul 19.50 WIB
http://maps.google.co.id/maps?q=tanjung+burung&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF-8&hl=id&sa=N&tab=wl
diakses pada tanggal 16.06.12 pukul 2.08 pm
http://khuri09.wordpress.com/2009/12/08/pengertian-dan-ruang-lingkup-permasalahan-tambak/
diakses pada tanggal 4 Mei 2012 pukul 19.48 WIB
http://kholijah.blogspot.com/2005/06/pola-nafkah-masyarakat-petani-sebagai.html
diakses pada 3 mei 2012 pukul 19.14
NARASUMBER:
- Bapak Suramin (52 tahun)
- Bapak Madawi (65 tahun)
- Ibu Rani (32 tahun)
[1] Abdul
Mugni, Strategi Rumahtangga Nelayan
Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan
Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat), 2006, Pdf, (Fakultas
Pertanian Institut: Pertanian Bogor), hal 1
[2] Ibid
[3]
http://famif08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/masyarakat-pesisir/ diakses pada 03 Mei 2012 pukul 19.50 WIB
[4] Berdasarkan hasil
penelitian langsung, serta data potensi desa dari arsip Kelurahan Desa Tanjung
Burung
[5]
Famif 08, Loc.cit
[7] Famif 08, Loc.cit
[8] http://maps.google.co.id/maps?q=tanjung+burung&oe=utf-8&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&um=1&ie=UTF-8&hl=id&sa=N&tab=wl diakses pada tanggal 16.06.12 pukul
2.08 pm
[9]
http://khuri09.wordpress.com/2009/12/08/pengertian-dan-ruang-lingkup-permasalahan-tambak/
diakses pada tanggal 4 Mei 2012 pukul 19.48 WIB
[10] Hasil wawancara
dengan buruh tambak yang bernama Pak Madawi
[11] http://kholijah.blogspot.com/2005/06/pola-nafkah-masyarakat-petani-sebagai.html diakses pada 3 mei
2012 pukul 19.14
[12] Kholijah, Loc.cit
[13]
Pardamean Daulay Dan Mamik Sumarmi, Survival
Mechanism Victim Houshold Of Lumpur Lapindo In Sidoarjo
- Jawa Timur, (UPBJJ:
UT Surabaya), hal 77
[15]
Widiyanto dkk, strategi nafkah rumahtangga petani tembakau di lereng gunung
sumbing, hal 95
[16] Alat penangkap udang
tradisional
[17] Perdamean, Loc.cit
[18] Alat penangkap udang
tradisional