Jumat, 18 Januari 2013

STRATEGI BERTAHAN DAN POLA NAFKAH KELUARGA BURUH TAMBAK (Studi: Dusun Beting, RT/RW: 16/08, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang)


STRATEGI BERTAHAN DAN POLA NAFKAH
KELUARGA BURUH TAMBAK
(Studi: Dusun Beting, RT/RW: 16/08, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang)

Oleh:
Ade Nur Rahma
Amalina Nabil
Destario Sagita 
Naila Shofyan
Rahmat Saehu 


Abstrak
Di Desa Tanjung Burung terdapat 320 Ha pertanian tambak sebagai tempat 20 rumah tangga menggantungkan hidupnya. Namun, ternyata mereka hanyalah sebagai buruh tambak, bukan sebagai pemilik. Sebagai buruh tambak, penghasilan yang mereka peroleh sangat pas-pasan, bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ditambah lagi adanya kendala-kendala yang banyak muncul. Kenyataan seperti itulah yang membuat kami tertarik untuk melakukan penelitian di sana. Selain itu, penelitian ini kami lakukan dalam rangka pemenuhan tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan. Kami menggunakan metode kualitatif dalam penulisan paper ini. Dalam paper ini, kami mencoba mengupas bagaimana kehidupan buruh tambak di desa tanjung burung dalam menghadapi kendala-kendala yang ada. Mengapa mereka tetap bertahan dengan keadaan yang memprihatinkan, serta bagaimana cara mereka bertahan dan pola nafkah yang mereka lakukan.
PENGANTAR
Indonesia selain dikenal sebagai negara agraris, dikenal juga sebagai negara maritim. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan perikanan. Masyarakat yang menggantungan hidupnya dari hasil perikanan, baik nelayan maupun petambak biasanya hidup di daerah kepulauan, sepanjang pesisir. Sumber daya pesisir dan kelautan adalah aset yang penting bagi negara Indonesia. Terbentang 5,5 juta Km2 lautan di Indonesia dengan sumber daya perikanan yang beragam. Setiap tahunnya, 6,7 juta ton ikan, udang dan cumi dihasilkan dari lautan Indonesia.[1]
Saat ini, setidaknya terdapat dua juta rumah tangga yang menggantungkan perekonomiannya pada sektor perikanan[2]. Selain menggantungkan hidupnya dari menangkap ikan. Mereka juga menekuni bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kelautan, seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antarpulau, penyeberangan, dan penggalian pasir. Kehidupan masyarakat pesisir biasanya kental dengan kemiskinan, karena hidup mereka sangat tergantung pada kondisi alam. Apabila alam terganggu, maka kegiatan bekerja mereka pun akan terganggu.
Kali ini, kami akan membahas mengenai penduduk pesisir Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang yang berprofesi sebagai buruh tambak. Sebagian buruh tambak tersebut tinggal di Dusun Beting RT 14, 15, dan 16 RW 08. Mereka menjadikan tambak sebagai tempat menggantungkan hidup mereka, meski dengan hasil yang sangat minim. Berbagai cara mereka lakukan untuk memenugi segala kebutuhan keluarga. Meski tempat tinggal mereka tak jauh dari kota Jakarta, tetapi kehidupan mereka sungguh jauh dari kata sejahtera.
Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Yaitu dengan mendeskripsikan secara jelas keseluruhan data yang kami peroleh di lapangan. Pada saat pelaksanaan penelitian, kami menggunakan metode wawancara.
Dalam tulisan ini, kami akan membahas beberapa hal. Pertama, karakteristik masyarakat pesisir. Di sini kami akan membahas bagaimanakah karakteristik mesyarakat pesisir secara keseluruhan. Kedua, konteks sosial geografis Desa Tanjung Burung. Pada bagian ini, kami akan memaparkan bagaimana kondisi sosial dan geografis di Desa Tanjung Burung. Ketiga, tambak di Desa Tanjung Burung. Kami akan menjelaskan apakah yang dimaksud dengan tambak dan kenyataan tambak yang ada di Desa Tanjung Burung. Keempat,  kehidupan buruh tambak di Desa Tanjung Burung yang di dalamnya akan dibahas mengenai bagaimana keluarga buruh tambak bertahan hidup dengan situasi yang ada serta berbagai kendalanya, bagaimana pola nafkah yang dilakukan keluarga buruh tambak, serta mengapa mereka tetap bertahan dengan keadaan yang memprihatinkan. Kelima, penutup yang berupa kesimpulan dari seluruh pembahasan paper kami.
KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR
Masyarakat pesisir merupakan salah satu karakteristik masyarakat yang ada di Indonesia, karena status Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal tersebut disebabkan oleh posisi geografis Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudra, yaitu Benua Asia dan  Benua Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Nikijuluw berpendapat bahwa masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang atau suatu komunitas yang mendiami daerah pesisir dan menggantungkan kehidupan perekonomiannya secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir[3]. Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan, pemilik tambak, pengontrak tambak, buruh tambak, penambang pasir illegal, pengumpul ikan hasil melaut, dan lain-lain. Sementara dalam bidang non pertanian, masyarakat pesisir bekerja diantaranya sebagai pedagang, sopir, dan PNS.[4]
 Redfield mengemukakan bahwa pada dasarnya masyarakat pesisir merupakan masyarakat dengan tipe komunitas desa petani dan desa yang terisolasi. Maksud dari desa terisolasi adalah sebuah desa yang masyarakatnya tidak memiliki akses yang cukup untuk melakukan hubungan dengan masyarakat luar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan hanya menggantungkan hidup dari hasil laut.[5]
Redfield juga mengemukakan bahwa karakteristik masyarakat pesisir tidaklah sama dengan karakteristik masyarakat agraris. Pada masyarakat agraris sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani dan peternak. Mereka juga mampu mengontrol pendapatannya, karena pola panen yang terkontrol, sehingga mereka dapat menentukan strategi untuk meningkatkan pendapatan mereka dari hasil pertanian dan peternakan. Sementara pada masyarakat pesisir, mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah nelayan. Mereka sangat menggantungkan hidupnya pada kondisi laut yang tak menentu, sehingga mereka tidak mampu mengontrol pendapatan yang mereka inginkan.[6]
Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir juga dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah dilihat dari aspek pengetahuan, kepercayaan, dan posisi sosial nelayan. Dilihat dari segi aspek pengetahuan, ilmu yang dimiliki masyarakat pasisir diperoleh dari warisan nenek moyang mereka, misalnya adalah mereka menggunakan rasi bintang sebagai penunjuk arah dan untuk melihat kalender. Dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih percaya bahwa laut memiliki kekuatan ghaib, sehingga mereka sering mengadakan sedekah laut untuk menjaga agar mereka selamat dari keganasan laut. Namun, sekarang ini sebagian masyarakat pesisir tidak percaya lagi dengan anggapan bahwa laut memiliki kekuatan ghaib. Jadi, upacara adat seperti pemberian sedekah untuk laut mereka lakukan hanya sebagai formalitas semata. Posisi sosial para nelayan biasanya berada posisi kasta rendah.
Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri khas pada struktur sosialnya, yaitu kuatnya hubungan patron dan klien dalam pasar perikanan. Patron biasanya memberikan hutang kepada kliennya, sehingga kliennya terikat dengan patron. Hal tersebut merupakan taktik para patron agar usahanya tetap berjalan.[7]
KONTEKS SOSIAL GEOGRAFIS DESA TANJUNG BURUNG
Desa Tanjung Burung merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang. Desa Tanjung Burung berdiri pada tahun 1984 dengan luas wilayah 864 Ha. Di Desa Tanjung Burung terdapat tujuh dusun, delapan rukun warga dan enam belas rukun tetangga. Saat ini, Desa Tanjung Burung dipimpin oleh seorang kepala desa yang bernama Rusdiono.
Di Desa Tanjung Burung, 864 Ha luas wilayah yang ada dipergunakan untuk pemukiman, pemakaman, pertanian, partambakan, serta peternakan. Lahan yang digunakan untuk pertanian tambak adalah seluas 320 hektar. Namun, tambak-tambak yang ada di Desa Tanjung Burung bukanlah milik penduduk setempat, melainkan milik penduduk di luar Desa Tanjung Burung. Kalaupun ada tambak yang dimiliki oleh penduduk Desa Tanjung Burung, maka pemiliknya adalah penduduk Desa Tanjung Burung yang beretnis Tionghoa.
Tabel 1
Pemanfaatan Lahan di Desa Tanjung Burung pada Tahun 2012
Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan
Pemukiman
170 Ha
Pemakaman
1500 m2
Pertanian
122 Ha
Pertambakan
320 Ha
Peternakan
42 Ha
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Keadaan topografis Desa Tanjung Burung merupakan daerah dataran rendah, dengan iklim kemarau dan penghujan seperti iklim daerah tropis pada umumnya.
Komposisi penduduk di Desa Tanjung Burung dapat dikatakan heterogen, karena terdiri dari berbagai etnis, agama, tingkat pendidikan, serta mata pencaharian. Jumlah penduduk di Desa Tanjung Burung berdasarkan sensus tahun 2010 sebanyak 7.391 jiwa, dengan komposisi sebagai berikut:
                                                                            Tabel 2
Komposisi penduduk berdasarkan agama
Agama
Jumlah
Islam
6.338
Katolik
16
Protestan
170
Hindu
0
Budha
853
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas penduduk Desa Tanjung Burung tidak tamat SD. Namun, ada juga beberapa penduduk yang telah mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka tidak heran jika sebagian besar penduduk Desa Tanjung Burung bekerja sebagai buruh. Berikut ini adalah komposisi tingkat pendidikan penduduk di Desa Tanjung Burung.
Tabel 3
Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Tidak tamat SD
1.126
SD
680
SMP
680
SMA
521
D1, 2, 3
8
S1
47
S2
3
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Secara   umum dapat dijelaskan bahwa sebagian besar penduduk Desa Tanjung Burung bermata pencaharian sebagai buruh. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan penduduk Desa Tanjung Burung yang rendah. Yaitu sebanyak 1.126 penduduk di sana tidak tamat SD. Berikut ini adalah komposisi matapencaharian pendudun Desa Tanjung Burung.
Tabel 4
Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian
Jenis Pekerjaan
Jumlah
Buruh
3.017
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
20
Pengrajin
16
Pedagang
320
Penjahit
16
Petrenak
1
Nelayan
68
Montir
11
Dokter
1
Sopir
53
Pengemudi becak
8
TNI/Polri
1
Pengusaha
6
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Tabel 5
                        Komposisi sarana dan prasarana desa Tanjung Burung
Sarana dan Prasarana
Jumlah
SD
2
TK
1
Madrasah
1
Jalan  Kampung/Desa (m)
17.201
Jembatan (Unit)
1
Sarana peribadatan Lainnya
1
Masjid / Mushola
17
Sumber: Arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
Tabel 5 (lima) di atas adalah tabel mengenai sarana dan prasarana yang ada di Desa Tanjung Burung. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa bangunan sekolah yang ada di Desa Tanjung Burung sangat minim.

TAMBAK DI DESA TANJUNG BURUNG
Dalam perikanan, tambak adalah kolam buatan yang biasanya berada di daerah pantai yang dimanfaatkan sebagai sarana budidaya ikan (akuakultur). Dalam tambak tersebut, biasa binatang yang dibudidayakan adalah binatang air, terutama ikan, udang dan kerang. Yang disebut dengan tambak ini bisanya adalah kolam dengan air payau atau air laut. Sedangkan untuk kolam air tawar disebut dengan empang.[9]
Di Desa Tanjung Burung, terdapat tambak seluas 320 Ha yang terletak di Dusun Beting RT 14, 15, 16 RW 08. Tambak yang ada di sana rata-rata milik orang luar Desa Tanjung Burung dan dikelola oleh penduduk Tanjung Burung dengan sistem kontrak atau hanya sebagai buruh. Namun, ada beberapa yang dimiliki penduduk Tanjung Burung yang beretnis Tionghoa.
Berdasarkan penuturan Sekretaris Desa Tanjung Burung, banyaknya tambak di sana disebabkan oleh pendangkalan sungai Cisadane, sehingga perahu nelayan susah keluar masuk muara. Akhirnya, lahan persawahan di sekitar garis pantai dialihfungsikan menjadi tambak[10]. Dari tambak itulah dua puluh kepala keluarga di Dusun Beting menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh tambak.
Ada dua jenis tambak di Desa Tanjung Burung, yaitu tambak adat dan tambak garap. Tambak adat adalah tambak milik Desa yang sudah ada sejak lama sebelum pendangkalan muara Sungai Cisadane. Sedangkan tambak garap adalah tambak yang dibuka sebagai lahan pencarian nafkah karena terjadinya pendangkalan di muara Sungai Cisadane.
Sekitar tahun 1980-an, tambak di Desa Tanjung Burung dikenal sebagai tambak penghasil udang windu. Namun, ketika Sungai Cisadane mulai tercemar limbah pabrik, banyak udang windu yang mati. Akhirnya, spesies yang dibudidayakan di sana sekarang ini adalah ikan bandeng, mas, mujaer dan kakap.
Kenyataan yang terjadi pada tambak-tambak di Desa Tanjung Burung, menurut Sumitro adalah dampak dari perkembangan ekonomi dan industri yang menghasilkan beberapa perubahan, diantaranya adalah perubahan kepemilikan lahan sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri[11]. Namun, yang terjadi di Desa Tanjung Burung adalah perubahan lahan pertanian menjadi tambak yang awalnya dimiliki oleh penduduk sekitar, kemudian dengan alasan tertentu tambak-tambak tersebut dijual kepada orang lain.
KEHIDUPAN BURUH TAMBAK DI DESA TANJUNG BURUNG
            Bagi para buruh tambak di Desa Tanjung Burung secara umum, kehidupan sehari-hari mereka sudah dimulai pada pagi hari. Para buruh tambak berangkat ke lokasi tambak pada pukul 05.00 WIB dan pulang saat menjelang petang, yaitu pada pukul 17.00 WIB. Kegiatan yang dilakukan di tambak adalah memberi pakan ikan dengan kurun waktu setiap dua jam sekali, serta menjaganya dari burung pemakan ikan. Pada malam hari mereka harus kembali ke tambak untuk mengontrol kondisi tambak. Kondisi tersebut berlangsung selama musim pembibitan. Selama musim pembibitan, buruh tambak yang ada di Desa Tanjung Burung tidak memiliki cukup waktu untuk beristirahat di rumah. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk menjaga tambak.
            Pada musim panen keadaan sekitar tambak sangat berbeda dari musim pembibitan, karena pada musim tersebut banyak orang yang datang untuk memancing ikan hasil empat bulan masa pembibitan. Bagi buruh tambak di Desa Tanjung Burung, kedatangan pemancing ke lokasi tambak menjadi berkah tersendiri, karena pada saat tersebut istri buruh tambak di sana banyak yang membuka usaha warung kopi.  Pada saat itulah istri buruh tambak di sana dapat membantu menambah penghasilan rumah tangga mereka.
            Kegiatan bekerja yang dilakukan oleh keluarga petambak di Desa Tanjung Burung, oleh Sumitro disebut sebagai pola pencaharian nafkah. Menurutnya, pola pencaharian nafkah adalah cara-cara yang dilakukan masyarakat untuk memperoleh hasil atau pendapatan guna membiayai kebutuhan ekonomi rumah tangganya yang dilakukan secara teratur dan berulang.[12]
            Selama masa panen, setiap hari selalu ada pengunjung yang datang. Pada hari sabtu dan minggu jumlah pengunjung yang datang lebih banyak dari hari-hari biasanya. Namun, penghasilan yang didapat dari hasil menjual kopi tidaklah seberapa, karena biasanya para pengunjung telah membawa bekal makanan dan minuman sendiri.
            Kehidupan keluarga buruh tambak di Desa Tanjung Burung sangat jauh dari kata sejahtera. Dengan gaji Rp500.000,00 per bulan tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk menutup kekurangan yang ada, mereka menyiasatinya dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan meminjam uang kepada saudara, tetangga, atau berhutang kepada pemilik tambak yang mereka garap dengan sistem cashbon. Selain itu, para buruh tambak di Desa Tanjung Burung juga memanfaatkan tenaga keluarganya untuk bekerja dalam rangka menambah penghasilan rumah tangga meski dengan hasil yang tidak seberapa. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, biasanya sang istrilah yang membantu bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Hal tersebut sejalan dengan konsep mekanisme survival dari Moser. Moser mengatakan bahwa mekanisme survival merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai asset yang dimilikinya. Berdasarkan konsep tersebut, Moser membuat kerangka analisis yang disebut dengan The Asset Vulnerability Framework. Dalam kerangka tersebut terdapat beberapa cara dalam pengelolaan asset, yaitu[13]:
1.      Aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak-anak untuk membantu perekonomian keluarga.
2.      Aset modal manusia, misalnya memanfaatkan status kesehatan, keterampilan dan pendidikan untuk mementukan kapasitas orang untuk bekerja dan menentukan hasilnya.
3.      Aset produktif, misalnya menggunakan rumah, ternak, sawah untuk keperluan hidupnya.
4.      Aset relasi rumah tangga atau keluarga besar, kelompok etnis, migrasi tenaga kerja dan mekanisme uang kiriman.
5.      Aset modal sosial, misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal dan memberikan kredit informal dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.
Menurut Sumitro, perkembangan ekonomi dan industri dapat berdampak pada berubahnya pola nafkah suatu keluarga. Misalnya adalah pembagian kerja yang semakin tajam dan berviariasi antaranggota dalam rumah tangga, atau biasa disebut pola nafkah ganda[14]. Hal tersebut dilakukan karena sebuah keluarga tidak bisa menggantungkan perekonomiannya hanya dari hasil bekerja salah seorang anggota keluarganya. Pada keluarga buruh tambak di Desa Tanjung Burung, pola nafkah ganda terjadi ketika anak dan istri mereka ikut bekerja dalam rangka menambah penghasilan keluarga, dan tidak hanya bergantung pada kepala keluarga.
Selain itu, White menyatakan bahwa kondisi lahan yang semakin sempit mendorong keluarga miskin untuk bertahan hidup dengan melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Hal itu dilakukan karena (1) imbalan di luar sektor pertanian lebih kecil, tetapi mereka terpaksa melakukannya, atau (2) imbalan di luar sektor pertanian lebih besar. Menurut Sajogyo, ada kecenderungan rumah tangga miskin melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian karena keterpaksaan sebagai salah satu cara untuk bertahan hidup. Sajogyo menyebutnya dengan pola nafkah ganda.[15]
Dalam hal ini, para buruh tambak melakukan kegiatan nafkah di luar tambak dengan hasil yang kecil karena terpaksa sebagai salah satu cara menambah penghasilan agar tetap dapat bertahan hidup. Pekerjaan lain di luar tambak yang biasanya mereka lakukan, diantaranya  adalah dengan menangkap ikan di laut, menjadi pengemudi speedboat, serta dari hasil menangkap udang di tambak menggunakan bubu[16]. Mereka juga mengatur sedemikian rupa pengeluaran rumah tangganya untuk bertahan hidup, diantaranya dengan menghemat pengeluaran untuk konsumsi.
Seperti yang dikatakan oleh Scott, bahwa upaya yang dilakukan keluarga miskin untuk  mempertahankan hidupnya adalah[17]:
1.      Mereka mengurangi frekuensi makan dan beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah.
2.      Menggunakan alternatif subsistem yaitu swadaya yang mencakup kegiatan-kegiatan seperti berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, buruh lepas atau berimigrasi.
3.      Menggunakan jaringan sosial yang berfungsi sebagai peredam kejut selama masa krisis ekonomi.
Pada penelitian ini, informan yang kami wawancarai adalah para buruh tambak di Desa Tanjung Burung yang bertempat tinggal di Dusun Beting RT/RW 16/08. Masing-masing buruh tambak memiliki strategi dan pola nafkah sendiri-sendiri dalam mempertahankan roda perekonomiannya.
1.      Pak Suramin (52 tahun)
Bapak Suramin memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Ia tinggal di Dusun Beting, RT/RW 16/08, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Pekerjaan sebagai buruh tambak didapatnya dari orangtuanya. Karena keterbatasan ekonomi keluarga, ia tidak mampu menikmati pendidikan. Pada waktu kecil, ia banyak menghabiskan waktunya di tambak untuk membantu orangtuanya bekerja. Dari situlah kemampuan mengelola tambak diperolehnya. Sudah tiga tahun lamanya Pak Suramin bekerja sebagai buruh tambak. Sebelumnya beliau bekerja sebagai penambang pasir illegal di Sungai Cisadane. Namun, karena pasir yang tersedia di Sungai Cisadane mulai berkurang akibat banyaknya penambang di sana, beliau menghentikan pekerjaan sebagai penambang pasir dan beralih menjadi buruh tambak.
Setiap hari beliau berangkat dari rumah pukul 05.00 WIB dan pulang ke rumah pada pukul 17.00 WIB. Kegiatan yang dilakukan selama di tambak adalah memberi makan ikan dan menjaga ikan-ikan di tambak dari burung pemakan ikan. Namun, pada malam hari Bapak Suramin kembali ke tambak untuk mengontrol kondisi di sekeliling tambak. Berdasarkan penuturannya, hal itu dilaksanakan karena pada malam hari sering ada anjing air yang memangsa ikan-ikan di tambak. Kesulitan yang dialami Pak Suramin dalam mengelola tambak adalah apabila bibit-bibit ikan yang dilepas ke tambak mati, atau terseret banjir. Selain itu, tercemarnya aliran Sungai Cisadane juga menurunkan kualitas air tambak.
Penghasilan yang didapat dari bekerja sebagai buruh tambak bukan berupa uang, melainkan berupa 75 kilogram beras setiap bulannya. Hasil tersebut diperoleh salama masa pembibitan. Pada masa panen, beliau mendapatkan 20% dari keseluruhan hasil panen, yang berasal dari penjualan ikan serta uang sewa pemancingan. Menurut Pak Suramin, penghasilan paling besar yang pernah beliau dapatkan dari 20% hasil panen adalah sebesar Rp5.000.000,00. Penghasilan yang didapatnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, membiayai sekolah anaknya, serta kebutuhan lainnya seperti biaya listrik, dan kebutuhan tak terduga lainnya.
Menurutnya, hidup dengan mengandalkan penghasilan dari bekerja sebagai buruh tambak tidaklah cukup. Oleh karena itu, ia sering meminjam uang dari pemilik tambak dengan sistem cashbon. Namun, sistem cashbon tersebut menimbulkan kerugian bagi Pak suramin, yaitu apabila hutangnya kepada pemilik tambak belum terbayar semua, maka gajinya perbulan akan dipotong.
Hal itu menyebabkan pemasukan keluarga beliau berkurang. Selain itu, untuk menyiasati kekurangan keuangan, Pak suramin memiliki sumber penghasilan lain selain dari bekerja sebagai buruh tambak. Ia kerap menangkap udang dari laut yang masuk ke tambaknya menggunakan bubu[18]. Kemudian, hasilnya akan dijual kepada tetangga yang mau membeli atau dijual ke pasar. Hasil yang diperoleh dari menjual udang sebesar Rp300.000,00. Istri Pak Suramin juga membantu beliau mancari nafkah dengan berjualan kopi pada musim panen. Ketika tambak ramai dengan pengunjung, maka penghasilan yang diperoleh bisa mencapai Rp500.000,00 per bulan. Dari penghasilan tambahan itulah Pak Suramin mampu menutupi kekurangan keuangan keluarganya.
Untuk memperkecil pengeluaran rumah tangga, Pak Suramin mengatur sedemikian rupa pengeluaran yang ada. Misalnya, Pak Suramin seringkali makan dengan lauk seadanya, seperti sambal terasi dan daun kedondong sebagai lalapnya. Namun, meski sudah hidup dengan sangat irit, tetap saja penghasilan yang diperolehnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Dengan keadaan yang saperti itu, Pak suramin tetap setia menggeluti pekerjaannya sebagai buruh tambak. Menurut Pak Suramin, alasannya tetap bertahan dengan pekerjaannya sebagai buruh tambak adalah karena beliau tidak memiliki keahlian lain. Hal itu disebabkan oleh tingkat pendidikannya yang rendah. Beliau hanyalah tamatan SD, karena orang tuanya tidak mampu membiayainya untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kemampuan mengelola tambak beliau peroleh secara turun temurun dari orang tuanya karena dulu orang tuanya juga bekerja sebagai buruh tambak.

2.      Pak Madawi (65 tahun)
Pak Madawi, biasa dipanggil Pak Dawi. Beliau tinggal di Dusun Beting RT/RW 16/08 Desa Tanjung Burung bersama seorang istri dan seorang anak perempuannya. Sudah lima tahun beliau bekerja sebagai buruh tambak. Sebelumnya, beliau bekerja sebagai pengemudi speedboat untuk mengantar pengunjung ke pulau. Namun, karena usia yang mulai lanjut, beliau meninggalkan pekerjaannya sebagai penngemudi speedboat.
Sama seperti Pak Suramin, kegiatan Pak Dawi setiap harinya adalah berangkat ke tambak pada pukul 05.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB untuk mengontrol tambak dan member makan ikan-ikan. Pak Dawi juga kerap kembali ke tambak pada malam hari untuk mengontrol keadaan tambak. Kesulitan yang beliau alami dalam mengelola tambak tak jauh beda dengan yang dialami oleh Pak Suramin, yaitu tercemarnya aliran Sungai Cisadane, matinya bibit-bibit ikan, serta terseretnya bibit ikan oleh banjir. Menurut penuturan Pak Dawi, pada tahun 2002 ketika banjir melanda daerah Jakarta dan sekitarnya,menimbulkan kerugian yang begitu besar bagi petani tambak di Desa Tanjung Burung sehingga buruh tambak di sana tidak mendapat upah.
Penghasilan yang beliau peroleh dari bekerja sebagai buruh tambak tidak menentu. Terkadang sebulan sekali sebesar Rp500.000,00 atau dua bulan sampai tiga bulan sekali baru menerima gaji. Tetapi, gaji yang diperoleh bukan kelipatan dari bulan-bulan sebelumnya yang tidak digaji, melainkan tetap Rp500.000,00. Pada musim panen, keseluruhan hasil panen dibagi tiga, yaitu antara pemilik tambak, pengontrak dan buruh tambak. Jadi, pada musim panen Pak Dawi memperoleh 1/3 dari keseluruhan hasil panen. Penghasilan yang beliau peroleh dipergunakan untuk makan sehari-hari, membayar listrik s0erta kebutuhan tak terduga lainnya.
Dengan penghasilan yang ada, Pak Dawi kesulitan untuk membagi uang yang ada untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Beruntung, ketiga anaknya yang sudah berumah tangga tidak lagi tinggal dengannya, sehingga dapat mengurangi bebannya. Seorang anak perempuannya yang masih tinggal dengannya pun sudah bekerja, sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk menambah penghasilan rumah tangga, Pak Dawi terkadang mencari ikan di laut. Istri beliau juga membantu bekerja sebagai guru mengaji di majelis. Ketakika musim panen, seperti istri petambak lainnya, istri Pak Dawi juga berjualan kopi di tambak.
Alasan Pak Dawi tetap setia menggeluti pekerjaannya sebagai buuruh tambak lagi-lagi karena keterbatasan keterampilan serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut penuturannya, Pak Dawi tak pernah merasakan menempuh ilmu di bangku sekolah. Kemampuan mengelola tambak pun diperolehnya dari orang tuanya. Jadi, tak ada pilihan lain selain tetap menjadi seorang buruh tambak meski dengan hasil yang sangat tak mencukupi.

3.      Ibu Rani (32 tahun)
Ibu Rani adalah warga desa Tanjung Burung yang juga bertahan hidup dari hasil tambak. Suaminya, Bapak Suparman adalah seorang buruh tambak yang telah dua tahun menggeluti pekerjaan ini. Untuk menghidupi dua orang anaknya, mereka bekerjasama agar mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Selama musim panen, ibu Rani membuka usaha warung di dekat lahan tambak milik bos tempat suaminya menjadi buruh tambak. Setiap harinya, bu Rani mendapatkan Rp. 15.000,00 dari hasil penjualan makanan kecil, minuman, maupun penjualan alat pancing. Biasanya di musim panen banyak pemancing yang datang dan kesempatan tersebut diambil oleh bu Rani untuk memenuhi kebutuhan pemancing. Awalnya bu Rani mnegeluarkan modal Rp. 400.000,00 untuk membuka warung tersebut, jika dihitung pendapatan perbulan bu Rani bisa memperoleh Rp. 450.000,00 perbulan, itupun jika warungnya ramai pengunjung. Bu Rani hanya membuka warungnya pada saat musim panen saja, sehingga ia membutuhkan strategi lain untuk dapat membantu suaminya dalam menafkahi keluarganya.
Selama musim pembibitan, selain menjadi buruh tambak Pak Suparman mencari pekerjaan lain, yaitu sebagai pencari kepiting. Pendapatan yang diperoleh sebagai buruh tambak sebesar Rp. 500.000,00 per bulan. Sedangkan pendapatannya akan bertambah, ketika Pak Suparman menjadi pencari kepiting. Bu rani dan suaminya tetap bertahan sebagai buruh tambak karena keterbatasan ilmu mereka dibidang yang lainnya. Strategi bertahan keluarga tambak bu Rani dan suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari hari adalah dengan memperkecil pengeluaran. Namun, terkadang penghasilan yang ada hanya sukup untuk makan sehari-hari. Untuk biaya sekolah anak-anaknya yang masih SD terkadang bu Rani harus meminjam atau berhutang kepada saudara-saudaranya yang memiliki penghasilan lebih.
Tabel 6
Pola nafkah keluarga buruh tambak
Suami (si buruh tambak)
Istri buruh tambak
-          Mengelola tambak
-          menangkap ikan di laut
-          menjadi pengemudi speedboat
-          menangkap udang di tambak menggunakan bubu
Masa pembibitan: menjadi guru mengaji atau sekedar menjadi ibu rumah tangga.
Masa panen: berjualan kopi di sekitar tambak.
Sumber: hasil wawancara dengan informan
Berdasarkan tabel di atas, dapat di lihat bahwa pola nafkah yang dijalankan oleh keluarga buruh tambak di Desa Tanjung Burung adalah pola nafkah ganda. Maksudnya adalah, dalam satu keluarga tidak hanya kepala keluarga atau sang istri saja yang mencari nafkah, tetapi keduanya sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun sang istri membantu mencari nafkah hanya pada masa panen saja, tetapi kagiatan tersebut berlangsung terus menerus secara berkala.
Tabel 7
Strategi bertahan keluarga buruh tambak
Kendala yang dihadapi
Usaha untuk bertahan
Dalam mengelola tambak
-          Banjir
-          Air limbah
-          Anjing air
-          Burung pemakan ikan
-          Matinya bibit ikan karena kualitas air yang buruk
-          Memberikan makanan ikan dengan kualitas terbaik agar hasil panen melimpah
-          Menjaga tambak dari serangan anjing air pada malam hari
Dalam mengelola keuangan
-          Banyaknya kebutuhan
-          Penghasilan minim
-          Keterlambatan pembayaran gaji
-          Pemotongan gaji untuk membayar hutang
-          Mengatur keuangan dengan sedemikian rupa
-          Mengurangi frekuensi makan sehari-hari
-          Menjalankan usaha lain, seperti menangkap ikan di laut, menjadi supir speedboat, dan menangkap udang.
-          Meminjam uang dari kerabat dekat atau dari pemilik tambak
Sumber: hasil wawancara dengan informan
Berdasarkan tabel di atas, dapat diamati bahwa kehidupan buruh tambak di Desa Tanjung Burung sangat memprihatinkan. Mereka selalu terjerat hutang dengan para pemilik tambak, karena mereka tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut. Akibatnya adalah gaji mereka tiap bulan dipotong untuk membayar hutang. Bahkan, ada pemilik tambak yang tidak membayarkan gaji buruh tambak satu rupiah pun untuk melunasi hutang mereka. Hal itulah yang menyebabkan para buruh tambak terikat dengan pamilik tambak (patron).
Tabel 8
Perbandingan pendapatan
Masa Pembibitan
Masa Panen
Sumber Pendapatan
Jumlah
Sumber Pendapatan
Jumlah
Gaji mengelola tambak
Rp500.000,00
Komisi hasil panen
Rp1.250.000,00
Usaha sampingan
Rp300.000,00
Usaha sampingan
Rp300.000,00
Jumlah
Rp800.000,00

Rp1.550.000,00
Sumber: hasil wawancara dengan informan
Dari tabel di atas, terlihat perbedaan pemasukan buruh tambak di Desa Tanjung Burung pada masa pembibitan dan masa panen. Selisih antara keduanya adalah sebesar Rp750.000,00. Jumlah penghasilan yang ada kami rata-ratakan antara ketiga informan yang kami wawancarai. Menurut mereka, pada masa panen komisi yang sering mereka peroleh adalah sekitar Rp1.250.000,00. Jadi, jumlah itulah yang kami tuliskan.


PENUTUP

Uraian di atas telah memperlihatkan pola nafkah dan strategi bertahan hidup keluarga buruh tambak. Kesulitan hidup yang dialami keluarga buruh tambak membuat mereka harus memutar otak untuk memecahkan kebuntuan selama ini. Berbagai hal telah dilakukan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan tenaga anggota keluarga selain kepala keluarga. Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa biasanya istri petambak ikut bekerja di tambak sebagai penjual makanan dan minuman. Hal ini sejalan dengan salah satu poin dalam kerangka analisis konsep mekanisme survival Moser yaitu Aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak-anak untuk membantu perekonomian keluarga.
Selain pola nafkah yang seperti itu, berbagai strategi juga telah dicoba oleh keluarga petambak guna mempertahankan hidupnya. Strategi tersebut antara lain dengan cara meminjam uang dari saudara atau cashbon dengan pemilik tambak. Dengan gaji yang rata-rata hanya Rp. 500.000,00 sebulan, tidak memungkinkan mereka untuk membayar hutang-hutang tersebut. Mengharapkan bonus yang tidak pasti datangnya juga tidak dimungkinkan. Untuk menyiasatinya, kelurga petambak biasanya merangkap beberapa pekerjaan seperti menjadi guru mengaji, pencari udang, penjual kopi dan sebagainya. Hasilnya dapat digunakan untuk menutup kekurangan meskipun hanya sebagian.


DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Perdamean. Tanpa tahun terbit. Mamik Sumarmi. Survival Mechanism Victim Houshold Of Lumpur Lapindo In Sidoarjo - Jawa Timur. UPBJJ: UT Surabaya. PDF
Mugni, Abdul. 2006. Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Fakultas Pertanian Institut: Pertanian Bogor. PDF
Widiyanto dkk. Tanpa tahun terbit. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing. Tanpa kota terbit: Tanpa nama penerbit. PDF
SUMBER LAIN:
http://famif08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/masyarakat-pesisir/  diakses pada 03 Mei 2012 pukul 19.50 WIB
NARASUMBER:
  1. Bapak Suramin (52 tahun)
  2. Bapak Madawi (65 tahun)
  3. Ibu Rani (32 tahun)


[1] Abdul Mugni, Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat), 2006, Pdf, (Fakultas Pertanian Institut: Pertanian Bogor), hal 1
[2] Ibid
[3] http://famif08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/masyarakat-pesisir/  diakses pada 03 Mei 2012 pukul 19.50 WIB
[4] Berdasarkan hasil penelitian langsung, serta data potensi desa dari arsip Kelurahan Desa Tanjung Burung
[5] Famif 08, Loc.cit
[6] Famif 08, Loc.cit
[7] Famif 08, Loc.cit
[10] Hasil wawancara dengan buruh tambak yang bernama Pak Madawi
[12] Kholijah, Loc.cit
[13] Pardamean Daulay Dan Mamik Sumarmi, Survival Mechanism Victim Houshold Of Lumpur Lapindo In Sidoarjo - Jawa Timur, (UPBJJ: UT Surabaya), hal 77
[14] Kholijah, Loc.cit
[15] Widiyanto dkk, strategi nafkah rumahtangga petani tembakau di lereng gunung sumbing, hal 95
[16] Alat penangkap udang tradisional
[17] Perdamean, Loc.cit
[18] Alat penangkap udang tradisional