Disusun Oleh :
Amsal
Armando
Atik Kurniawati
Dwi Putri
Fauziah
Titien Farida
Taufik Rahman
Abstrak
Tulisan
ini akan mencoba menjelaskan tentang kebudayan lokal di Desa Tanjung Burung
yaitu pencak silat. Dahulu, desa Tanjung Burung ini sangat terkenal dengan
tradisi pencak silatnya. Namun, kini perlahan pencak silat itu pun terancam
keberlangsungannya. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terancamnya
tradisi seni bela diri pencak silat di Desa Tanjung Burung ini, salah satunya
yaitu dikarenakan tidak ada penerus dari generasi mudanya yang melestarikan
tradisi pencak silat ini. Generasi mudanya saat ini cenderung untuk bekerja
dibandingkan dengan belajar seni bela diri pencak silat ini. Selain itu,
dikarenakan munculnya seni bela diri karate yang lebih diminati oleh anak-anak
di Desa Tanjung Burung saat ini. Menurut pengakuan mereka, karate ini lebih
modern dibandingkan dengan seni bela diri pencak silat yang dianggap kuno dan
ketinggalan zaman.
Pengantar
Desa Tanjung
Burung terletak di daerah Tangerang, khusunya di pesisir pantai. Letaknya yang
ada di pesisir ini menimbulkan perbedaan karakter antara masyarakat desa
pesisir dengan masyarakat desa pada umumnya. Masyarakat Desa Tanjung Burung
bermata pencaharian nelayan, ikan menjadi salah satu komuditi utama. Tak
sedikit hasil penangkapan nelayan ini dicuri oleh orang lain, sehingga
masyarakat desa ini menjadi lebih protektif terhadap kawasannya. Hal ini
menjadi awal lahirnya pencak silat di Desa Tanjung Burung.
Pencak silat
adalah salah satu bela diri khas Indonesia yang dipopulerkan pada masa “Si
Pitung”, Pitung sendiri menggunakan pencak silat untuk mencuri timbunan
kekayaan orang-orang kaya lalu dibagikan kepada masyarakat-masyarakat yang
membutuhkan. Sehingga pitung disebut juga sang Jawara di Marunda, kampungnya.
Berbeda dengan
Desa Tanjung Burung, istilah jawara digunakan bagi mereka yang mampu silat
untuk melindungi hasil tangkapan nelayan dari pencurian. Hal ini menjadi daya
tarik bagi pemuda-pemuda Desa Tanjung Burung untuk mempelajari dan
mengembangkan silat demi keamanan kampungnya.
Tulisan ini
disajikan ke dalam beberapa bagian, yaitu pertama pengantar sebagai pembuka
untuk mengetahui garis besar dari tulisan ini. Kedua, akan menjelaskan sejarah
pencak silat di Desa Tanjung Burung. Ketiga, akan menjelaskan jenis-jenis
pencak silat di Desa Tanjung Burung. Keempat, akan menjelaskan keberlangsungan
pencak silat di Desa Tanjung Burung. Kemudian bagian akhir berupa kesimpulan,
akan menyimpulkan keseluruhan isi dari tulisan ini. Tulisan ini dibuat dengan
metode kualitatif, yakni berdasarkan observasi dan hasil wawancara kepada
beberapa warga desa Tanjung Burung khususnya yang memiliki keahlian dalam seni
bela diri pencak silat. Selain itu, digunakan juga metode kepustakaan yaitu
menggunakan beberapa buku sumber sebagai acuan dalam penyajian tulisan ini.
Kerangka Konseptual
Kebudayaan
tersusun dari struktur-struktur psikologis yang menjadi sarana
individu-individu atau kelompok individu-individu mengarahkan tingkah laku
mereka. Kebudayaan itu bersifat publik sebab makna bersifat publik. Kebudayaan
terdiri dari struktur yang bermakna serta ditetapkan secara sosial. Kebudayaan
adalah sebuah fenomena psikologis, suatu sifat dari pikiran, kepribadian,
struktur kognitif orang atau apa saja yang lain. Memahami kebudayaan suatu
masyarakat adalah memperlihatkan kenormalan mereka tanpa menyempitkan pada
kekhususan mereka.[1]
Berkaitan
dalam penulisan kelompok kami dengan studi kasus di Desa Tanjung Burung. Disini menunjukan bahwa kebudayaan silat
muncul melalui proses yang panjang.
Pencak silat awalnya hanya bagian dari seni bela diri yang terinternalisasi
pada masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama. Kebudayaan bersifat publik
karena penerapannya melibatkan keseluruhana dalam suatu lingkungan bukan hanya
berlaku secara individu saja. Sehingga kebudayaan pada awal mulanya adalah
sebuah fenomena yang besar dan unik.
Dalam
hal ini, kebudayaan lokal di Desa Tanjung Burung yaitu pencak silat. Kebudayaan
pencak silat ini menjadi sarana individu dalam mengarahkan tingkah laku
masyarakatnya. Karena dengan pencak silat ini, secara tidak langsung membentuk
tingkah laku masyarakat menjadi lebih waspada terhadap serangan-serangan yang
membahayakan dari luar. Kebudayaan pencak silat yang terdapat di Desa Tanjung
Burung ini memiliki kekhasan tersendiri sehingga membuat desa ini terkenal
dengan kebudayaan bela diri pencak silatnya. Karena kebudayaan adalah keunikan
tersendiri dari suatu masyarakat, maka dalam hal ini pencak silat merupakan
ciri khas dari desa Tanjung Burung.
Kebudayaan
silat ini keberlangsungannya mulai terancam karena kurangnya pondasi spiritual
pada pemuda zaman sekarang. Pemuda sudah tidak bisa menahan emosi mereka
sehingga banyak penyalahgunaan. Itu dia salah satu alasan para pemuka pencak silat
enggan menurunkan ilmunya. Karena jika salah menurunkan ilmunya sang jawaranya
akan merasa bersalah dan berdosa.
Masyarakat Pesisir
Warga desa
tinggal secara menyebar dalam lingkungan yang berbeda. Lingkungan hidup mereka,
adakalanya berupa pegunungan, dataran, dan pantai. Istilah pantai di sini lebih
mengacu kepada “laut”. Jadi, masyarakat pantai adalah masyarakat yang tinggal
di kawasan yang relatif dekat dengan laut.[2]
Masyarakat
Pesisiran menunjukkan beberapa ciri. Sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur
kata yang digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko. Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak
keagamaannya cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Dalam
menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit.
Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati
tokoh-tokoh informal seperti kayi daripada pejabat pemerintah.
Hal ini
dipengaruhi oleh lingkungan hunian mereka di kawasan dataran/pantai yang
transparan (berbeda dengan lingkungan pegunungan), dan dipengaruhi oleh corak
keislaman yang lebih menekankan pada “keterus-terangan”. Demikian juga sikap
egaliternya, yakni menyukai hubungan antarmanusia dalam kesejajaran (bukan:
atas – bawah).
Kebudayaan
Pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai dan
terjiwai oleh masyarakat Pesisir, yang isinya adalah perangkat-perangkat model
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.[3]
Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan
yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan
menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu (fisik/alam, dan sosial).
Kondisi Geografis Desa Tanjung
Burung
Desa
Tanjung Burung ini berada di Kabupaten Tangerang, Kecamatan Teluk Naga, Luas
wilayah desa Tanjung Burung ini 864ha, dengan batas wilayah Sebelah Utara Laut Jawa, Sebelah Timur Desa
Tanjung Pasir, Desa Tegalangus dan Desa Pangkalan, Sebelah Selatan Desa
Pangkalan dan Desa Kp. Melayu Barat, serta Sebelah Barat Kali
Cisadane, Desa Kalibaru dan Desa Kohod.
a)
Tanah Pemukiman : 170 Ha
b)
Tanah Pekuburan : 1.500 M2
c) Lahan
Pertanian : 122 Ha
d) Lahan Pertambakan : 320 Ha
e)
Peternakan : 42 Ha
f) Prasarana Umum : 0 Ha
Keadaan Topografi Desa Tanjung
Burung
Secara umum keadaan tofografi Desa Tanjung Burung adalah merupakan
daerah Daratan datar. Iklim Desa Tanjung Burung, sebagaimana Desa - desa lain
di Wilayah Indonesia mempunyai Iklim kemarau dan
penghujan.
Keadaan Ekonomi
Secara umum
dapat dijelaskan bahwa Desa Tanjung Burung bermata pencaharian Pedagang, Buruh,
Karyawan Swasta, Pegawai Negeri Sipil, merupakan potensi yang sangat besar,
sedangkan ABRI, Petani, pertukangan dan pensiunan jumlahnya relatif kecil. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Pokok:
1. Buruh/Swasta :
3017 Orang
2. Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) : 20 Orang
3. Pengrajin : 16 Orang
4. Pedagang : 320 Orang
5. Penjahit : 16 Orang
6. Peternak : 1 Orang
7. Nelayan : 68 Orang
10.
Montir : 11 Orang
11. Dokter: : 1 Orang
12. Sopir : 53 Orang
13.
Pengemudi Bajaj : - Orang
14.
Pengemudi Becak : 8 Orang
15.
TNI/Polri : 1 Orang
16.
Pengusaha : 6 Orang
17.
Lainnya : - Orang
Tingkat kesejahteraan secara
tabelaris adalah :
Tingkat
Kesejahteraan Masyarakat : ( dalam KK / jiwa )
Kaya
|
Sedang
|
Kurang Mampu
|
277
|
500
|
740
|
Sarana dan Prasaraan Desa Tanjung Burung
Kondisi sarana dan
prasarana umum Desa Tanjung Burung secara garis besar adalah sebagai berikut :
SD
|
TK
|
Madrasah
|
Lemb
Pend.
Agama/Kursus/Pesantren
|
Jalan
Kampung/Desa
(m)
|
Jembatan
(Unit)
|
Sarana peribadatan Lainnya
|
Sarana Olah Raga
|
Masjid / Mushola
|
2
|
1
|
1
|
|
17201
|
1
|
1
|
-
|
17
|
Kondisi Penduduk Desa Tanjung
Burung
Kondisi Sosial Desa Tanjung Burung terdiri dari masyarakat yang
Heterogen yang ditambah penduduk
pendatang untuk bekerja sebagai buruh Pabrik .Desa Tanjung Burung terdiri dari
: Jumlah Penduduk per Juli 2010
berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010 dengan jumlah jiwa :
1). Jumlah Penduduk
Laki – laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
3.794
|
3.597
|
7.391
|
2). Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
TDK
TMT SD
|
SD
|
SMP
|
SLTA
|
D.1,2,3
|
S1
|
S2
|
1126
|
680
|
680
|
521
|
8
|
47
|
3
|
3). Penduduk Berdasarkan Agama
Islam
|
Budha
|
Hindu
|
Katolik
|
Protestan
|
6.338
|
853
|
0
|
16
|
170
|
Pencak
Silat
Pencak silat
adalah suatu metode bela diri yang diciptakan untuk mempertahankan diri dari
bahaya yang dapat mengancam keselamatan dan kelangsungan hidup. Dalam kamus
bahasa Indonesia, pencak silat diartikan permainan (keahlian) dalam mempertahankan
diri dengan kepandaian menangkis, menyerang dan membela diri dengan atau tanpa senjata. Ada juga yang mengatakan
bahwa pencak silat adalah gerak bela diri tingkat tinggi yang disertai dengan
perasaan sehingga penguasaan gerak efektif dan terkendali.[4]
Istilah
silat dikenal secara luas di
Asia Tenggara, akan tetapi khusus di Indonesia istilah yang digunakan adalah pencak silat.[5]
Istilah ini digunakan sejak 1948 untuk mempersatukan berbagai aliran seni bela
diri tradisional yang berkembang di Indonesia. Pencak silat adalah olahraga
bela diri yang memerlukan banyak konsentrasi. Ada pengaruh budaya Cina, agama Hindu, Budha, dan Islam dalam pencak
silat. Biasanya setiap daerah di Indonesia mempunyai aliran pencak silat yang
khas. Misalnya, daerah Jawa Barat terkenal dengan
aliran Cimande dan Cikalong, di Jawa Tengah ada aliran Merpati Putih dan di Jawa
Timur ada aliran Perisai Diri. Adapun beberapa pendapat mengenai silat,
diantaranya:
1. Menurut Imam Koesepangat, yang merupakan guru besar
Setia Hati Teratai Madiun : Pencak adalah gerak bela diri tanpa lawan dan Silat
adalah bela diri yang tidak boleh dipertandingkan. Jadi pencak silat adalah
gerak bela diri yang tidak boleh dijadikan ajang kompetisi.
2. Menurut
Soetardjonegoro, tokoh Phasadja Mataram di Yogyakarta : Pencak adalah gerak
bela serang yang teratur menurut sistem, waktu, tempat dan iklim dengan selalu
menjaga kehormatan masing-masing kesatria. Silat adalah gerak bela serang yang
erat hubungannya denngan rohani. Pencak silat merupakan hasil budi dan akal
manusia, lahir dari sebuah proses perenunngan, pembelajaran dan pengamatan.
Sebagai tata gerak, pencak silat dapat disamakan dengan tarian. Bahkan pencak
silat lebih kompleks, karena dalam tata geraknya terkandung unsur-unsur
pembelaan diri yang tidak ada dalam tarian. Sebagai hasil budaya, pencak silat
sangan kental dengan nilai dan norma yang hidup dan berlaku di masyarakat.
Menurut pengamatan kami di Desa Tanjung
Burung, pencak silat adalah suatu gerakan untuk membela diri dari ancaman musuh
yang tidak boleh dijadikan ajang pamer kekuatan. Karena pamer kekuatan menjadi momok yang
dapat mengancam keberlangsungan pencak silat itu sendiri. Jadi, pencak silat
hanya diajarkan kepada orang-orang yang mampu menjaga diri baik secara jasmani
dan rohani.
Adapun pencak silat
memiliki empat dasar yaitu[6]:
1. Mental
Spritual
Mental
yang tinggi dalam melakukan gerakan pencak silat merupakan syarat yang utama
untuk seserorang yang mempelajari pencak silat. Karena dalam pencak silat
bertumpu pada kerendahan hati, agar bela diri ini tidak disalahgunakan. Seperti
digunakan untuk merampok, mencuri, menodong, dan tindak kejahatan lainnya.
2. Bela
diri
Untuk
membela diri serta mempertahankan sebagian dari tubuh dengan teknik gerakan
yang penuh tanggung jawab. Karena
didalam pencak silat kita diajarkan untuk membela diri bukan untuk menyerang.
3. Budaya
dan seni
Melakukan
gerakan teknik pencak silat dengan cara yang indah, bagus serta jelas dan
gerakan-gerakannya tidak kaku. Pencak silat sebagai seni harus menuruti
ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan, keserasian antara wirama,
wirasa, dan wiraga. Karena di beberapa daerah di Indonesia pencak silat hanya
sebagai sebuah seni tari, yang sama sekali tidak mirip sebagai olahraga maupun
bela diri.
4. Olahraga
Seorang
yang belajar pencak silat harus menjaga cara hidupnya agar mendapatkan hasil
prestasi, kelincahan dan kesehatan yang mencakup seluruhnya. Sehingga orang
yang belajar pencak silat memiliki jiwa yang sehat seperti dalam pepatah “Di
dalam jiwa yang sehat terdapat raga yang kuat”.
Pencak Silat di Desa Tanjung
Burung
Awal mula munculnya pencak silat di Desa Tanjung burung
ini karena antusias para pemuda untuk melindungi hasil tangkapan ikan dari
curian. Lalu berkembang lebih dari 20 tahun. Seperti yang dikatakan
informan kami yaitu bapak Ahmad Sarnobi (47 tahun) salah satu jawara aliran Seliwa. Dahulu Pencak silat identik dengan jawara, selain itu digunakan
pada saat pengantin pria yang akan meminang pengantin wanita. Pencak silat
memiliki unsur filosofi sebagai pegangan hidup agar tetap bersopan santun dan
tetap menanamkan nilai-nilai tata karma. Agar tidak menyaalah gunakan apa yang
telah diajarkan.
Menurut
pendapat bapak Enyon (65 tahun) yang 15 tahun
bergelut dengan dunia pencak silat. salah satu jawara Pencak silat
aliran Beksi ia mengatakan bahwa berkembangnya Pencak Silat khususnya Beksi
awalnya muncul di Kecamatan Teluk Naga
lalu berkembang sampai ke Desa tanjung Burung. Bapak Enyon sendiri tertarik untuk berlatih Pencak silat aliran Beksi
karena ada orang yang meneror bahkan mengancam keluarganya dengan mengatakan
“gue akan bunuh turunan lu sampe yang paling kecil”. Motivasi
inilah yang menjadi dasar pak Enyon untuk berlatih silat secara serius guna
membela diri dan kelurganya dari ancaman teror orang kampung “sebelah” .
Pak
Enyon adalah salah satu pendiri pencak silat jenis beksi di Desa Tanjung Burung
ini. Namun 2 bulan terakhir pak Enyon sudah tidak aktif lagi karena kondisi
fisik yang semakin lemah. Dan terkena penyakit tulang sehingga beliau tidak
dapat menurunkan ilmunya ke generasi muda. Adapun murid dari Pak enyon tidak
berani menurunkan ilmunya kesembarangan orang karena tidak mendapat iszin dari
Pak enyon. Pak enyon juga mengungkapkan beberapa kekecewaan, seperti ada
muridnya yang menggunakan seni bela diri pencak silat ini untuk memperkaya diri
dan melukai orang lain, seperti mencuri, merampok dan lain-lain.
Pencak Silat di Desa Tanjung Burung
Adapun
jenis-jenis pencak silat yang ada di Desa Tanjung Burung diantaranya, yaitu:
1.
Seliwa
Kata Seliwa berasal dari
bahasa sunda yang berarti nyeliwa. Pergerakannya alami seperti orang berjalan.
Adapun faktor-faktor pendukung keberhasilan pencak silat ini yaitu, dengan
wiridan, tahajud, semua yang berhubungan dengan Tuhan.
Seliwa juga dapat berarti
tenaga yang bersilang. Misalnya dalam posisi kuda-kuda dengan kaki kanan dan
tangan di depan; tumpu kekuatan tenaga ada di kaki kiri dan tangan kanan, ini
juga sudah seliwa. Arah tenaga/energi yang berlawanan. Arah
yang hendak dituju juga dapat dimaknai sebagai seliwa jika untuk mencapainya
tidak langsung (lurus) ke sasaran namun berputar, secara tidak langsung,
melingkar atau ke bawah dulu baru ke atas, dan seterusnya. Tidak linier dan
tidak satu arah tapi kaya akan berbagai kemungkinan arah.
2. Beksi
Menurut penuturan Bapak
Enyon, Pencak silat aliran Beksi ini adalah aliran Pencak Silat yang paling
berat dan tertutup untuk umum. Latihannya pun dilakukan pada pukul 7 malam
sampai jam 1 pagi setiap harinya. Dalam aliran Beksi ini ada 12 tingkatan.
Karena aliran ini merupakan aliran Pencak Silat yang cukup sulit, maka banyak
murid dari bapak Enyon sendiri yang tidak sampai pada tingkat 12. Jika ada 20
orang murid, namun hanya 2 sampai 3 orang yang bisa sampai pada tingkatan 12.
Rata-rata muridnya hanya bertahan pada tingkat 1, 3 atau 5. Hal ini dikarenakan
mereka tidak serius dalam berlatih baik secara mental maupun fisik. Aliran
Pencak Silat ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita.
Jurus-jurus dalam aliran
Pencak Silat ini antara lain, janda berias (menyisir rambut), jandu renda
(menggunakan tenaga dalam), dan teripang (seperti hewan laun teripang yang tak
tahu ujungnya, antara kepala dan buntut serupa), bendrong (gerakan yang
menggunakan kaki), jurus tancep (untuk melawan musuh), rompes (gerakan dengan menggunakan
kepala, tangan, dan kaki), nunjang pisang (pukulan yang paling keras). Selain
menggunakan fisik seni bela diri ini juga seperti ada yang dilindungi, kuncinya
adalah tenang dan pernapasan dalam.
Seni bela diri Seliwa,
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Beksi, hanya namanya saja yang berbeda
karena dari wilayah yang berbeda seperti pekalongan, daerah kulon, serang, dan
biasanya guru-guru dalam seni bela diri di daerah semuanya muslim seperti kiai.
Keberlangsungan Pencak Silat di Desa Tanjung Burung
Setelah
tahun 1989-an perkembangan silat di desa Tanjung Burung tidak berkembang dengan
baik. Corak ragam masyarakat pesisir, dewasa ini sudah mengalami berbagai
perubahan. Perubahan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ialah
adanya pertambahan penduduk, pendidikan dan kemajuan teknologi. Dengan
terjadinya pertambahan penduduk serta kemajuan teknologi, menimbulkan dampak
negatif bagi keberlangsungan pencak silat di Desa Tanjung Burung. Saat ini
masyarakat di Desa tersebut sudah jarang yang tertarik untuk belajar seni bela
diri ini.
Kecenderungan
umum, terutama di kalangan para generasi mudanya, mereka lebih tertarik untuk
bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Kecenderungan perubahan seperti
itu, tentu saja tidak datang secara tiba-tiba. Tetapi
yang jelas, kecenderungan untuk bekerja akan semakin membuat pemikiran mereka
berubah. Sehingga mereka sudah tidak memperdulikan akan pentingnya tradisi
pencak silat sebagai kebudayaan bangsa.
Terhambatnya
keberlangsungan seni bela diri silat selain karena faktor yang telah dijelaskan
sebelumnya, faktor yang mengancam keberlangsungan pencak silat di Desa Tanjung
Burung ini adalah dengan kemunculan bela diri Karate. Dimana karate ini banyak
diajarkan di sekolah-sekolah sebagai kegiatan ekstrakulikuler. Sehingga
anak-anak Desa Tanjung Burung lebih antusias untuk mempelajari bela diri asal
Jepang ini, karena seni bela diri ini lebih modern atau bergengsi dibandingkan
dengan pencak silat. Sekarang anak-anak di Desa Tanjung Burung tidak lagi
peduli dengan budaya bela diri silat ini karena silat dianggap kuno oleh
anak-anak sekarang dengan kedatangan “karate” di sekolah-sekolah sebagai
ekstrakulikuler.
Selain itu,
karena orang tua yang tidak mendukung terhadap keberlangsungan Pencak Silat
ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga, sehingga
menyebabkan cukup sulitnya mempertahankan seni bela diri Pencak Silat ini. Di
saat anak-anak ingin berlatih Pencak Silat, namun mereka disuruh oleh orang tua
untuk bekerja menerima tamu dari luar daerah yang ingin memancing.
Selain dari
faktor orang tua juga ada dari faktor pelatih seperti yang Pak Enyon katakan,
bahwa beliau sudah lima bulan terakhir berhenti melatih bela diri beksi. Karena
faktor usianya yang tidak memungkinkan untuk berlatih mengingat latihan yang
dilakukan pada malam hari. Selain karena faktor usia, Pak Enyon juga khawatir
pada anak muda sekarang karena mereka sedikit memiliki emosi yang tidak stabil
juga menjadi penyebabnya karena bela diri ini tujuannya untuk menjaga diri sendiri
bukan untuk melakukan tindak kriminal atau balas dendam, jadi ia segan untuk
melatih lagi.
Adapun
faktor-faktor yang mengancam keberlangsungan seni pencak silat di Desa Tanjung
Burung :
1. Masuknya
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), hal ini membuat keberlangsungan pencak
silat terancam. Karena di sekolah diterapkan ekstrakulikuler bela diri modern
seperti karate, taekwondo, dan lain-lain. Selain teknisnya yang mudah
dipelajari, seni bela diri modern ini tidak membutuhkan mental spiritual
2. Minimnya mental spiritual , generasi
muda saat ini sangat minim karena anak muda jaman sekarang cenderung
berfoya-foya dan tidak taat dalam beragama.
3. Kurangnya dukungan dari para
orangtua, karena pencak silat sekarang ini dianggap negative dalam mindset
masyarakat apalagi dengan istilah jawara. Karena penyalahgunaan bela diri itu
sendiri untuk memperkaya diri seperti merampok, mencuri dan lain-lain.
4. Situasi perekonomian karena
anak-anak disiapkan untuk siap kerja untuk membantu perekonomian keluarga.
Bukan untuk belajar bela diri, sehingga generasi muda sekarang ini tidak
mengenal bela diri pencak silat ini.
5. Adanya permainan-permainan baru ,
mainan baru misalnya dari Cina yang dapat digunakan sendiri. Membuat anak-anak
malas bersosialisasi. Sehingga kebersamaan kolektifnya rendah, dan antara anak
yang satu dengan anak yang lain cenderung acuh.
6. Struktur sosial masyarakat yang
kompleks, seperti dalam bidang keyakinan. Keberagaman ini membuat variasi
beragama semakin kompleks, seperti Kristen, hindui, budha, dan lain-lain.
Padahal salah satu syarat utama untuk mengikuti bela diri seni pencak silat
adalah beragama islam.
Kesimpulan
Pencak silat di Desa Tanjung Burung
pada awalnya hanyalah bentuk pembelaan terhadap harga diri para pemudanya dari
pelecehan pemuda lain dan juga untuk melindung hasil tangkapan ikan dari curian
maling. Berawal dari fenomena yang cukup mncengangkan karena merugikan hasil
tambak masyarakat, sehingga para pemuda merasa harus turun langsung atas dasar
keikhlasan dan tanggung jawab untuk melindungi sesama masyarakat desa. Awalnya
hanya beberapa pemuda saja yang belajar seni bela diri ini. Namun lama-kelamaan pemuda tertarik untuk
ikut belajar bela diri pencak silat ini untuk membantu segelintir pemuda dalam
membela hak mereka dan harga diri mereka.
Lambat laun ini menjadi suatu
kebudayaan tersendiri yang tercipta secara tidak disengaja dan tidak disadari
oleh masyaraktnya. Pencak silat ini cukup dalam tertanam di masyarakat Desa
Tanjung Burung. Dan menjadi salah satu komuditi budaya yang dihasilkan selama
kurang lebih 20 tahun. Hampir semua desa
tetangga mengenal pencak silat melalui sang jawara tertua seperti Pak Enyon.
Ditangan pak Enyon puluhan pemuda berhasil menguasai 12 tingkatan, walau ada
juga yang gagal karena beberapa faktor diantaranya ketidak sungguhan dalam
latihan, kurangnya intensitas latihan, minimnya pengetahuan spiritual khususnya
dalam agama Islam.
Zaman telah berganti, era modernpun
menghampiri masyarakat Desa Tanjung Burung.
Berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi merasuk dalam kesaharian
masyarakat desa ini. Globalisasi yang
menggila ini tidak hanya dalam bidang yang terlihat saja namun juga yang tidak
terlihat seperti budaya. Contohnya 20 tahun lalu anak-anak kecil bermain menggunakan
fasilitas umum secara kolektif namun sekarang menggunakan teknologi canggih
secara individual. Begitupula dalam kebudayaan, masuknya bela diri karate dalam
kegiatan ekstrakulikuler sekolah banyak mempengaruhi ketertarikan anak-anak
dalam memilih seni bela diri mana yang ingin mereka kuasai.
Keberlangsungan
seni bela diri pencak silat mulai terancam dengan masuknya bela diri karate
asal Jepang dalam sekolah. Dari segi
gerakan terdapat banyak perbedaan. Dalam karate gerakannya lebih mudah diikuti
dan dipelajari tanpa ada peran spiritual, sedangkan dalam pencak silat
gerakannya lebih detail, susah dipelajari, banyak ritual-ritual yang harus
diikuti seperti berendam tengah malam di sungai dan menggunakan mental
spiritual sehingga tidak sembarang orang dapat mempelajarinya.
Serta
faktor lain yang tidak kalah penting adalah mindset para orangtua yang tidak
menginginkan anaknya belajar silat karena
dianggap bela diri yang menyeramkan atau dianggap negative. Karena
memang faktanya ilmu pencak silat ini dimanfaatkan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab untuk memperkaya diri seperti
merampok dan mencuri. Dan korbannya biasanya dilukai. Oleh sebab itu
mindset yang tertanam pada masyarakat Desa Tanjung Burung buruk mengenai
“Jawara silat” sekarang ini.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Sumber Lain:
[1] Clifford Geertz, 1992, Tafsir
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 12-18
[2] http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2010/07/30/masyarakat-pesisir/, diakses pada tanggal 24 Mei 2012
[3] Ibid
[4] Diakses melalui http://virditri.blogspot.com/2011/02/pengertian-pencak-silat.html pada 29 April 2012
[5] Diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pencak_silat
pada 29 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar