disusun oleh :
Chandra Boy
M. Luthfi Ersa. F
Miranda Maulidya
Robi Amrullah
Siti Khodijahn
Abstrak
Tulisan ini
ditulis untuk mengetahui peranan kepala desa sebagai elite kekuasaan serta
rutinisasi kekuasaan yang berada di desa Tanjung Burung. Kepala desa sebagai
elite kekuasaan mempunyai peran penting bagi kemajuan desa dan kesejahteraan
masyarakatnya. Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi
pedesaan. Tulisan ini
dibuat dengan metode kualitatif, yakni berdasarkan observasi dan hasil
wawancara kepada beberapa masyarakat Tanjung Burung. Berdasarkan hasil wawancara
yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa kepala desa yang menjabat saat ini di
Tanjung Burung karena faktor kharisma yang dimililki oleh ayahnya yang
merupakan kepala desa sebelumnya. Masyarakat yang pada akhirnya memilih
Rusdiyono saat ini diakui karena faktor
balas budi kepada Buang Muhadi
ayah Rusdiyono selama ia menjabat sebagai kepala desa Tanjung Burung.
Pengantar
Tulisan ini ingin melihat Bagaimana Peran Elite Kekuasaan
(Elite Pemerintahan) di Pedesaan dan Rutinisasi Kekuasaan Lokal: Kepala Desa di
Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten
Tangerang.
Setelah menjalani Observasi di lapangan,
penulis dapat mengetahui bahwa Kepala Desa Tanjung Burung
ini merupakan kepala desa yang terpilih berdasarkan kesan kepemimpinan orang tuanya. Realitasnya alm.
Ayah dari Kepala Desa tersebut dahulunya merupakan seorang Kepala Desa yang
sangat dihormati dan disegani karena dapat memberikan kesan yang baik terhadap
masyarakatnya. Itulah sebabnya mengapa Kepala Desa Tanjung Burung saat ini
diberi kepercayaan oleh masyarakatnya untuk menjadi Kepala Desa.
Istilah elite berasal dari kata eligere yang berarti memilih; dalam perkataan biasa, kata itu
berarti bagian yang menjadi pilihan atau bunga suatu bangsa, budaya, kelompok
usia, dan juga orang-orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi. Dalam arti
yang paling umum, elite menunjuk pada sekelompok orang yang di dalam masyarakat
menempati kedudukan-kedudukan tinggi.
Dari pengertian di atas kita dapat memahami elite adalah
orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan politik yang sangat tinggi terhadap
orang atau kelompok lain. Dalam masyarakat kita mengenal adanya elite
pemerintahan dan elite non pemerintahan. Elite pemerintahan berupa para pejabat
yang bekerja di kantor pemerintahan seperti Gubernur, Bupati, Kepala Desa dan
lain-lain.
Tulisan ini dibuat dengan metode kualitatif, yakni
berdasarkan observasi dan hasil wawancara kepada beberapa masyarakat Tanjung Burung.
Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang memiliki
kekuasaan adalah kharisma[1].
Hal inilah yang menjadi penyebab Bapak Rusdiyono menjadi Kepala Desa.
Masyarakat tidak melihat hal lain yang justru sangat penting untuk menjadikan
seseorang menjadi elite/Kepala Desa saat itu yaitu intelektualitas yaitu
kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. Kemampuan itu belum terlihat dari
kepemimpinan Bapak Rusdiyono yang telah menjabat selama kurang lebih dua tahun[2].
Hal ini terbukti dari keluhan masyarakat mengenai kepemimpinannya dan tidak
adanya dasar
pengetahuan dan pengalaman sebagai seorang pemimpin karena Rusdiyono sebelumnya
bekerja di pabrik koper dan tas. Masyarakat yang semula menyimpan harapan besar
kepada Rusdiyono ini untuk memimpin desa Tanjung Burung menjadi desa yang lebih
maju dan baik ternyata hal ini belum terwujud, harapan masyarakat ini didorong
oleh perasaan mengingat jasa-jasa yang telah dilakukan oleh mendiang bapak
Rusdiyono ini.
Setelah penulis melakukan wawancara kepada penduduk serta
salah satu elite non pemerintahan yaitu tokoh agama yaitu Bapak Sanurbi[3],
terdapat kesamaan yang merasa bahwa saat ini peran kepala desa belum terlalu
dapat dirasakan dengan baik oleh masyarakat. Lima orang ibu-ibu yang penulis
wawancarai berkeluh kesah mengenai kepemipinan Bapak Rusdiyono. Terlihat adanya
penyesalan dan kekecewaan yang mendalam di masyarakat.
Tulisan ini akan disajikan dalam empat
bagian. Pertama, pengantar terkait keterangan awal permasalahan pokok
dan tujuan penulisan. Kedua, sketsa
kepemimpinan kepala desa di Tanjung Burung. Ketiga,
pandangan masyarakat terhadap kepala desa. Keempat, Strategi Politik Kepala Desa dalam Mempertahankan
Kekuasaan. Kelima, penjelasan mengenai Kekuasaan
elite dan rutinisasi kekuasaan dalam tinjuan teoritis. Keenam, penutup, menjelaskan intisari dari tulisan secara garis besar dan mengulas kembali
hal-hal pokok yang menjadi permasalahan dalam tulisan, serta menarik kesimpulan
tulisan tersebut.
Sketsa Kepemimpinan Kepala Desa
di Tanjung Burung
Desa
Tanjung Burung terbentuk sejak 1984 yang pada masa waktu itu Desa Tanjung
Burung merupakan bagian dari wilayah Desa Pangkalan. Aapun pada waktu itu Desa
Tanjung Burung pertama kali dipimpin oleh seorang pahlawan dan sebagai panutan
masyarakat yang bernama Bapak Suryana. Beliau memimpin Kepemerintahan Desa
Tanjung dari tahun 1984-1985. Pada tahun 1985 pergantian kepemimpinan terjadi
dengan menggunakan sistem Demokrasi. Ada tiga orang calon Kepala Desa pada saat
itu dan yang terpilih menjadi pengganti pengganti Kepala Desa sebelumnya adalah
Bapak Buang Muhadi(1985-1993). Pada tahun 1993 terjadi pergantian kepemimpinan
oleh Bapak Arif Naskur dari tahun 1993-2001. Dan kembali Bapak Buang Muhadi
terpilih menjadi Kepala Desa pada periode 2001-2003, namun kepemimpinannya
dialihkan secara demokrasi kepada Bapak Masta kala itu, karena Bapak Buang
Muhadi meninggal dunia dalam keadaan sakit. Sepanjang tahun 2003-2009, Bapak
Masta menjabat sebagai Kepala Desa. Pada periode berikutnya, di tahun 2010
kepemimpinan Kepala Desa digantikan oleh Bapak Rusdiyono yang merupakan anak
dari Mantan Kepala Desa terdahulu, yaitu Alm.Buang Muhadi.
Sebagai kepala desa yang memiliki seorang ayah yang juga
merupakan kepala desa sebelumnya di Tanjung Burung tampaknya dapat membantu
Rusdiyono untuk mendapatkan kepercayaan serta simpati yang tinggi dari
masyarakat. Kekuasaan yang turun temurun ini lazim disebut sebagai rutinisasi
kekuasaan. Rutinisasi kekuasaan ini bukan merupakan hal yang baru dalam hal
cara memperoleh kekuasaan. Salah satu faktor pendorong yang membuat seseorang
memilki kekuasaan ialah kharisma. Faktor
itulah yang dimiliki oleh Rusdiyono
sehingga bukan suatu hal yang sulit untuk menjadi kepala desa. Kharisma yang
dimiliki oleh ayahnya sangat terasa dan membuat masyarakat beranggapan bahwa
kharisma yang dimiliki oleh Buang Muhadi ini akan menurun kepada anaknya yakni
Rusdiyono.
Berdasarkan penuturan Rusdiyono, “menjadi kepala desa
bagaikan mimpi” karena pada awalnya dia
hanya bekerja di pabrik tas dan koper tanpa ada niatan untuk menjadi kepala
desa. Ayahnya yang bernama Buang Muhadi merupakan kepala desa Tanjung Burung
yang menjabat selama 8 tahun atau dua periode kekuasaan. Sebagai kepala desa
tampaknya Buang Muhadi merupakan sosok yang memberi kesan baik bagi
masyarakatnya. Adanya image yang baik
dari masyarakat terhadap Buang Muhadi menjadi salah satu faktor yang mendorong
Rusdiyono untuk menjadi kepala desa. Selama menjadi kepala desa Buang Muhadi
mampu menjadi seorang pemimpin yang baik di mata masyarakat, ia menjadi
pemimpin yang disegani oleh masyarakatnya.[4]
Pada tahun 2005 Buang Muhadi meninggal dunia, masyarakat merasa kehilangan sosok pemimpin yang berkharisma[5]
oleh karena itu Rusdiyono sebagai anaknya mendapat dorongan dari masyarakat
untuk maju mencalonkan diri sebagai kepala desa dengan harapan bahwa Rusdiyono
mampu menjadi kepala desa seperti
ayahnya bahkan lebih baik. Dorongan dari masyarakat ini yang kemudian membuat
Rusdiyono memberanikan diri untuk mengikuti pemilihan kepala desa. Selang dua
tahun setelah ayahnya meninggal yakni tahun 2007 Rusdiyono mulai mencari
dukungan dan simpati yang lebih banyak dari masyarakat.
Selama tiga tahun (2007-2010) Rusdiyono mulai lebih
mendekatkan diri serta berbaur dengan masyarakat. Ini dilakukan dengan tujuan
agar dapat lebih menarik simpati dan dukungan penuh untuk menjadi kepala desa
yang memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Pemilihan kepala desa ini
berlangsung pada tahun 2010 dan adapun kandidat lainnya
ialah Masta. Dengan dua kandidat
ini suara dan simpati masyarakat terbagi menjadi dua yakni dukungan untuk
Rusdiyono dan Masta.
Sudah menjadi tradisi politik di Tanjung Burung apabila
diadakan pemilihan kepala desa maka masing-masing kandidat mempunyai simbol
warna tersendiri agar dapat membedakan dari lawannya. Simbol warna yang
terdapat dalam pemilihan saat itu yakni warna kuning dan merah. Menurut
penuturan Rusdiyono, simbol warna ini bukan berarti simbol warna dari partai
politik tertentu. Rusdiyono mengaku dia bukan merupakan anggota dari partai
politik tertentu.
Walau tanpa adanya pengalaman dan pengetahuan mengenai
perpolitikan, itu
bukan menjadi kendala bagi kedua kandidat, khususnya bagi Rusdiyono yang
merupakan lulusan SMA tanpa adanya bekal pengetahuan untuk menjadi kepala desa.
Persyaratan untuk menjadi kepala desa di Tanjung Burung adalah usia minimal 25
tahun dengan pendidikan terakhir SMP. Dua persyaratan ini bukan sesuatu hal
yang sulit bagi dua kandidat. Rusdiyono yang pada saat pencalonan berumur 25
tahun dengan mudah dapat mencalonkan diri.
Inilah
struktur pemerintahan lokal yang ada di desa Tanjung Burung selama periode 2010-2014:
Tingkat intelektual yang tinggi serta pengalaman menjadi
seorang pemimpin nampaknya bukan prioritas utama yang diperhatikan serta
dilihat masyarakat untuk memilih kepala desanya. Dua hal ini seharusnya yang
menjadi perhatian dan pertimbangan bagi masyarakat Tanjung Burung untuk memilih
kepala desa. Namun masyarakat Tanjung Burung lebih percaya kepada faktor
kharisma serta faktor politik uang[6].
Bukan sesuatu yang aneh dan tabu bagi sistem politik Indonesia apabila dalam
hal menarik simpati dan dukungan menggunakan cara membagi-bagikan uang kepada
masyarakatnya. Itu pula yang terjadi di Tanjung Burung sebagai masyarakat yang
awam tampaknya faktor uang mampu memudahkan untuk mendapat dukungan dan simpati.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa Rusdiyono
terpilih menjadi kepala desa dikarenakan adanya faktor kharisma yang dimiliki
oleh ayahnya serta politik uang yang dilakukannya. Adanya kepercayaan dari
masyarakat yang akhirnya memilih Rusdiyono sebagai kepala desa Tanjung Burung
ini dibentuk karena pada umumnya masyarakat desa dalam hal menentukan
pemimpinnya cenderung sama karena mereka memiliki kecenderungan untuk
membandingkan diri mereka masing-masing dengan orang lain. Membandingkan diri dengan
orang lain ini merupakan ukuran masyarakat dalam menentukan sikapnya apakah
pandangan dan pilihannya terhadap orang yang akan dipilihnya benar atau salah.
Dalam masyarakat desa terdapat pandangan
bahwa seseorang yang berbeda sikap dan pandangannya terhadap kenyataan
sosial yang dalam hal ini memilih kepala desa dengan lingkungan serta anggota
masyarakat lain akan dianggap aneh dan merupakan sesuatu yang tidak lazim
dengan resiko akan dikucilkan. Dalam kasus ini, adanya kepercayaan yang tinggi
dari masyarakat yang akhirnya memilih Rusdiyono sebagai kepala desa merupakan
sikap masyarakat yang terbentuk dari faktor perbandingan atau lingkungan sosial
yang kemudian dapat menyeragamkan dan menyatukan dukungan dan pilihan terhadap
Rusdiyono.
Pendapat Masyarakat
tentang Kekuasaan Turun Temurun
Jabatan
Kepala Desa yang didapat oleh Rusdiyono tidak terlepas dari dukungan masyarakat
desa Tanjung Burung terhadap dirinya. Dukungan tersebut ada yang benar-benar
didapat karena masyarakat merasakan ketulusan dirinya dalam memimpin di desa
Tanjung Burung namun ada juga beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat
sekitar akhirnya mendukung dan memilih dirinya untuk menjabat sebagai Kepala Desa.
Sebagaimana hasil wawancara penulis terhadap beberapa masyarakat yaitu salah
satunya Ibu Mia yang mengatakan bahwa ia memilih Rusdiyono sebagai Kades karena ia
bosan dengan kandidat kades yang itu-itu saja tanpa ada perubahan dari tahun ke
tahun. Berikut penuturan Ibu Mia;
“Iya neng, saya bosan masa pak Masta nyalon terus. Yaudah
karena ngga ada pilihan lain saya pilih pak Rudisyono aja deh.”[7]
Berbeda
dengan Ibu Isah yang mengatakan mengapa alasan ia memilih Rusdiyono sebagai
Kades adalah ia merasa selama sebelum menjadi Kades Rusdiyono banyak membantu
warga sekitar dengan berbagai cara yang dilakukannya salah satunya ketika ada
salah satu warga yang meninggal dunia maka Rusdiyono akan memberikan support
untuk keluarga yang ditinggalkan baik dalam bentuk materi maupun nonmateri.
Namun, meskipun merasa Rusdiyono cukup tulus menjadi kades dan memimpin desa
Tanjung Burung. Isah tidak menolak ketika tim penulis menanyakan apakah ada
taktik ‘serangan fajar’ dari Rusdiyono dalam melancarkan jalannya menjadi Kades.
“Pak Rusdiyono
itu orangnya baik mas kayanya jadi saya milih dia, ya meskipun dia juga
ngelakuin serangan fajar itu. Dulu kan bapaknya juga Kades jadi mungkin dia
malu kalo ngga kepilih jadi Kades juga makanya dia ngelakuin hal-hal seperti
itu. Tapi sebelum jadi Kades dia banyak ngebantuin warga kok ya meskipun
setelah jadi Kades belum terasa apa manfaatnya dia.”[8]
Masyarakat
sekitar tidak berfikir kekuasaan yang didapat Rusdiyono sekarang merupakan
hasil dari turun menurun karena masyarakat kebanyakan memilih Rusdiyono bukan
dari aura kharismatik ayahnya atau aura kharismatik dari Rusdiyono itu sendiri.
Banyak sebab dan motif mengapa Rusdiyono dipilih sebagai Kades sebagaimana yang
telah dituliskan.
Strategi
Politik Kepala Desa dalam Mempertahankan Kekuasaan
Ketika seseorang ingin menjadi penguasa di suatu
desa, pastinya dia akan melakukan segala cara untuk menarik simpatisan oleh
warganya. Tidak terkecuali dalam pemilihan kepala desa Tanjung Burung. Pada
waktu akan dilakukan pemilihan kepala desa sang calon sudah melakukan berbagai
cara manuver untuk menarik massa. Salah satunya adalah Bapak Rusdiyono yang
kini menjadi kepala desa Tanjung Burung.
Selama
sekitar tiga tahun dia berusaha untuk mencari dukungan. Awalnya dia tidak ngomong secara langsung jika dia ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa
karena pada saat itu usianya masih sekitar 23 tahun. Sejak tahun 2008 hingga
2009 dia melakukan pendekatan secara personal kepada warga, suka berbaur atau
ikut ngumpul dengan warga setiap ada
acara apapun. Pada akhir tahun 2009 baru Bapak Rusdiyono buka suara bahwa dia
akan mencalonkan diri menjadi kepala desa. Dengan strategi awal tersebut, warga
cukup antusias menanggapinya. Beliau menggunakan modal Trust yang telah dibangun untuk memantapkan diri maju ke dalam
pemilihan umum. Ketika mencalonkan diri pada 2010 usia pak Rusdiyono sudah
genap 25 tahun yang merupakan batas usia minimal bagi seorang calon kepala desa
di Tanjung Burung.
Berdasarkan
hasil wawancara, bagi penulis bapak Rusdiyono secara pribadi merupakan calon
yang paling minim, dari segi dana ataupun pengalaman. Walaupun pada akhirnya ia
terpilih menjadi kepala Desa Tanjung Burung mengalahkan saingannya yang
merupakan kepala desa sebelumnya yaitu Pak Masta. Dapat dikatakan jatuhnya
pilihan masyarakat kepada bapak Rusdiyono untuk menjabat sebagai kepala desa
tidak terlepas dari dua alasan, yakni di satu sisi pada masa menjelang
pemilihan umum tahun 2010 silam memang belum ada kandidat yang kuat&pantas
untuk maju sebagai Kepala Desa selain Pak Masta. Di sisi lain, masyarakat
memilih Kepala Desa yang saat ini menjabat karena faktor menyandang gelar
“anak” dari mendiang alm.Buang Muhadi selaku orang yang memang dihormati sampai
saat ini oleh masyarakat desa tanjung burung karena sisi kekharismatikannya. Hal
itu lah salah satu faktor dasar yang menyebabkan mengapa masyarakat memilih
bapak Rusdiyono sebagai Kepala Desa saat ini.
Tentu
setelah keberhasilannya dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai calon kuat
untuk menjadi Kepala Desa dan pada faktanya ia berhasil, tidak lupa untuk tetap
melanjutkan strategi-strategi berikutnya untuk dapat mempertahankan
kekuasaannya. Karena menurut Nicolo
Machiavelli Kekuasaan adalah sesuatu yang harus diraih karena ia tidak datang
begitu saja. Ia harus direnggut, dipertahankan, dan dalam mempertahankannya
penguasa harus dicintai sekaligus ditakuti warganya. Demi kekuasaan
pertimbangan-pertimbangan moral menjadi tidak relevan.
Ada
beberapa kegiatan yang tidak lupa bagi seorang Kepala Desa untuk dilakukannya.
Salah satunya adalah bagaimana agar hubungan antara Kepala Desa dengan
masyarakat tetap bisa dekat, khususnya dalam sisi silahturahmi, yaitu dengan
menghadiri acara-acara yang diadakan masyarakat. Pernikahan, Pesta Rakyat, Tahlilan,
juga menjenguk warga yang sedang sakit.
Berdasarkan
data yang penulis dapat dari hasil wawancara dengan Kepala Desa, beliau memberi
tahu bahwa ia tidak segan-segan untuk menjenguk bahkan sampai membawanya ke
rumah sakit apabila warganya ada yang sakit keras.[9]
Selain
itu, salah satu kegiatan yang dilakukannya adalah memberikan bantuan dari
Negara berupa sumbangan beras yang
didapat dari pemerintah. Namun sangat disayangkan bahwa dari beberapa hasil
wawancara dengan beberapa informan dari pihak warga desa tanjung burung bahwa
pembagian beras itu sudah sangat jarang sekali bahkan sama sekali tidak ada.
hal ini bertolak belakang oleh apa yang disampaikan Kepala Desa kepada Penulis
kala itu, beliau menuturkan,
“Dulu memang
saya bagi-bagi beras hasil bantuan pemerintah per bulannya dan langsung bekerja sama dengan RW dan RT untuk membagi
langsung ke warga, cuma memang sekarang kalo beras saya tampung dulu selama
beberapa bulan baru dikeluarkan kasih ke warga.”
Karena
bantuan beras miskin yang seharusnya dikasih sebulan sekali, tapi dia kumpulkan
terlebih dahulu dan baru dibagikan setiap tiga bulan sekali. Karena menurutnya
kalau diberikan tiap sebulan sekali dengan tiap KK dapat 1Kg bakal tidak
efisien waktu. Dengan memberikan tiap tiga bulan sekali kepada warganya, warga
bisa dapat lumayan banyak sekali ambil tidak 1Kg setiap ambil di kelurahan jadi
bisa sekaligus dapat 3Kg tiap KK.
Berikut merupakan cara cara penguasa mempertahankan
kekuasaan ditengah masyarakat:
1.
Membuat Peraturan Yang Menguntungkan
- Membuat belief system.
- Melakukan penguatan birokrasi dan administrasi
- Mengadakan konsolidasi horizontal dan Vertikal
- Menguasai keahlian tertentu dan bidang lainnya
Untuk
melihat apakah warganya tetap Respect
atau menaruh hormat kepada dia. Dia menguji dirinya pada saat pemilhan gubernur
Banten. Pada saat itu dia mengajak seluruh warganya untuk memilih Ratu Atut
sebagai warganya. Kalau Atut menang berarti warganya masih hormat kepadanya,
tetapi jika atut kalah di daerahnya, maka dia beranggapan kalau dirinya sudah
tidak dihormati lagi oleh warganya dan ia mengaku jika atut kalah dia tidak
ingin mencalonkan diri lagi karena warganya saja sudah tidak patuh dengan
perintahnya.[10]
Hasilnya
adalah Atut menang dan itu sekaligus memberikan keuntungan tersendiri bagi
Kepala Desa saat ini. Ia berhasil menguji bahwa masyarakat di desa tanjung
burung masih “berpihak” kepadanya atau tidak. Berdasarkan hasil wawancara
tersebut, penulis berkesimpulan bahwa Keberhasilan Raja Atut sebagai Gubernur
Banten berarti membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat desa tanjung burung
masih berpihak juga kepadanya dan keberpihakan yang masih kuat itu akan
mempengaruhi sebagai salah satu modal yang kuat bagi beliau saat ingin
mengikuti pemilihan umum Kepala Desa di periode berikutnya.
Kekuasaan Elite dan
Rutinisasi Kekuasaan dalam Tinjauan Teoritis
Menurut
Soerjono Soekanto, Kekuasaan adalah kemampuan untuk memerintah dan kemampuan
memberi keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
tindakan-tindakan pihak lain (Komarudin,2011). Lain halnya dengan Gaetano Mosca
yang mengatakan bahwa yang berkuasa itu adalah kelompok elit atau kelas
penguasa (the Rulling Class) dan
kebanyakan adalah yang diperintah (the
Rulled Class). Masih banyak lagi tokoh yang membicarakan tentang Kekuasaan,
namun penulis akan berfokus pada gagasan pokok pikiran secara garis besar dari
beberapa tokoh, yakni Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, C.W.Mills untuk membahas
tentang Teori Elite dan Max Weber tentang Rutinisasi Kekuasaan.
Gaetano
Mosca merupakan salah satu ‘pemula’ dan ‘penemu’ teori elit bersama Pareto,
walaupun pamornya masih satu tingkat dibawah pareto. Penjelasan kekuasaan oleh
Mosca terdapat di dalam buku The Rulling
Class versi bahasa inggrisnya dengan judul asli yaitu Elementi di Scienza Politica yang terbit pada tahun 1896. Kajiannya
berfokus kepada kelas-kelas politik di Itali pada zamannya.
Berkaitan
dengan kelas politik, Mosca mengatakan bahwa kelas politik yang tidak
menyesuaikan diri dengan dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri.
Elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah dan dengan perjalanan
waktu akan menggantikan mereka, kalau perlu dengan cara kekerasan. Konsep
tersebut merupakan sindiran tentang pola kepemimpinan Rusdiyono selaku kepala
desa yang dipertanyakan oleh warganya saat ini. Dua tahun sebenarnya waktu yang
cukup untuk melakukan Starting Point
oleh seorang pemimpin untuk menunjukan hasil kinerjanya, namun pada
kenyataannya para warga banyak yang masih belum merasakan hasil kinerja yang
cukup baik selama dua tahun kepemimpinan Rusdiyono sebagai Kepala Desa.
Pada
dasarnya, terdapat dua kelas manusia: yang memerintah dan yang diperintah.
Kelas pertama terdiri dari kaum minoritas terorganisasi yang akan memaksakan
kehendaknya melalui “Manipulasi maupun kekerasan”, bahkan jauh lebih khusus,
melalui sebuah Demokrasi. Mosca pun mengakui adanya sirkulasi elite. Ia percaya
bahwa semua kelompok penguasa harus turun-temurun. Namun, sekedar menguatkan
pernyataan sebelumnya bahwa akan terjadi pergeseran perimbangan politik dan
dibutuhkannya bakat-bakat baru, maka
kelas penguasa harus menyesuaikan diri atau lebih mungkin tergulingkan.
Pernyataan Mosca diatas menjadi peringatan dan menjadi Pekerjaan Rumah
tersendiri bagi kepemimpinan Rusdiyono dalam menjalankan kekuasaan politik
lokal nya di Desa Tanjung Burung.
Lain
hal nya dengan Vilfredo Pareto, mungkin sebenarnya Pareto lah yang pantas
disebut sebagai penemu awal teori elit. Pareto membagi sebuah elite menjadi dua
kelompok, yakni Kelompok Governing Elite
dan Kelompok Non-Governing Elite.
Bagi Pareto, tidak akan ada perimbangan sempurna yang memungkinkan sebuah elite
dapat berkuasa selamanya. Pareto menggunakan
istilah Serigala dan Singa untuk menjelaskan adanya perputaran sirkulasi
kekuasaan elit.
Sebuah
pemerintahan, harus memiliki sebuah “Naluri Kombinasi” , maksudnya seorang elit
yang memerintah memerlukan daya cipta, kelihaian, dan daya meyakinkan seperti
seorang “Serigala” dan harus memiliki “Persistensi Agregat” tentang Kebulatan
Tekad dan kesediaan menggunakan kekerasan dari seekor “Singa”. Perebutan
kekuasaan antara seekor Serigala dengan Seekor Singa pun akan terus bergulir.
Berdasarkan
penjelasan dua kelompok Governing Elite
dan Non-Governing Elite menurut
Pareto, penulis mencoba merefleksikan fenomena yang terjadi di Desa tanjung
burung. Kelompok yang termasuk dalam Government
Elite adalah Rusdiyono selaku Kepala Desa dan Kelompok Non-Government nya adalah beberapa tokoh adat seperti Ustadz atau
pun Jawara di Desa Tanjung Burung.
Suatu saat kepemimpinan kharismatik akan tergerus oleh zaman, dimana pasti ada
sirkulasi kekuasaan antara para kelompok elit dan non-elit.
Sedangkan
menurut pandangan C.W.Mills, Elite yang dimaksud adalah kelompok kecil yang
secara rutin berinteraksi, memiliki tujuan dan kepentingan yang sama.
Mills memperjelas penggambaran
kekuasaan elite dalam bentuk piramida kekuasaan. Bagian paling puncak piramida
diduduki elite berkuasa, yakni pemimpin yang menguasai tiga sektor penting.
Lapisan kedua adalah pemimpin opini lokal, bagian ini melakukan tawar-menawar
bagi elite-elite yang berkuasa. Kemudian lapisan ketiga adalah masa yang tidak
memiliki kekuasaan dan orang-orang yang tidak terorganisasi yang dikontrol oleh
kekuasaan yang diatas. [11]
Ada dua faktor yang menyebabkan
kemunculan kekuasaan elite. Pertama, alat kekuasaan dan kekerasan yang saat ini
jauh lebih besar daripada yang ada dimasa lalu. Kedua, sifat saling tergantung
di antara elite yang merupakan hasil dari faktor struktur sosial yang dapat dilihat
secara historis, dimana bentuk dan derajat sentralisasi institusi ekonomi,
militer, dan politik sangat besar.
Setelah membicarakan tentang elit dan
kekuasaan, sekarang kita akan membahas Teori Weber mengenai otoritas politik
yang dikenal dengan istilah Tipe Ideal(Ideal
Typus). Weber membedakan tiga tipe ideal dari keabsahan yang dapat
meletakkan suatu pola hubungan dominasi, yakni Tradisional, Kharismatik, dan
hukum atau Legal-Rasional[12].
Namun, yang akan dibahas lebih dalam yaitu
tipe ideal Kharismatik dan Rutinisasi Kharismatik, dimana tipe ini sesuai
dengan realitas struktur kepemimpinan dan kekuasaan yang terjadi di Desa
Tanjung Burung.
Walaupun dalam pengertiannya, orang yang
memiliki kekuasaan kharismatik didasarkan pada individu yang memiliki kemampuan
khusus atau ciri-ciri yang luar biasa yang diyakini oleh pengikutnya, namun
tidak pada kasus kepemimpinan Bapak Rusdiyono selaku Kepala Desa setempat.
Kharisma yang ditimbulkan justru adalah hasil warisan dari mendiang bapaknya
yang dahulu juga sempat menjadi Kepala Desa untuk dua periode.
Pernyataan diatas diperkuat oleh pendapat
dari seorang sosiolog A.Giddens yang berkata bahwa,”Dominasi kharisma timbul
dalam konteks sosial atau sejarah yang sangat beraneka ragam dan oleh karenanya
tokoh-tokoh kharisma berjejeran mulai dari pemimpin-pemimpin politik yang
tindakan-tindakannya telah memengaruhi perkembangan seluruh peradaban sampai ke
sekian banyak jenis pemimpin kecil”[13].
Kurang lebihnya dalam hal kharisma, mungkin bisa dikatakan bahwa kepemimpinan mendiang dari alm.bapak
rusdiyono lah yang lebih kuat dibanding kharisma yang dimiliki oleh Kepala desa
sekarang. Namun dibalik itu, Modal kepercayaan Masyarakat menjadi salah satu
Modal yang penting untuk membangun kekuasaan oleh bapak Rusdiyono.
Menurut Weber, jika para pengikut
mendefinisikan pemimpin mereka sebagai seseorang yang berkharisma, maka ia
cenderung sebagai pemimpin terlepas dari benar tidaknya ia memiliki ciri yang
menonjol. Karena, seorang pemimpin kharismatik, bisa saja seorang yang biasa
saja. Pernyataan weber tentang hal yang telah disebutkan pun memang benar
adanya. Dilihat dari sejarah bapak rusdiyono untuk menjadi kepala desa pun, dia
tidak memiliki modal apapun yang mumpuni -pada saat itu- untuk menjadi seorang
pemimpin baik modal maupun mental dan sifat kharismatik karena yang memiliki
sifat kharismatik itu sendiri adalah berasal dari mendiang ayahnya.
Organisasi apapun yang memusatkan
kepemimpinannya pada pemimpin kharismatik, pasti tidak akan bisa secara ajeg
mempertahankan organisasinya. Karena berawal dari pertanyaan bahwa “Bagaimana
jika pemimpin kharismatik itu sudah tidak ada?”. Pastilah para anggota staffnya
(dalam kasus desa Tanjung Burung adalah Masyarakat sebagai penentu dan penilai
calon penerus Kepala Desa) akan menggunakan berbagai strategi agar dapat
mencari pengganti dari pendahulunya yang kharismatik dengan orang baru yang
kharismatik lagi. Namun, sekalipun berhasil ditemukan , dia tidak akan
memperoleh aura sama seperti pendahulunya. Agaknya hal ini sesuai dengan
kenyataan di desa, bahwa Kepala desa yang saat ini menjabat –sekalipun sudah
dua tahun- masih belum dapat dikatakan sebagai sosok pemimpin yang kharismatik
seperti yang diharapkan warga. Karena, berdasarkan data yang didapat dari hasil
wawancara kepada beberapa warga dan salah satu tokoh adat di desa Tanjung
Burung menyatakan bahwa kepemimpinan Kepala desa yang saat ini menjabat masih
kurang. Baik dari hal kepemimpinan dan juga kepribadiannya.
Salah satu cara mempertahankan kekuasaan
adalah dengan melakukan rutinisasi kharismatik. Dalam suatu organisasi,
khususnya dalam hal organisasi pemerintahan desa, para staff dan juga
masyarakat sekitar harus membuka peluang bagi pemimpin kharismatik merencanakan
penerusnya dan mentransfer karisma tersebut secara simbolik kepada garis
keturunan berikutnya.
Nyatanya, dalam struktur kepemimpinan di
desa tanjung burung, dukungan keluarga dan dukungan dari masyarakat sekitar
sangat mempengaruhi pemilihan umum Kepala desa di tahun 2009 dimana bapak
Rusdiyono yang pada akhirnya terpilih menjadi seorang Kepala desa. Hal tersebut
menunjukan bahwa masyarakat mendukung dan berharap bahwa bapak Rusdiyono dapat
menggantikan mendiang ayahnya yang dulu pernah menjabat sebagai seorang Kepala
desa tanjung burung untuk menjadi kepala desa yang lebih baik kedepannya.
Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa fenomena rutinisasi kekuasaan
kharismatik yang terjadi di Desa tanjung burung, berpotensi menjadi suatu
tradisi politik lokal.
Penutup
Kekuasaan, Politik, Elit adalah tiga hal
yang mungkin menjadi tujuan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa
ini. Baik dalam ranah perpolitikan yang makro bahkan ranah perpolitikan yang
mikro atau dalam hal ini kita sebut dengan politik lokal. Tidak menutup mata,
ketiga hal tersebut menjanjikan suatu Privilige
yang sangat menguntungkan kita dalam kehidupan kita bermasyarakat. Begitu pula
yang terjadi di dalam pola kepemimpinan di Desa tanjung burung.
Kesempatan ditambah peninggalan kharismatik
ayahnya yang melekat dalam diri Rusdiyono menjadikannya sebagai seorang Kepala
Desa saat ini. Suatu hal yang sangat tidak tidak pernah ia duga sebelumnya.
Namun, sikap baik berpihak padanya. Lantas, tak mau kehilangan kesempatan,
berbagai strategi politik seperti pendekatan massa selama tiga tahun untuk
membangun trust dan menjadi modal
awal ia maju sebagai Kepala Desa dan akhirnya terpilih untuk periode 2010-2014.
Namun, dibalik kepemimpinannya tersebut, di
awal karier nya sebagai Kepala Desa masih ada banyak hal yang harus dicapai
oleh Rusdiyono. Uang memang dapat menjadi sebuah Mesin Politik yang menggerakan
kekuatan kita mengarah pada sebuah kekuasaan politik, namun tidak dilupakan
bahwa ada skill(kemampuan) yang harus
dipegang, yaitu wibawa seorang pemimpin dan cara pemimpin mengolah kekuasaan.
Meminjam salah satu konsep dalam Dramaturgi Erving Goffman, tentang Impression Management, seorang Pemimpin
haruslah memiliki Impression Management
yang sangat baik dan total untuk dapat menjalankan peran dengan baik kepada
khalayak.
Sejauh hasil pengamatan Penulis,
kepemimpinan Rusdiyono masih belum cukup kuat untuk dapat menjalankan tugas
pertama dalam hidupnya untuk menjadi seorang Pemimpin lokal atau Kepala Desa di
Desa Tanjung Burung. Karena, yang menjadi tolak ukurnya adalah melihat
bagaimana respons masyarakat tentang kepemimpinannya saat ini. Dan dari
beberapa responden mengatakan bahwa masih jauh lebih baik kepemimpinan Kepala
Desa Sebelumnya. Ini menjadi Tugas yang cukup berat, namun masih bisa terkejar
selama dua tahun ini untuk menunjukan bahwa ia bisa menjadi lebih baik. Mungkin
pada dasarnya Pendidikan politik sejak dini itu jauh lebih bagus untuk
mendongkrak mobilitas vertikal kita saat ingin menjadi calon pemimpin, baik di
tingkat lokal maupun di tingkat negeri.
Daftar
Pustaka
Badrun,
Ubeidillah. 2012. Bahan Ajar Perkuliahan
Sosiologi Politik. Jakarta: Jurusan Sosiologi UNJ
Henslin,
James M. 2007. Sosiologi dengan
Pendekatan Membumi Jilid I. Penerbit Erlangga
Ritzer, George. 2011. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik
sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Post Modern. Bantul: Kreasi
Wacana
Sunarto,
Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Jakarta
Upe,
Ambo. 2010. Tradisi Aliran dalam
Sosiologi dari Filossofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1] Ubeidillah Badrun, Bahan ajar
sosiologi politik jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Jakarta
[2] Hasil wawancara dengan Bapak
Sanurbi selaku tokoh masyarakat, tanggal 22 April 2012 pukul 09.00 wib sampai
selesai
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Wawancara dengan bapak Rusdiyono
selaku Kepala Desa, tanggal 21 April 2012 pukul 09.00 Wib sampai selesai
[6] Op.Cit
[7] Wawancara dilakukan dengan Ibu
Mia pada tanggal 22 April 2012 pukul 10.12
[8] Wawancara dilakukan
penulis pada tanggal
22 April 2012 pukul 10.12 di undakan tangga tempat ibu-ibu desa Tanjung Burung
mencuci baju
[9] Hasil wawancara dengan Bapak
Rusdioyono tanggal 22 April 2012 pada jam 10:00 wib
[10] Ibid
[11] Poloma, Margaret M, Sosiologi
Kontemporer, Jakarta: Penerbit Rajawali Press, 2000
[12] Ritzer,
George, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011, Hal.140-147
[13] Upe, Ambo, Tradisi Aliran dalam
Sosiologi Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, Jakarta: PT Rajawali
Press, Hal.209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar