Sabtu, 19 Januari 2013

TRADISI SILAT PESISIRAN: SEJARAH, JENIS, DAN KEBERLANGSUNGANNYA


Disusun Oleh :

Amsal Armando
Atik Kurniawati
Dwi Putri Fauziah
Titien Farida
Taufik Rahman
Abstrak
Tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang kebudayan lokal di Desa Tanjung Burung yaitu pencak silat. Dahulu, desa Tanjung Burung ini sangat terkenal dengan tradisi pencak silatnya. Namun, kini perlahan pencak silat itu pun terancam keberlangsungannya. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terancamnya tradisi seni bela diri pencak silat di Desa Tanjung Burung ini, salah satunya yaitu dikarenakan tidak ada penerus dari generasi mudanya yang melestarikan tradisi pencak silat ini. Generasi mudanya saat ini cenderung untuk bekerja dibandingkan dengan belajar seni bela diri pencak silat ini. Selain itu, dikarenakan munculnya seni bela diri karate yang lebih diminati oleh anak-anak di Desa Tanjung Burung saat ini. Menurut pengakuan mereka, karate ini lebih modern dibandingkan dengan seni bela diri pencak silat yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman.

Pengantar

Desa Tanjung Burung terletak di daerah Tangerang, khusunya di pesisir pantai. Letaknya yang ada di pesisir ini menimbulkan perbedaan karakter antara masyarakat desa pesisir dengan masyarakat desa pada umumnya. Masyarakat Desa Tanjung Burung bermata pencaharian nelayan, ikan menjadi salah satu komuditi utama. Tak sedikit hasil penangkapan nelayan ini dicuri oleh orang lain, sehingga masyarakat desa ini menjadi lebih protektif terhadap kawasannya. Hal ini menjadi awal lahirnya pencak silat di Desa Tanjung Burung.
Pencak silat adalah salah satu bela diri khas Indonesia yang dipopulerkan pada masa “Si Pitung”, Pitung sendiri menggunakan pencak silat untuk mencuri timbunan kekayaan orang-orang kaya lalu dibagikan kepada masyarakat-masyarakat yang membutuhkan. Sehingga pitung disebut juga sang Jawara di Marunda, kampungnya.
Berbeda dengan Desa Tanjung Burung, istilah jawara digunakan bagi mereka yang mampu silat untuk melindungi hasil tangkapan nelayan dari pencurian. Hal ini menjadi daya tarik bagi pemuda-pemuda Desa Tanjung Burung untuk mempelajari dan mengembangkan silat demi keamanan kampungnya.
Tulisan ini disajikan ke dalam beberapa bagian, yaitu pertama pengantar sebagai pembuka untuk mengetahui garis besar dari tulisan ini. Kedua, akan menjelaskan sejarah pencak silat di Desa Tanjung Burung. Ketiga, akan menjelaskan jenis-jenis pencak silat di Desa Tanjung Burung. Keempat, akan menjelaskan keberlangsungan pencak silat di Desa Tanjung Burung. Kemudian bagian akhir berupa kesimpulan, akan menyimpulkan keseluruhan isi dari tulisan ini. Tulisan ini dibuat dengan metode kualitatif, yakni berdasarkan observasi dan hasil wawancara kepada beberapa warga desa Tanjung Burung khususnya yang memiliki keahlian dalam seni bela diri pencak silat. Selain itu, digunakan juga metode kepustakaan yaitu menggunakan beberapa buku sumber sebagai acuan dalam penyajian tulisan ini.

Kerangka Konseptual

Kebudayaan tersusun dari struktur-struktur psikologis yang menjadi sarana individu-individu atau kelompok individu-individu mengarahkan tingkah laku mereka. Kebudayaan itu bersifat publik sebab makna bersifat publik. Kebudayaan terdiri dari struktur yang bermakna serta ditetapkan secara sosial. Kebudayaan adalah sebuah fenomena psikologis, suatu sifat dari pikiran, kepribadian, struktur kognitif orang atau apa saja yang lain. Memahami kebudayaan suatu masyarakat adalah memperlihatkan kenormalan mereka tanpa menyempitkan pada kekhususan mereka.[1]
Berkaitan dalam penulisan kelompok kami dengan studi kasus di Desa Tanjung Burung.  Disini menunjukan bahwa kebudayaan silat muncul  melalui proses yang panjang. Pencak silat awalnya hanya bagian dari seni bela diri yang terinternalisasi pada masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama. Kebudayaan bersifat publik karena penerapannya melibatkan keseluruhana dalam suatu lingkungan bukan hanya berlaku secara individu saja. Sehingga kebudayaan pada awal mulanya adalah sebuah fenomena yang besar dan unik.
Dalam hal ini, kebudayaan lokal di Desa Tanjung Burung yaitu pencak silat. Kebudayaan pencak silat ini menjadi sarana individu dalam mengarahkan tingkah laku masyarakatnya. Karena dengan pencak silat ini, secara tidak langsung membentuk tingkah laku masyarakat menjadi lebih waspada terhadap serangan-serangan yang membahayakan dari luar. Kebudayaan pencak silat yang terdapat di Desa Tanjung Burung ini memiliki kekhasan tersendiri sehingga membuat desa ini terkenal dengan kebudayaan bela diri pencak silatnya. Karena kebudayaan adalah keunikan tersendiri dari suatu masyarakat, maka dalam hal ini pencak silat merupakan ciri khas dari desa Tanjung Burung.
Kebudayaan silat ini keberlangsungannya mulai terancam karena kurangnya pondasi spiritual pada pemuda zaman sekarang. Pemuda sudah tidak bisa menahan emosi mereka sehingga banyak penyalahgunaan. Itu dia salah satu alasan para pemuka pencak silat enggan menurunkan ilmunya. Karena jika salah menurunkan ilmunya sang jawaranya akan merasa bersalah dan berdosa.

Masyarakat  Pesisir

Warga desa tinggal secara menyebar dalam lingkungan yang berbeda.  Lingkungan hidup mereka, adakalanya berupa pegunungan, dataran, dan pantai. Istilah pantai di sini lebih mengacu kepada “laut”. Jadi, masyarakat pantai adalah masyarakat yang tinggal di kawasan yang relatif dekat dengan laut.[2]
Masyarakat Pesisiran menunjukkan beberapa ciri. Sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko. Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit. Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti kayi daripada pejabat pemerintah.
Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan hunian mereka di kawasan dataran/pantai yang transparan (berbeda dengan lingkungan pegunungan), dan dipengaruhi oleh corak keislaman yang lebih menekankan pada “keterus-terangan”. Demikian juga sikap egaliternya, yakni menyukai hubungan antarmanusia dalam kesejajaran (bukan: atas – bawah).
Kebudayaan Pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai dan terjiwai oleh masyarakat Pesisir, yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.[3] Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu (fisik/alam, dan sosial).

Kondisi Geografis Desa Tanjung Burung

Desa Tanjung Burung ini berada di Kabupaten Tangerang, Kecamatan Teluk Naga, Luas wilayah desa Tanjung Burung ini 864ha, dengan batas wilayah Sebelah Utara Laut Jawa, Sebelah Timur Desa Tanjung Pasir, Desa Tegalangus dan Desa Pangkalan, Sebelah Selatan Desa Pangkalan dan Desa Kp. Melayu Barat, serta Sebelah Barat Kali Cisadane, Desa Kalibaru dan Desa Kohod.
a) Tanah Pemukiman                           :    170  Ha
b) Tanah Pekuburan                            :  1.500 M2
c)  Lahan Pertanian                             :     122 Ha
d)  Lahan Pertambakan                       :     320 Ha
e)  Peternakan                                     :       42 Ha
f)  Prasarana Umum                            :         0 Ha

Keadaan Topografi Desa Tanjung Burung

Secara umum keadaan tofografi Desa Tanjung Burung adalah merupakan daerah Daratan datar. Iklim Desa Tanjung Burung, sebagaimana Desa - desa lain di Wilayah Indonesia mempunyai Iklim kemarau dan penghujan.

Keadaan Ekonomi

Secara umum dapat dijelaskan bahwa Desa Tanjung Burung bermata pencaharian Pedagang, Buruh, Karyawan Swasta, Pegawai Negeri Sipil, merupakan potensi yang sangat besar, sedangkan ABRI, Petani, pertukangan dan pensiunan jumlahnya relatif kecil. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok:
1.  Buruh/Swasta                                             : 3017  Orang 
2.  Pegawai Negeri Sipil ( PNS )                     :     20  Orang
3.  Pengrajin                                                    :     16 Orang
4.  Pedagang                                                   :   320 Orang
5.  Penjahit                                                      :     16 Orang
6.  Peternak                                                     :      1 Orang
7.  Nelayan                                                      :    68 Orang
10. Montir                                                       :    11 Orang
11. Dokter:                                                      :     1 Orang
12. Sopir                                                          :   53 Orang
13. Pengemudi Bajaj                                       :     -  Orang
14. Pengemudi Becak                                     :     8 Orang
15. TNI/Polri                                                   :     1 Orang
16. Pengusaha                                                 :     6 Orang
17. Lainnya                                                     :     - Orang

Tingkat kesejahteraan secara tabelaris adalah :
      Tingkat Kesejahteraan Masyarakat :  ( dalam KK / jiwa )
Kaya
Sedang
Kurang Mampu
277
500
740

Sarana dan Prasaraan Desa Tanjung Burung
           
Kondisi sarana dan prasarana umum Desa Tanjung Burung secara garis besar adalah sebagai berikut :


SD

 TK

Madrasah
Lemb
Pend.
Agama/Kursus/Pesantren
Jalan  Kampung/Desa
(m)
Jembatan
(Unit)
Sarana peribadatan Lainnya
Sarana Olah Raga
Masjid / Mushola

2

1

1


17201

1

1

-

17


Kondisi Penduduk Desa Tanjung Burung

Kondisi Sosial Desa Tanjung Burung terdiri dari masyarakat yang Heterogen  yang ditambah penduduk pendatang untuk bekerja sebagai buruh Pabrik .Desa Tanjung Burung terdiri dari : Jumlah Penduduk per Juli 2010  berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010 dengan jumlah jiwa :
1). Jumlah Penduduk
Laki – laki
Perempuan
Jumlah
3.794
3.597
7.391
     
2). Penduduk Berdasarkan Tingkat  Pendidikan
TDK TMT SD
SD
SMP
SLTA
D.1,2,3
S1
S2
1126
680
680
521
8

47


3


3). Penduduk Berdasarkan Agama

Islam

Budha

Hindu

Katolik

Protestan


6.338

853

0

16

170


Pencak Silat

Pencak silat adalah suatu metode bela diri yang diciptakan untuk mempertahankan diri dari bahaya yang dapat mengancam keselamatan dan kelangsungan hidup. Dalam kamus bahasa Indonesia, pencak silat diartikan permainan (keahlian) dalam mempertahankan diri dengan kepandaian menangkis, menyerang dan membela diri dengan  atau tanpa senjata. Ada juga yang mengatakan bahwa pencak silat adalah gerak bela diri tingkat tinggi yang disertai dengan perasaan sehingga penguasaan gerak efektif dan terkendali.[4]
Istilah silat dikenal secara luas di Asia Tenggara, akan tetapi khusus di Indonesia istilah yang digunakan adalah pencak silat.[5] Istilah ini digunakan sejak 1948 untuk mempersatukan berbagai aliran seni bela diri tradisional yang berkembang di Indonesia. Pencak silat adalah olahraga bela diri yang memerlukan banyak konsentrasi. Ada pengaruh budaya Cina, agama Hindu, Budha, dan Islam dalam pencak silat. Biasanya setiap daerah di Indonesia mempunyai aliran pencak silat yang khas. Misalnya, daerah Jawa Barat terkenal dengan aliran Cimande dan Cikalong, di Jawa Tengah ada aliran Merpati Putih dan di Jawa Timur ada aliran Perisai Diri.  Adapun beberapa pendapat mengenai silat, diantaranya:
1.      Menurut  Imam Koesepangat, yang merupakan guru besar Setia Hati Teratai Madiun : Pencak adalah gerak bela diri tanpa lawan dan Silat adalah bela diri yang tidak boleh dipertandingkan. Jadi pencak silat adalah gerak bela diri yang tidak boleh dijadikan ajang kompetisi.
2.      Menurut Soetardjonegoro, tokoh Phasadja Mataram di Yogyakarta : Pencak adalah gerak bela serang yang teratur menurut sistem, waktu, tempat dan iklim dengan selalu menjaga kehormatan masing-masing kesatria. Silat adalah gerak bela serang yang erat hubungannya denngan rohani. Pencak silat merupakan hasil budi dan akal manusia, lahir dari sebuah proses perenunngan, pembelajaran dan pengamatan. Sebagai tata gerak, pencak silat dapat disamakan dengan tarian. Bahkan pencak silat lebih kompleks, karena dalam tata geraknya terkandung unsur-unsur pembelaan diri yang tidak ada dalam tarian. Sebagai hasil budaya, pencak silat sangan kental dengan nilai dan norma yang hidup dan berlaku di masyarakat.

Menurut pengamatan kami di Desa Tanjung Burung, pencak silat adalah suatu gerakan untuk membela diri dari ancaman musuh yang tidak boleh dijadikan ajang  pamer kekuatan.  Karena pamer kekuatan menjadi momok yang dapat mengancam keberlangsungan pencak silat itu sendiri. Jadi, pencak silat hanya diajarkan kepada orang-orang yang mampu menjaga diri baik secara jasmani dan rohani.

Adapun pencak silat memiliki empat dasar yaitu[6]:
1.      Mental Spritual
Mental yang tinggi dalam melakukan gerakan pencak silat merupakan syarat yang utama untuk seserorang yang mempelajari pencak silat. Karena dalam pencak silat bertumpu pada kerendahan hati, agar bela diri ini tidak disalahgunakan. Seperti digunakan untuk merampok, mencuri, menodong, dan tindak kejahatan lainnya.
2.      Bela diri
Untuk membela diri serta mempertahankan sebagian dari tubuh dengan teknik gerakan yang  penuh tanggung jawab. Karena didalam pencak silat kita diajarkan untuk membela diri bukan untuk menyerang.
3.      Budaya dan seni
Melakukan gerakan teknik pencak silat dengan cara yang indah, bagus serta jelas dan gerakan-gerakannya tidak kaku. Pencak silat sebagai seni harus menuruti ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan, keserasian antara wirama, wirasa, dan wiraga. Karena di beberapa daerah di Indonesia pencak silat hanya sebagai sebuah seni tari, yang sama sekali tidak mirip sebagai olahraga maupun bela diri.
4.      Olahraga
Seorang yang belajar pencak silat harus menjaga cara hidupnya agar mendapatkan hasil prestasi, kelincahan dan kesehatan yang mencakup seluruhnya. Sehingga orang yang belajar pencak silat memiliki jiwa yang sehat seperti dalam pepatah “Di dalam jiwa yang sehat terdapat raga yang kuat”.

Pencak Silat di Desa Tanjung Burung

Awal mula munculnya pencak silat di Desa Tanjung burung ini karena antusias para pemuda untuk melindungi hasil tangkapan ikan dari curian.  Lalu berkembang  lebih dari 20 tahun. Seperti yang dikatakan informan kami yaitu bapak Ahmad Sarnobi (47 tahun) salah satu jawara aliran Seliwa. Dahulu Pencak silat identik dengan jawara, selain itu digunakan pada saat pengantin pria yang akan meminang pengantin wanita. Pencak silat memiliki unsur filosofi sebagai pegangan hidup agar tetap bersopan santun dan tetap menanamkan nilai-nilai tata karma. Agar tidak menyaalah gunakan apa yang telah diajarkan.
Menurut pendapat bapak Enyon (65 tahun) yang 15 tahun bergelut dengan dunia pencak silat. salah satu jawara Pencak silat aliran Beksi ia mengatakan bahwa berkembangnya Pencak Silat khususnya Beksi awalnya muncul di Kecamatan  Teluk Naga lalu berkembang sampai ke Desa tanjung Burung. Bapak Enyon sendiri tertarik untuk berlatih Pencak silat aliran Beksi karena ada orang yang meneror bahkan mengancam keluarganya dengan mengatakan “gue akan bunuh turunan lu sampe yang paling kecil”. Motivasi inilah yang menjadi dasar pak Enyon untuk berlatih silat secara serius guna membela diri dan kelurganya dari ancaman teror orang kampung “sebelah” .
Pak Enyon adalah salah satu pendiri pencak silat jenis beksi di Desa Tanjung Burung ini. Namun 2 bulan terakhir pak Enyon sudah tidak aktif lagi karena kondisi fisik yang semakin lemah. Dan terkena penyakit tulang sehingga beliau tidak dapat menurunkan ilmunya ke generasi muda. Adapun murid dari Pak enyon tidak berani menurunkan ilmunya kesembarangan orang karena tidak mendapat iszin dari Pak enyon. Pak enyon juga mengungkapkan beberapa kekecewaan, seperti ada muridnya yang menggunakan seni bela diri pencak silat ini untuk memperkaya diri dan melukai orang lain, seperti mencuri, merampok dan lain-lain.

Pencak Silat di Desa Tanjung Burung

Adapun jenis-jenis pencak silat yang ada di Desa Tanjung Burung diantaranya, yaitu:
1.      Seliwa
Kata Seliwa berasal dari bahasa sunda yang berarti nyeliwa. Pergerakannya alami seperti orang berjalan. Adapun faktor-faktor pendukung keberhasilan pencak silat ini yaitu, dengan wiridan, tahajud, semua yang berhubungan dengan Tuhan.
Seliwa juga dapat berarti tenaga yang bersilang. Misalnya dalam posisi kuda-kuda dengan kaki kanan dan tangan di depan; tumpu kekuatan tenaga ada di kaki kiri dan tangan kanan, ini juga sudah seliwa. Arah tenaga/energi yang berlawanan. Arah yang hendak dituju juga dapat dimaknai sebagai seliwa jika untuk mencapainya tidak langsung (lurus) ke sasaran namun berputar, secara tidak langsung, melingkar atau ke bawah dulu baru ke atas, dan seterusnya. Tidak linier dan tidak satu arah tapi kaya akan berbagai kemungkinan arah.
2.      Beksi
Menurut penuturan Bapak Enyon, Pencak silat aliran Beksi ini adalah aliran Pencak Silat yang paling berat dan tertutup untuk umum. Latihannya pun dilakukan pada pukul 7 malam sampai jam 1 pagi setiap harinya. Dalam aliran Beksi ini ada 12 tingkatan. Karena aliran ini merupakan aliran Pencak Silat yang cukup sulit, maka banyak murid dari bapak Enyon sendiri yang tidak sampai pada tingkat 12. Jika ada 20 orang murid, namun hanya 2 sampai 3 orang yang bisa sampai pada tingkatan 12. Rata-rata muridnya hanya bertahan pada tingkat 1, 3 atau 5. Hal ini dikarenakan mereka tidak serius dalam berlatih baik secara mental maupun fisik. Aliran Pencak Silat ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita.
Jurus-jurus dalam aliran Pencak Silat ini antara lain, janda berias (menyisir rambut), jandu renda (menggunakan tenaga dalam), dan teripang (seperti hewan laun teripang yang tak tahu ujungnya, antara kepala dan buntut serupa), bendrong (gerakan yang menggunakan kaki), jurus tancep (untuk melawan musuh), rompes (gerakan dengan menggunakan kepala, tangan, dan kaki), nunjang pisang (pukulan yang paling keras). Selain menggunakan fisik seni bela diri ini juga seperti ada yang dilindungi, kuncinya adalah tenang dan pernapasan dalam.
Seni bela diri Seliwa, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Beksi, hanya namanya saja yang berbeda karena dari wilayah yang berbeda seperti pekalongan, daerah kulon, serang, dan biasanya guru-guru dalam seni bela diri di daerah semuanya muslim seperti kiai.
Keberlangsungan Pencak Silat di Desa Tanjung Burung
Setelah tahun 1989-an perkembangan silat di desa Tanjung Burung tidak berkembang dengan baik. Corak ragam masyarakat pesisir, dewasa ini sudah mengalami berbagai perubahan. Perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah adanya pertambahan penduduk, pendidikan dan kemajuan teknologi. Dengan terjadinya pertambahan penduduk serta kemajuan teknologi, menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan pencak silat di Desa Tanjung Burung. Saat ini masyarakat di Desa tersebut sudah jarang yang tertarik untuk belajar seni bela diri ini.
Kecenderungan umum, terutama di kalangan para generasi mudanya, mereka lebih tertarik untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Kecenderungan perubahan seperti itu, tentu saja tidak datang secara tiba-tiba. Tetapi yang jelas, kecenderungan untuk bekerja akan semakin membuat pemikiran mereka berubah. Sehingga mereka sudah tidak memperdulikan akan pentingnya tradisi pencak silat sebagai kebudayaan bangsa.
Terhambatnya keberlangsungan seni bela diri silat selain karena faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, faktor yang mengancam keberlangsungan pencak silat di Desa Tanjung Burung ini adalah dengan kemunculan bela diri Karate. Dimana karate ini banyak diajarkan di sekolah-sekolah sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Sehingga anak-anak Desa Tanjung Burung lebih antusias untuk mempelajari bela diri asal Jepang ini, karena seni bela diri ini lebih modern atau bergengsi dibandingkan dengan pencak silat. Sekarang anak-anak di Desa Tanjung Burung tidak lagi peduli dengan budaya bela diri silat ini karena silat dianggap kuno oleh anak-anak sekarang dengan kedatangan “karate” di sekolah-sekolah sebagai ekstrakulikuler.
Selain itu, karena orang tua yang tidak mendukung terhadap keberlangsungan Pencak Silat ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga, sehingga menyebabkan cukup sulitnya mempertahankan seni bela diri Pencak Silat ini. Di saat anak-anak ingin berlatih Pencak Silat, namun mereka disuruh oleh orang tua untuk bekerja menerima tamu dari luar daerah yang ingin memancing.
Selain dari faktor orang tua juga ada dari faktor pelatih seperti yang Pak Enyon katakan, bahwa beliau sudah lima bulan terakhir berhenti melatih bela diri beksi. Karena faktor usianya yang tidak memungkinkan untuk berlatih mengingat latihan yang dilakukan pada malam hari. Selain karena faktor usia, Pak Enyon juga khawatir pada anak muda sekarang karena mereka sedikit memiliki emosi yang tidak stabil juga menjadi penyebabnya karena bela diri ini tujuannya untuk menjaga diri sendiri bukan untuk melakukan tindak kriminal atau balas dendam, jadi ia segan untuk melatih lagi.

Adapun faktor-faktor yang mengancam keberlangsungan seni pencak silat di Desa Tanjung Burung :
1.      Masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hal ini membuat keberlangsungan pencak silat terancam. Karena di sekolah diterapkan ekstrakulikuler bela diri modern seperti karate, taekwondo, dan lain-lain. Selain teknisnya yang mudah dipelajari, seni bela diri modern ini tidak membutuhkan mental spiritual
2.      Minimnya mental spiritual , generasi muda saat ini sangat minim karena anak muda jaman sekarang cenderung berfoya-foya dan tidak taat dalam beragama.
3.      Kurangnya dukungan dari para orangtua, karena pencak silat sekarang ini dianggap negative dalam mindset masyarakat apalagi dengan istilah jawara. Karena penyalahgunaan bela diri itu sendiri untuk memperkaya diri seperti merampok, mencuri dan lain-lain.
4.      Situasi perekonomian karena anak-anak disiapkan untuk siap kerja untuk membantu perekonomian keluarga. Bukan untuk belajar bela diri, sehingga generasi muda sekarang ini tidak mengenal bela diri pencak silat ini.
5.      Adanya permainan-permainan baru , mainan baru misalnya dari Cina yang dapat digunakan sendiri. Membuat anak-anak malas bersosialisasi. Sehingga kebersamaan kolektifnya rendah, dan antara anak yang satu dengan anak yang lain cenderung acuh.
6.      Struktur sosial masyarakat yang kompleks, seperti dalam bidang keyakinan. Keberagaman ini membuat variasi beragama semakin kompleks, seperti Kristen, hindui, budha, dan lain-lain. Padahal salah satu syarat utama untuk mengikuti bela diri seni pencak silat adalah beragama islam.

Kesimpulan

            Pencak silat di Desa Tanjung Burung pada awalnya hanyalah bentuk pembelaan terhadap harga diri para pemudanya dari pelecehan pemuda lain dan juga untuk melindung hasil tangkapan ikan dari curian maling. Berawal dari fenomena yang cukup mncengangkan karena merugikan hasil tambak masyarakat, sehingga para pemuda merasa harus turun langsung atas dasar keikhlasan dan tanggung jawab untuk melindungi sesama masyarakat desa. Awalnya hanya beberapa pemuda saja yang belajar seni bela diri ini.  Namun lama-kelamaan pemuda tertarik untuk ikut belajar bela diri pencak silat ini untuk membantu segelintir pemuda dalam membela hak mereka dan harga diri mereka. 
            Lambat laun ini menjadi suatu kebudayaan tersendiri yang tercipta secara tidak disengaja dan tidak disadari oleh masyaraktnya. Pencak silat ini cukup dalam tertanam di masyarakat Desa Tanjung Burung. Dan menjadi salah satu komuditi budaya yang dihasilkan selama kurang lebih 20 tahun.  Hampir semua desa tetangga mengenal pencak silat melalui sang jawara tertua seperti Pak Enyon. Ditangan pak Enyon puluhan pemuda berhasil menguasai 12 tingkatan, walau ada juga yang gagal karena beberapa faktor diantaranya ketidak sungguhan dalam latihan, kurangnya intensitas latihan, minimnya pengetahuan spiritual khususnya dalam agama Islam.
            Zaman telah berganti, era modernpun menghampiri masyarakat Desa Tanjung Burung.  Berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi merasuk dalam kesaharian masyarakat desa ini.  Globalisasi yang menggila ini tidak hanya dalam bidang yang terlihat saja namun juga yang tidak terlihat seperti budaya. Contohnya 20 tahun lalu anak-anak kecil bermain menggunakan fasilitas umum secara kolektif namun sekarang menggunakan teknologi canggih secara individual. Begitupula dalam kebudayaan, masuknya bela diri karate dalam kegiatan ekstrakulikuler sekolah banyak mempengaruhi ketertarikan anak-anak dalam memilih seni bela diri mana yang ingin mereka kuasai.
Keberlangsungan seni bela diri pencak silat mulai terancam dengan masuknya bela diri karate asal  Jepang dalam sekolah. Dari segi gerakan terdapat banyak perbedaan. Dalam karate gerakannya lebih mudah diikuti dan dipelajari tanpa ada peran spiritual, sedangkan dalam pencak silat gerakannya lebih detail, susah dipelajari, banyak ritual-ritual yang harus diikuti seperti berendam tengah malam di sungai dan menggunakan mental spiritual sehingga tidak sembarang orang dapat mempelajarinya.
Serta faktor lain yang tidak kalah penting adalah mindset para orangtua yang tidak menginginkan anaknya belajar silat karena  dianggap bela diri yang menyeramkan atau dianggap negative. Karena memang faktanya ilmu pencak silat ini dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk memperkaya diri seperti  merampok dan mencuri. Dan korbannya biasanya dilukai. Oleh sebab itu mindset yang tertanam pada masyarakat Desa Tanjung Burung buruk mengenai “Jawara silat” sekarang ini.














Daftar Pustaka

Sumber Buku:
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.


Sumber Lain:




[1] Clifford Geertz, 1992, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 12-18
[3] Ibid
[5] Diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pencak_silat pada 29 April 2012
[6] Loc. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar