Jumat, 18 Januari 2013

PERLU SEKOLAH YANG MEMBEBASKAN DAN MEMANUSIAKAN

PERLU SEKOLAH YANG MEMBEBASKAN DAN MEMANUSIAKAN



Pendidikan tercermin dalam kritik yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan. Baik kritikan maupun tawaran, keduanya lahir dari suatu pengumpulan dalam kontek nyata sekaligus merupakan refleksi pendidikan yang berporos pasa pemahaman tentang manusia. Dalam konteks masyarakat yang terindas, pendidikan dilihatnya sebagai salah satu sumber sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu. Dalam sistem pendidikan diterapkan anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk mengumpulkan sejumlah pengetauan. Semakin banyak isi yang dimasukan oleh gurunya dalam wadah itu maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah semakin baiklah dia. Jadi murid didik hanya mengafal seluruh apa yang dicerminkan oleh gurunya tanpa dimengerti.
Kesadaran tumbuh dari pengumpulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan mengasilkan suatu tingkah laku kritis dari anak didik. Dalam kesadaran dimana seseorang hanya membutuhkan terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas dan atau kesadaran itu terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu (Paulo Freire 1978), dimana masyarakatnya tertutup yang mana berada dibawah kesadaran orang lain, dan kesadaran yang masih mengunakan sikap yang primitif dan naif yang mengidentifikasikan diri menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolimek dan bedebat tetapi bukan dialog yang ditandai dengan kedalaman manafsirkan masalah percaya diri. Perlunya pendidikan yang membebaskan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif sehingga dalam proses belajar guru dan anak bersama-sama sebagai subyek dalan memecahkan permasalaha, yaitu: guru bertindak dan berfungsi sebagai kordinator yang memperlancar percakapan dialogis .
Dalam kontek pendidikan dimana dalam kurun waktu 67 tahun terahir, dunia pendidika Indonesia telah melahirkan sembilan kurikulum, dalam kurun waktu 7,5 tahun sekali kurikulum diganti dan dsesuaikan dengan keadaan yang saat itu terjadi, sehingga filsuf dan ahli pendidikan mengidentifikasikan dua tipe guru, yaitu yang kebetulan menjadi guru dimana meraka tidak dilandasi pendidikan atau persiapan menjadi guru, dan guru yang sungguh-sungguh adalah yang mengandalkan adanya landasan motivasi yang kokoh dimana profesi ini bukan sekedar pekerjaan tetapi panggilan hidup. Sehingga perubahan kurikulum harus disertain dengan persiapan perangkat-perangkat lain, salah satunya adalah guru yang kompeten. Sekarang ini pendidikan seolah-olah justru membuat anak didik beranjak dari kehidupan dan bahkan menjadi objek bentukan dan bukan subyek pembelajaran yang sesuai dengan basis kecerdasan mereka.
Hal ini pengertian kurikulum adalah seluruh pengalaman yang direncanakan yang akan dialami oleh siswa dalam seluruh proses pendidikan disekolah sehingga tujuan pendidikan tercapai, sehingga kurikulum berlaku sebagai sarana yang utama adalah visi sehingga pendidikan pun tidak lagi persoalan kebuadayan tetapi mengikut sertakan politik, ekonomi dan kebudayaan sudah menjadi diduakan. Sehingga ranah pendidikan sudah terporos pada bagaimana lulus ujian nasional yang dibuat oleh pemerintah adakan. Degan demikian anak didik dipaksa menjadi dewasa dengan hasil karbitan yang tidak melihat penyesuaian peserta didik dan kecerdasan individu. Dari tahun ketahun kritik kurikulum nasional nampaknya hanya demi kepentingan kekuasaan, akibatnya dari itu adanya landasan mengenai subtansi pendidikan berubah dan pembentukan kebudayaan baru, sehingga mampu mengembalikan situasi pendidikan yang humanis yang menempatkan anak didik.
Mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap berdasarkan kebutuhan dan kurikulum yang memiliki peran sentral dan dunia pendidikan telah mengalami perubahan yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekoonomi, dan iptek dan masyarakat berbangsa dan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan perubahan yang terjadi dimasyarakat.
Sejarah singakta perembangan kurikulum dari tahun ketahun yang dimulai dari tahun 1947 (leer Plan-Rencana Pembelaran), lebih bersifat politis dimana terdapat perubahan orientasi pendidikan Belanda kepentingan nasional dan mulai digunakan tahun 1950-an, dimana bentuknya ada dua hal pokok yaitu daftar mata pelajaran dan jam pelajarannya plus garis-garis besar pengaran pembelajaran terurai dimana kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran degan merinci silabus setiap mata pelajaaran. Tahun 1964, bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyatnya mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu perkembangan moral, kecerdasan emosional/artistik, kepribadian dan jasmani. Tahun 1968-Perubahan kurikulum dilakukan menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus dan merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 945 secara murni dan konsekuen. Tahun 1975, menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efisien dan efektif dan metode materi dan tujuan pengajaran dirinci dan prosdur pengembangan sistem intruksional, dan dikenalkan rencana satuan pelajaran setiap satuan bahasan dan setiap rinsi petunjuk umum dan tujuan intruksional evaluasi. Tahun 1984, proses skill approach yang mengutamakan pendekatan proses, kurikulum yang menempatan siswa sebagai subjek belajar dan mengamati sesuatu, pengelompokkan, mendiskusikan, disebut Cara belajar Siswa Aktip (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tahun 1994 dan 1999-kurikulum lebih pada upaya memandukan kurikulum sebelumnya yaitu mengkombinasikan antara kurikulum 1975 yang berorentasi tujuan pendekatan proses yang dimiliki kurikulum 1984. Tahun 2005 dimana kurikulum ini berbasis kompetensi (KBK) dan cenderung sentralisme pendidikan  dan kurikulum disusun oleh pusat secara rinci, hanya melaksanakan hanya baru menguji coba KBK disejumlah sekolah banyak komentar kurang puas, maka sebagian pakar pendidikan menganggap bahwa tahu 2004 tidak terjadi perubahan kurikulum yang ada adalah uji coba kurikulum disebagian sebagian sekolah yang dusebut dengan KBK untuk kemudian disempurnakan pada tahun 2006 dan ditahun ini muncullah kurikulum tingkat satuan pendidika, tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pembelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan kurikulum 2004 dimana yang paling menonjol adalag pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka dasar, standar , kompetensi lulusan, standar komppetensi dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telahb tetap ditetapkan oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Jadi seperti perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan sekolah dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah kabupaten/kota.
Sesungguhnya belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritis, sistematik dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan pratek langsung. Sikap kritis manusia tidak hanya didapat dari pendidikan, tetapi pendidikan harus mengasilkan semangat, keingintahuan, dan kreativitas kita sehingga akan menjadi kritik yang mendasar terhadap teks itu sendiri. Peerubahan kurikulum secara tidak langsung adalah manisfestasi dari hasil perubahan ide kearah materi dan segala sesuatunya secara objektif diluar ide atau di luar ide hingga ditangkap oleh pancaindera manusia yang kemudian dapat melahirkan ide (pemikiran). Segala sesuatu yang mempunyai susunan atau yang tersusun secara organis mencangkup pengertian materi menurut kebutuhan dan perkembangan manusia (Karl Marx, Materi dan Ide). Sehingga kebutuhan yang mendasar perubahan dari struktrur manusia adalah individu yang nyata, yang dapat dilihat dari kerja atau kondisi riil kehidupan mereka. Bila melihat perubahan dari tahun ketahun perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia adalah perubahan yang sangat tidak relefan hingga menduakan kebudayaan dan mengutamakan kepentingan kekuasaan yang ada, sehingga setiap inci pendidikan tetap saja tidak berujud pada tingkat memanusiakan dan tidak berporos pada subtansi yang awal akan dituju sehingga kebutuhan anak didik menjadi diduakan dan terlepas dari konteks yang menjadi landasan pendidkan.
Seharusnya pemerintah membuat perencanakan kurikulum yang bisa membebasakan dan tidak lagi terikat oleh tingkat kepentigan lain, intinya setiap pendidian yang ada akan lebih terorganisir dengan kebutuhan si anak didik sehingga mereka dapat berkreasi dengan kemampuan yang mereka dapat dan bukan untuk mengejar lulus dalam ujian nasiolan dan kerta ijasah saja bahwa paksaan dari orang tua yang membelenggu. Dengan kata lain manusia mempunyai hubungan dengan alam dan masyarakat sosial dan merupakan bagian dari alam dan sosial, manusia mempunyai hubungan dengan alam dan waktu memperoleh keterampilan pengetahuan sehingga individu manusia dan organisasi yang ingin hidup, tumbuh berkembang dengan baik harus memiliki faktor interen yang baik sehingga metode kerja dan tindakan untuk mencapai tujuan (Kark Marx, Dimensi Manusia dan Organisasi).
Hal yang harus dipahami adalah bersenyawanya antara dunia pendidikan dan kapitalisme. Apalagi hali ini terjadi tentunya pendidikan akan berubah menjadi semacam komoditas yang diperdagangkan dimana sekolah menjadi wahananya. Seolah-olah sekolah adalah penjara bahkan dalam beberapa hal sekolah kerap muncul dengan berbagai pungutan memaksa yang kerao mebelit dan memberatkan peserta didik. Bahkan sekolah, peserta didik diwajibkan membeli buku karangan sang pendidik. Selain itu juga sekolah selama ini dapat dikatakan sebagai sebuah penjara karena kerap memenjarakan berbagai bakat terpendam dari peserta didik tetap menggunakan metode konvensional dan pengajaranya. Melihat kenyataan ini, sesungguhnya kita dapat mengambil pelajaran, sekolah itu menggunakan pendekatan humanisasi yanng begitu mendalam kepada peserta sekolah. Sekolah menggunaan pendekatan humanisasi yang begitu mendalam kepada peserta didiknya sehingga bersekolah merupakan suatu proses yang menyengkan dan menggunakan sebagian mengunakan metode yang keluar dari tradisi umum dengan sebuah harapan tercerahkannya para peserta didik memalui sekolah.
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar