PERLU SEKOLAH YANG MEMBEBASKAN DAN MEMANUSIAKAN
Pendidikan tercermin dalam kritik yang tajam terhadap sistem
pendidikan dan dalam pendidikan. Baik kritikan maupun tawaran, keduanya lahir
dari suatu pengumpulan dalam kontek nyata sekaligus merupakan refleksi
pendidikan yang berporos pasa pemahaman tentang manusia. Dalam konteks
masyarakat yang terindas, pendidikan dilihatnya sebagai salah satu sumber
sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu. Dalam sistem pendidikan
diterapkan anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi
tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk mengumpulkan sejumlah
pengetauan. Semakin banyak isi yang dimasukan oleh gurunya dalam wadah itu maka
semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah semakin baiklah dia.
Jadi murid didik hanya mengafal seluruh apa yang dicerminkan oleh gurunya tanpa
dimengerti.
Kesadaran tumbuh dari pengumpulan atas realitas yang dihadapi dan
diharapkan akan mengasilkan suatu tingkah laku kritis dari anak didik. Dalam
kesadaran dimana seseorang hanya membutuhkan terikat pada kebutuhan jasmani,
tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas dan atau
kesadaran itu terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu (Paulo Freire 1978),
dimana masyarakatnya tertutup yang mana berada dibawah kesadaran orang lain,
dan kesadaran yang masih mengunakan sikap yang primitif dan naif yang
mengidentifikasikan diri menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat,
banyak berpolimek dan bedebat tetapi bukan dialog yang ditandai dengan
kedalaman manafsirkan masalah percaya diri. Perlunya pendidikan yang
membebaskan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif sehingga dalam proses
belajar guru dan anak bersama-sama sebagai subyek dalan memecahkan permasalaha,
yaitu: guru bertindak dan berfungsi sebagai kordinator yang memperlancar
percakapan dialogis .
Dalam kontek pendidikan dimana dalam kurun waktu 67 tahun terahir,
dunia pendidika Indonesia telah melahirkan sembilan kurikulum, dalam kurun
waktu 7,5 tahun sekali kurikulum diganti dan dsesuaikan dengan keadaan yang
saat itu terjadi, sehingga filsuf dan ahli pendidikan mengidentifikasikan dua
tipe guru, yaitu yang kebetulan menjadi guru dimana meraka tidak dilandasi
pendidikan atau persiapan menjadi guru, dan guru yang sungguh-sungguh adalah
yang mengandalkan adanya landasan motivasi yang kokoh dimana profesi ini bukan
sekedar pekerjaan tetapi panggilan hidup. Sehingga perubahan kurikulum harus
disertain dengan persiapan perangkat-perangkat lain, salah satunya adalah guru
yang kompeten. Sekarang ini pendidikan seolah-olah justru membuat anak didik
beranjak dari kehidupan dan bahkan menjadi objek bentukan dan bukan subyek
pembelajaran yang sesuai dengan basis kecerdasan mereka.
Hal ini pengertian kurikulum adalah seluruh pengalaman yang
direncanakan yang akan dialami oleh siswa dalam seluruh proses pendidikan
disekolah sehingga tujuan pendidikan tercapai, sehingga kurikulum berlaku sebagai
sarana yang utama adalah visi sehingga pendidikan pun tidak lagi persoalan
kebuadayan tetapi mengikut sertakan politik, ekonomi dan kebudayaan sudah
menjadi diduakan. Sehingga ranah pendidikan sudah terporos pada bagaimana lulus
ujian nasional yang dibuat oleh pemerintah adakan. Degan demikian anak didik
dipaksa menjadi dewasa dengan hasil karbitan yang tidak melihat penyesuaian
peserta didik dan kecerdasan individu. Dari tahun ketahun kritik kurikulum
nasional nampaknya hanya demi kepentingan kekuasaan, akibatnya dari itu adanya
landasan mengenai subtansi pendidikan berubah dan pembentukan kebudayaan baru,
sehingga mampu mengembalikan situasi pendidikan yang humanis yang menempatkan
anak didik.
Mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu
yang jelas dan mantap berdasarkan kebutuhan dan kurikulum yang memiliki peran
sentral dan dunia pendidikan telah mengalami perubahan yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, sosial budaya, ekoonomi, dan iptek dan masyarakat
berbangsa dan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan perubahan yang terjadi
dimasyarakat.
Sejarah singakta perembangan
kurikulum dari tahun ketahun yang dimulai dari tahun 1947 (leer Plan-Rencana
Pembelaran),
lebih bersifat politis dimana terdapat
perubahan orientasi pendidikan Belanda kepentingan nasional dan mulai digunakan
tahun 1950-an, dimana bentuknya ada dua hal pokok yaitu daftar mata pelajaran
dan jam pelajarannya plus garis-garis besar pengaran pembelajaran terurai dimana kurikulum ini lebih merinci
setiap mata pelajaran degan merinci silabus setiap mata pelajaaran. Tahun
1964, bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyatnya mendapat pengetahuan
akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan
pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu perkembangan moral,
kecerdasan emosional/artistik, kepribadian dan jasmani. Tahun 1968-Perubahan
kurikulum dilakukan menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus dan merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 945 secara murni dan konsekuen. Tahun
1975, menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efisien dan efektif dan
metode materi dan tujuan pengajaran dirinci dan prosdur pengembangan sistem
intruksional, dan dikenalkan rencana satuan pelajaran setiap satuan bahasan dan
setiap rinsi petunjuk umum dan tujuan intruksional evaluasi. Tahun 1984, proses
skill approach yang mengutamakan pendekatan proses, kurikulum yang menempatan
siswa sebagai subjek belajar dan mengamati sesuatu, pengelompokkan,
mendiskusikan, disebut Cara belajar Siswa Aktip (CBSA) atau Student Active
Leaming (SAL).
Tahun 1994
dan 1999-kurikulum lebih pada upaya memandukan kurikulum sebelumnya yaitu
mengkombinasikan antara kurikulum 1975 yang berorentasi tujuan pendekatan
proses yang dimiliki kurikulum 1984. Tahun 2005 dimana kurikulum ini berbasis
kompetensi (KBK) dan cenderung sentralisme pendidikan dan kurikulum disusun oleh pusat secara
rinci, hanya melaksanakan hanya baru menguji coba KBK disejumlah sekolah banyak
komentar kurang puas, maka sebagian pakar pendidikan menganggap bahwa tahu 2004
tidak terjadi perubahan kurikulum yang ada adalah uji coba kurikulum disebagian
sebagian sekolah yang dusebut dengan KBK untuk kemudian disempurnakan pada
tahun 2006 dan ditahun ini muncullah kurikulum tingkat satuan pendidika,
tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pembelajaran
oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan kurikulum
2004 dimana yang paling menonjol adalag pembelajaran sesuai dengan lingkungan
dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka
dasar, standar , kompetensi lulusan, standar komppetensi dan kompetensi dasar
setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telahb tetap ditetapkan
oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Jadi seperti perangkat pembelajaran,
seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan sekolah dibawah koordinasi dan supervisi
pemerintah kabupaten/kota.
Sesungguhnya
belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis,
sistematik dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan pratek
langsung. Sikap kritis manusia tidak hanya didapat dari pendidikan, tetapi
pendidikan harus mengasilkan semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita
sehingga akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teks itu sendiri. Peerubahan
kurikulum secara tidak langsung adalah manisfestasi dari hasil perubahan ide
kearah materi dan segala sesuatunya secara objektif diluar ide atau di luar ide
hingga ditangkap oleh pancaindera manusia yang kemudian dapat melahirkan ide
(pemikiran). Segala sesuatu yang mempunyai susunan atau yang tersusun secara
organis mencangkup pengertian materi menurut kebutuhan dan perkembangan manusia
(Karl Marx, Materi dan Ide). Sehingga kebutuhan yang mendasar perubahan dari
struktrur manusia adalah individu yang nyata, yang dapat dilihat dari kerja
atau kondisi riil kehidupan mereka. Bila melihat perubahan dari tahun ketahun
perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia adalah perubahan yang sangat
tidak relefan hingga menduakan kebudayaan dan mengutamakan kepentingan
kekuasaan yang ada, sehingga setiap inci pendidikan tetap saja tidak berujud
pada tingkat memanusiakan dan tidak berporos pada subtansi yang awal akan
dituju sehingga kebutuhan anak didik menjadi diduakan dan terlepas dari konteks
yang menjadi landasan pendidkan.
Seharusnya
pemerintah membuat perencanakan kurikulum yang bisa membebasakan dan tidak lagi
terikat oleh tingkat kepentigan lain, intinya setiap pendidian yang ada akan
lebih terorganisir dengan kebutuhan si anak didik sehingga mereka dapat
berkreasi dengan kemampuan yang mereka dapat dan bukan untuk mengejar lulus
dalam ujian nasiolan dan kerta ijasah saja bahwa paksaan dari orang tua yang
membelenggu. Dengan kata lain manusia mempunyai hubungan dengan alam dan
masyarakat sosial dan merupakan bagian dari alam dan sosial, manusia mempunyai
hubungan dengan alam dan waktu memperoleh keterampilan pengetahuan sehingga
individu manusia dan organisasi yang ingin hidup, tumbuh berkembang dengan baik
harus memiliki faktor interen yang baik sehingga metode kerja dan tindakan
untuk mencapai tujuan (Kark Marx, Dimensi Manusia dan Organisasi).
Hal yang harus dipahami adalah bersenyawanya antara dunia pendidikan dan
kapitalisme. Apalagi hali ini terjadi tentunya pendidikan akan berubah menjadi
semacam komoditas yang diperdagangkan dimana sekolah menjadi wahananya.
Seolah-olah sekolah adalah penjara bahkan dalam beberapa hal sekolah kerap
muncul dengan berbagai pungutan memaksa yang kerao mebelit dan memberatkan
peserta didik. Bahkan sekolah, peserta didik diwajibkan membeli buku karangan
sang pendidik. Selain itu juga sekolah selama ini dapat dikatakan sebagai
sebuah penjara karena kerap memenjarakan berbagai bakat terpendam dari peserta
didik tetap menggunakan metode konvensional dan pengajaranya. Melihat kenyataan
ini, sesungguhnya kita dapat mengambil pelajaran, sekolah itu menggunakan
pendekatan humanisasi yanng begitu mendalam kepada peserta sekolah. Sekolah
menggunaan pendekatan humanisasi yang begitu mendalam kepada peserta didiknya
sehingga bersekolah merupakan suatu proses yang menyengkan dan menggunakan
sebagian mengunakan metode yang keluar dari tradisi umum dengan sebuah harapan
tercerahkannya para peserta didik memalui sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar