Jumat, 18 Januari 2013

Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang)


TRADISI HAJATAN: SEJARAH, POLA DAN SIKLUS KEMISKINAN PADA MASYARAKAT PESISIR
 (Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang)
Peper ini dibuat untuk memenuhi tugas Sosiologi Pedesaan
 

disusun oleh :
         
            Abror Wiguna             
                             Diana Chairunisha                               
                     Riska Cahya Wulandari                      
                             Rizka Putri Natalia                              
                       Yan Tri Anggoro Putro                       

Sosiologi
Fakultaas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2012



TRADISI HAJATAN: SEJARAH, POLA DAN SIKLUS KEMISKINAN PADA MASYARAKAT PESISIR
 (Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang)

Abstrak:
Tulisan ini bertolak pada penelitian penulis tentang tradisi hajatan pada masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang. Sejarah awal tradisi hajantan merupakan turun temurun dari nenek moyang dan tidak ada yang tahu pasti kapan awal mula hajatan ini dilaksanakan. Tradisi hajatan yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain dan masih dilaksanakan hingga saat ini merupakan kekhasan tersendiri untuk wilyah ini. Walau sudah terjadi pergeseran pola tradisi hajatan di sini, namun tradisi hajatan ini masih dilaksanakan hingga penulisan laporan penelitian ini di lakukan. Perubahan pola dan siklus hajatan yang terjadi akan dibahas dalam laporan ini serta kaitan antara tradisi hajatan dengan kemiskinan masyarakat pesisir akan diulas di sini.
Pengantar
Tulisan ini mendeskripsikan kebudayaan yang masih berlangsung di Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang Banten. Kebudayaan yang amsih berlangsung ialah tradisi hajatan. Sepintas tidak ada yang berbeda antara tradisi hajatan di desa ini dengan desa lainnya, namun jika kita analisis lebih mendalam terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas dari masyarakat ini. Letak perbedaan terlihat pada proses plaksanaan hajatannya, di mana terdapat grup-grup kondangan dalam masyarakat. Grup-grup inilah yang menjadi kekhasan dalam kebudayaan masyarakat pesisir Tanjung Burung.
Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia.[1] Manusia dan kebudayaan sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk dipisahkan. Kebudayaan juga bisa menjadi identitas bagi suatu individu maupun masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kebudayaanya masing-masing. Kluckhohn mendefinisikan kebudayaan sebagai: (1) keseluruhan cara hidup masyarakat; (2) warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya; (3) suatu cara berpikir, merasa dan percaya; (4) suatu abstraksi dari tingkah laku; (5) suatu teori dari pihak antropolog tentang cara suatu keompok masyarakat nyatanya ertingkah laku; (6) suatu “gudang untuk mengumpulkan hasil belajar”; (7) seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang sedang berlangsung; (8) tingkah-laku yang dipelajari; (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah –laku yang bersifat normatif; (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik untuk lingkungan luar  maupun dengan orang-orang lain; (11) suatu endapan sejarah; dan mungkin dengan rasa putus-asa, beralih ke khiasan-khiasan, sebagai sebuah peta, sebuah penyaring dan sebuah matriks.[2]
Tanpa kita sadari kebudayaan sudah lahir sejak zaman nenek moyang. Salah satu kebudayaan masyarakat yang masih berlangsung sampai sekarang adalah budaya Kondangan atau dapat dikatakan pula tradisi hajatan. Tradisi hajatan adalah kebudayaan yang berlangsung secara turun-temurun bagi masyarakat di desa Tanjung Burung, Tangerang. Jika melihat dari definisi kebudayaan menurut Kluckhohn tradisi hajatan ini mengacu pada point nomer 2 yakni warisan sosial yang diperoleh individu melalui kelompoknya. Artinya, tradisi hajatan ini sudah lebih dulu hadir ditengah-tengan masyarakat saat ini yang merupakan warisan budaya dari nenk moyang terdahulu dan masih berlangsung sampai saat ini.
Dewasa ini, sangat sulit menemukan kebudayaan atau tradisi yang masih terjaga di Indonesia. Walau kebudayaan yang ada sekarang sudah tidak “asli” lagi, namun tradisi hajatan ini masih tetap dilaksanakan. Dengan masih terlaksananya kebudayaan tradisional di daerah ini membuktikan bahwa faktor eksternal tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kemajuan teknologi yang pesat pun tidak membuat perubahan yang signifikan dalam tradisi ini. Namun jika kita analisis lebih mendalam lagi, tradisi hajatan pada saat ini sudah mengalami pergeseran pola.
Pergeseran pola dirasakan karena adanya dominasi pendatang. Masyarakat desa Tanjung Burung tidak sepenuhnya merupakan penduduk asli desa tersebut. Beberapa dari mereka merupakan penduduk sekitar desa Tanjung Burung yang menetap di sini karena mengikuti suami/istrinya yang merupakan penduduk asli desa ini. Disamping karena adanya dominasi pendatang, pergeseran pola tradisi hajatan juga disebabkan oleh struktur sosial masyarakat saat ini. terdapat beberapa indikator yang berubah dari tradisi hajatan ketika awal mula sampai dengan prosesnya pada saat ini.
Dengan masih adanya kebudayaan kondangan di desa ini, menunjukkan bahwa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Tanjung Burung bersifat evolusioner. Yakni sedikit perubahan yang terjadi dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Perubahan terjadi dari segi pola pelaksanaan hajatan. Hajatan tidak lagi dilaksanakan sesuai ketentuan awal, kini pelaksanaanya sudah tidak seperti dulu. Namun, dengan kesepakatan bersama hajatan ini dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu saja dan terdapat batasan untuk melaksanakannya.
Disamping pola pelaksanaan hajatan, di desa ini memiliki keunikan lain yakni dengan adanya “grup kondangan”. Di desa ini tidak hanya arisan saja yang membuat grup, kondangan juga tidak mau kalah saing. Grup-grup inilah yang menjadi kekhasan dari tradisi hajatan di desa ini. Dengan adanya grup kondangan ini, hajatan yang dilaksanakan akan terasa lebih meriah, karena yang hadir bukan hanya dari tetangga sekitar, namun satu kecamatan pun dapat menghadiri acara tersebut. Disamping itu, grup kondangan dapat menunjukkan status sosial kita dalam masyarakat yakni dengan pemberian yang kita berikan kepada yang memiliki hajat.
Ada beberapa poin yang akan ditelaah lebih mendalam pada tulisan ini. Pertama, menjelaskan sejarah awal dari tradisi hajatan yang terjadi di desa ini. Kedua, faktor yang mempengaruhi pola tradisi hajatan yang terjadi saat ini dan pelaksanaanya. Ketiga, menjelaskan siklus kemiskinan yang terjadi dalam pola tradisi hajatan. Tulisan ini dibuat dengan metode kualitatif, yakni bedasarkan studi historis, observasi dan wawancara warga masyarakat Desa Tanjung Burung, Tanggrang. Metode deskriptif juga digunakan dalam penyajian tulisan ini, supaya perubahan yang terjadi dapat terlihat dengan jelas.
 
Sejarah Tanjung Burung Tanggerang
1.      letak geografis
Secara geografis Tanjung Pasir berada di sebelah pantai Utara Tangerang, Kecamatan Teluk Naga. Lokasi Tanjung Pasir berhadapan langsung dengan Pulau Untung Jawa dan Pulau Rambut. Lokasi ini secara administrative berdekatan dengan  Kepulauan Seribu. akses untuk menuju Kepulauan seribu sangat mudah kerena pulau ini sering dijadikan sebagai tempat penyebrangan dengan menggunakan alat transportasi tradisional yaitu perahu layar. Akses menuju wilayah ini relatif mudah hal ini dikarenakan jarak tempuh menuju Tanjung Pasir dari Kota Tangerang hanya berkisar ± 29 km dan dari Bandara Soekarno-Hatta ± 25 km.

2.      Keadaan Masyarakat
Keadaan masyarakat di Tanjung Pasir identik dengan masyarakat pesisir, hal ini berhubungan dengan letak geografis yang bedekatan langsung denga pantai. hampir sebagaian masyarakat di Tanjung Pasir bermatapencaharian sebagai nelayan. masyarakat asli di daerah ini umumnya menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Tangerang. Mereka tidak asing dengan orang di luar kelompoknya karena banyak orang yang pernah mengunjungi daerah ini. Mereka mudah menerima kehadiran atau kunjungan pendatang kerena akan membawa rejeki untuk mereka.
Keadaan Pantai Tanjung Pasir yang berdekatan langsung dengan Kepulauan seribu sering dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai arena berwisata seperti berenang, mandi, berjemur di tepi pantai, jalan-jalan dan menikmati keindahan alam dengan menghirup udara laut yang segar. Sayangnya sanitasi air laut kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat sehingga air tidak begitu jernih karena kurangnya pengawasan dan pemeliharaan terhadap sampah-sampah.

Unsur-unsur Kebudayaan[3]

Setiap kebudayaan memiliki tujuh unsur dasar, yaitu kepercayaan, nilai, norma dan sanksi, simbol, teknologi, bahasa dan kesenian.
·         Kepercayaan
Kepercayaan ini bisa berupa pandangan-pandangna atau interpretasi tentang masa lampau, bisa brupan penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan commpn sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu negara, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara suatu hal tersebut.

·         Nilai
Nilai menjelaskan apa yang seharusnyan terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang harus dimiliki, yang diinginkan, dan layak dihormati. Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang paling berharga. Nilai juga yang menentukan susanan kehidupan kebudayaan masyarakat.


·         Norma dan Sanksi
Norma adalah suatu aturan khusus, atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berprilaku atau bertindak. Norma merupakan standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia.

·         Teknologi
Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk membangun kebudayaan materilnya. Dengan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan fisik, sosial, dan psikologi yang khas.

·         Simbol
Simbola adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memeberikan makna. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna cultural dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan instrumentasl. Simbol bisa berupa barang sehari-hari, barang berguna yang sudah memperoleh arti khusus.

·         Bahasa
Bahasa adalah gudang kebudayaan. Bahsa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan, mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti kepada generasi baru.


·         Kesenian
Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik. Itu tidak berarti bahwa semua bentuk seni dikembangkan dalam setiap kebudayaan. Melalui karya seni, seperti seni sastra, music, tari, lukis dan drama, manusia mengkspresikan ide-ide, nilai-nilai, cita-cita, serta perasaaanya.


Sejarah Tradisi Hajatan
Kebudayaan pernah didefinisikan sebagai a design for living, suatu desain kehidupan (Kluckhohn, 1949) dan sebagai a set of control mechanisms, seperangkat mekanisme kontrol rencana, resep-resep, peraturan, konstruksi, apa yang oleh para ahli komputer disebut program untuk mengatur perilaku (Geertz, 1973).[4] Awal mula budaya hajatan itu sendiri tidak dapat dipastikan kapan atau bagaimana proses terbentuknya. Tradisi hajatan merupakan warisan budaya sosial kepada individu dari kelompoknya. Budaya itu sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara terus menerus. Budaya ini menjadi tempat berkumpul bagi masyarakat sekitar walaupun mereka tidak saling mengenal. Tradisi yang terus menerus dijalankan oleh masyarakat adalah sebuah upaya yang dilakukan agar budaya yang ada dilingkungan tersebut tidak hilang begitu saja.
                                                                 
Tradisi hajatan di desa Tanjung Burung dilakukan sebagai moment untuk bersilahturahmi kepada para warga. Warga yang mengadakan hajatan akan dibantu oleh warga lainnya baik dalam hal materi maupun tenaga. Seiring perkembangan zaman barang yang dijadikan sebagai sumbangan oleh para warga pun sedikit mengalami perubahan. Jika pada zaman dahulu warga menyumbang dengan memberikan hasil tani mereka, maka pada zaman sekarang warga menyumbangkan sembako dan uang. Hal ini dimaksudkan agar meringankan warga yang mengadakan hajatan.

Setiap kebudayaan memiliki unsur-unsur tersendiri yang menjadikan ciri khas dari kebudayaan tersebut. Tidak terkecuali pada tradisi kondangan. dalam tradisi kondangan, unsur-unsur yang terkandung ialah kepercayaan, nilai, norma dan sanksi. Awal mula tradisi ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang didapatkannya. Seiring perkembangan zaman, tradisi hajatan tidak dipersembahkan sebagai rasa syukur atas hasil panen saja tetapi disertai dengan acara nikahan atau khitanan.
Pola Kebudayaan Hajatan
Menurut Horton dan Hunt masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat tersebut.[5] Ralph Linton, seorang ahli anthropologi yang terkemuka, mengemukakan bahwa kebudayaan secara umum diartikan sebagai way of life suatu masyarakat (Linton, 1936). Way of life dalam pengertian ini tidak sekedar berkaitan dengan bagaimana cara orang untuk bisa hidup secara biologis, melainkan jauh lebih luas dari itu. Dijabarkan secara lebih rinci, way of life mencakup way of thingking (cara berpikir, bercipta), way of feeling (cara berasa, mengekspresikan rasa) dan way of doing (cara berbuat,berkarya). Tradisi hajatan yang ada di desa Tanjung Burung dimaksudkan dengan bagaimana masyarakat di desa Tanjung Burung berpikir untuk sama-sama membantu warga yang sedang ingin melaksanakan acara tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antara warga yang mampu dan yang tidak mampu maka disepakatilah sumbangan yang akan diberikan kepada si pemilik hajatan. Dengan adanya kesepakatan yang disepakati oleh semua warga tadi maka hal tersebut direalisasikan ke dalam masyarakat.
Tradisi hajatan di desa ini masih terus berangsung dari dulu hingga sekarang. Meskipun dalam pelaksanaanya telah mengalami beberapa pergeseran pola namun, keberadaanya masih dapat dirasakan ditengah-tengah masyarakat. Pelaksanaan hajatan yang semula hanya diadakan ketika musim panen saja kini sudah tidak berlaku. Namun, pihak elit desa setempat menyepakati bahwa pelaksanaan hajatan hanya boleh dilakukan sampai bulan ruwah saja dan tidak boleh melebihi bulan tersebut. Hal ini dimaksugkan agar menyambut bulan puasa tidak ada yang melaksanakan hajatan dan lebih fokus untuk beribadah.
Hajatan di desa Tanjung Burung memiliki sistem dan pola yang sedikit berbeda dengan hajatan pada umumnya. Pertama, proses penyebaran undangan yang diberikan kepada mayarakat.  Kedua, kita dapat lihat dari segi kedatangaan, waktu kedatangan dan dengan apa dan siapa mereka datang ke hajatan tersebut. Ketiga, ialah sistem pemberian “sumbangan” kepada yang memiliki hajatan. Keempat, keberadaan grup-grup kondangan dalam masyarakat Tanjung Burung.
Pola pertama yakni dari segi undangan. Terdapat dua sistem pembagian undangan yang diterapkan. Pertama undangan diberikan langsung kepada tiap-tiap individu dan yang kedua diberikan kepada ketua kelompok. Apabila warga yang mengadakan hajatan berasal dari desa yang sama, biasanya mereka mengundang dengan memberikan undangan kepada warga-warga di desa. Namun apabila yang mengadakan hajatan berasal dari luar desa, maka hanya orang-orang tertentu saja yang diberikan undangan seperti halnya undangan kertas dan bagi warga desa akan diberikan undangan berupa (sirih), yaitu sebagai tanda undangan kepada seluruh warga desa. Biasanya (sirih) diberikan ke warga yang bisa mewakili untuk menerima undangan (sirih) dan kemudian warga tersebut akan menyampaikan undangan secara (sambat) yaitu dari mulut ke mulut.
Setelah pemberian undangan kepada masyarakat, tahap selanjutnya ialah mekanisme kedatangan. Sesuai dengan undangan yang tertera, jika individu tersebut diundang secara mandiri maka dia akan datang secara individual. Sedangkan untuk mereka yang memiliki grup, mereka cendrung datang berkelompok. Untuk hajatan yang berada di luar desa biasanya warga menggunakan mobil bak bahkan engkel untuk membawa warga ke tempat hajatan, namun apabila hajatannya masih di dalam desa biasanya mereka pergi dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor secara konvoi. Hajatan di desa Tanjung Burung bisa berlangsung selama 3 hari sampai seminggu tergantung si pelaksana hajatan.
Waktu kondangan pun biasanya dibedakan antara kaum perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan biasa kondangan diwaktu pagi sampai sore, sedangkan yang laki-laki biasanya pergi kondangan di waktu malam hari karena sepulang mereka bekerja. Laki-laki pun pergi kondangan dengan cara berkelompok dan dikoordinasi oleh ketua juga. Dengan adanya tradisi adat dan budaya yang sudah mencerminkan rasa persatuan dan kesatuan ini diharapkan bisa memberikan contoh atau warisan kepada generasi mendatang sehingga menciptakan dan melestarikan adat budaya yang selama ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat sebelumnya.
Disamping adanya udangan dan sistem kedatangan yang berbeda, salah satu perbedaan lainnya ialah dalam segi pemberian “sumbangan”. Awalnya, “sumbangan” ini dimaksudkan untuk membantu meringankan beban tetangga mereka namun, lamabat laun tidak hanya bermaksud memberikan bantuan tetapi terdapat motiv lainnya. Ada dua fase dalam pemberian “sumbangan” hajatan di desa ini, yaitu fase pertama ketika tiga hari sebelum acara utama hajatan dilaksanakan, biasanya warga datang membawa barang sembako seperti beras, kacang dll. Biasanya warga membawa bawaan beras sebanyak 5-10 liter beras per orang maupun bawaan lainnya sesuai takaran masing-masing. Fase kedua yaitu ketika acara utama hajatan mereka datang dan memberikan bawaan berupa amplop yang biasanya berisi Rp50.000-Rp200.000 per amplop. Bagaimana cara memberikan (amplop) jika datangnya secara berkelompok? Biasanya ketua kelompok akan menarik (mengumpulkan) amplop anggota kelompoknya secara kolektif dan dipegang oleh satu orang saja untuk diberikan kepada pelaksana hajatan.
Menurut salah satu tokoh masyarakat di desa Tajung Burung, Bapak Sarnubi, sumbangan ini bertujuan agar dapat sedikit meringankan beban bagi mereka yang melaksakan hajatan. Jadi dengan kata lain dalam hal menyumbang dilakukan atas dasar kepedulian sesama, khususnya sesama warga desa yang mayoritas masih saling memiliki ikatan keluarga antarwarga. Sedangkan cara datang secara berkelompok hal ini dimaksudkan agar terjalin silaturahmi sesama warga serta menurutnya, selain itu juga dilakukan untuk menjaga tradisi yang sudah diturunkan sejak nenek moyang mereka.
Hal yang menjadi ciri khas dari masyarakat desa Tanjung Burung ialah adanya grup-grup kondangan. Di desa ini apabila ada warga yang melaksanakan hajatan, maka warga yang diundang biasanya akan datang secara berkelompok (grup). Satu kelompok biasanya terdiri dari 10-15 orang dan dikordinasi oleh salah satu warga yang ditunjuk sebagai ketua kelompok. Grup yang ada di kampung tanjung burung ini berjumlah antara 23-24 grup, tapi saat ini yang aktif atau yang masih menjalankan grup-grup ini sudah mulai berkurang jumlahnya. Budaya grup disini adalah dimana orang-orang yang memiliki keuangan yang cukup yang dapat ikut serta didalam grup ini, karena grup ini mengharuskan para pesertanya untuk selalu ikut memberikan uang mereka atau menyumbangkannya dalam setiap acara hajatan. Di grup ini sudah ditentukan pembagian setiap orang itu beberapa, seandainya ada yang tidak bisa membayar terpaksa ketua grup untuk membantu membayarkan tapi terkada jika ditagih uangnya mereka selalu berkilah. Tak jarang dengan seringnya ketua grup membantu, ketua grup itu sendiri menjadi rugi. 
Ada kalanya orang yang sudah melakukan hajatan itu malah tidak mau ikut grup lagi dikarenakan sudah mendapat untung dari uang yang didapat dari para undangan, baik itu dari grup maupun dari perorangan. Karena dengan mereka tidak lagi ikut didalam grup akan membuat malu namanya didalam grup tersebut juga membuat malu nama grup dimata orang yang mengundang. Di dalam grup ini juga terdapat pembukuan yang jelas mengenai siapa saja yang ikut didalam grup, siapa yang sudah membayar serta perhitungan lainnya. Tetapi sekarang ini grup yang ada sudah mulai berkurang karena perminatnya yang sudah tidak lagi dapat memenuhi tuntutan uang yang sudah ditetukan, karena kebanyakan orang susah untuk dapat memenuhi sejumlah uang yang diharuskan dalam membayar. Dengan semakin bertambahnya kebutuhan ekonomi semakin sulit juga untuk mengikuti grup yang mengharuskan mereka untuk membayar sesuai dengan aturan karena untuk memenuhi kebutuhan mereka pun kini semakin sulit.

Siklus Kemiskinan Pada Masyarakat Pesisir
Di desa Tanjung Burung kecamatan Teluk Naga Tangerang terdapat sekumpulan masyarakat yang memiliki adat dan budaya yang sedikit berbeda dengan adat budaya di suatu wilayah laeinnya. Adat dan budaya yang ada di desa ini sangat mencolok perbedaannya yaitu dari segi atau tata cara pada masyarakat itu terjadi kontak komunikasi yang sangat lekat diantara mereka dan terkoordinasi dengan baik sehingga dapat menciptakan suasana kekeluargaan yang bisa memberikan keteladanan bagi daerah lain.
Hal-hal yang dilakukan antar masyarakat adalah saling membantu untuk meringankan beban warga sebagai contoh dalam pelaksanaan mereka mengadakan pertemuan keluarga untuk membicarakan apa yang akan dilaksanakan dan kemudian setelah mendapat persetujuan barulah dibicarakan dengan tetangga terdekat untuk diminta bantuan memberikan saran demi kelancaran acara tersebut. Dari acara yang telah disusun mengharapkan semua berperan serta demi terwujudnya acara tersebut. Salah satu bentuk kerjasama yang diperoleh dari warga masyarakat adalah kepedulian dalam membantu jalannya acara adat dan budaya yang ada di desa ini. Berikut ini adalah wujud nyata dari hasil penelitian secara langsung pada masyarakat dengan mengadakan wawancara kepada beberapa warga,yaitu:
1.      Untuk mendukung pelaksanaan tersebut setiap warga mendapatkan tugas sesuai dengan kesanggupannya.
2.      Untuk membantu meringankan beban yang mempunyai masing-masing warga memberikan banyuan sesuai dengan kemampuannya bisa berupa barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan dengan pembagian sesuai keperluan . contoh : beras, minyak goreng, gula, dan lain-lain.
3.      Gotong royong dalam memberikan pertolongan berupa tenaga dalam mendirikan tenda,menyediakan sarana dan prasarana sehingga terlihat bentuk kerjasama atau gotong royong antar warga.
Tanpa disadari, dengan adanya tradisi hajatan di desa ini membuat umur remaja sesorang menjadi lebih pendek. Biasan mereka cendrung menikah pada usia-usai dini. Jarang dari mereka yang menikah di atas usia 25 tahun khususnya untuk perempuan. Kebanyakan dari mereka sudah menikah pada usia antara 18-21 tahun. Disamping itu terdapat teori ekonomi pertukarang dalam tradisi ini, yakni dengan menukarkan atau mengadakan hajatan maka mereka kan mendapatkan pemasukan yang lebih banyak. Namun disamping itu, tingkat kemiskinan pun tidak dapat dihindari, karena mata pencaharaian mereka sehari-hari hanyalah sebagai buruh.
Pada umumnya tindakan ekonomi terjadi pengaruh kelangkahan sumber daya yang ada sehingga akan menimbulkan kebiasaan untuk mempertahankan dana tersebut yang nantinya menjadi inves uang untuk melancarkan dan menghambat, memudahkan tindakan ekonomi. Pada umunya tindakan ekonomi terjadi dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain, sehingga tindakan ekonomi melibatkan kerjasama, kepercayaan dan jaringan.[6]
Tradisi Hajatan atau Kondangan yang ada di Tanjung Burung, Tanggerang, Banten, memakai sistem jaringan yang nantinya menimbulkan rasa kepercayaan dan kerjasama, sehingga lahirlah kekeluargaan yang akan menimbulkan dari tiap kepercayaan yang ditanamkan dari jaringan tersebut. Analisa proses ekonomi antara pelaku ekonomi, proses pembentukan kepercayaan dalam tindakan atau proses terjadinya perselisihan dalam tindakan ekonomi yang menghubungkan dan interaksi antara ekonomi dan istitusi lain dari masyarakat yaitu hubungan ekonomi, agama, pendidikan, stratifikasi sosial, demokrasi, atau politik. Sehingga perubahan institusi dan parameter budaya yang terjadi konteks bagi landasan ekonomi dari masyarakat.
Masyarakat Tanjung Burung yang mayoritasnya bekerja di sektor perikanan, penghasilannya tidak menentu tergantung cuaca memiliki keunikan tersendiri. Mayoritas warga desa Tanjung Burung bekerja di sektor perikanan. Warga yang bekerja di sektor perikanan sebagian besar berada dalam perekonomian menengah ke bawah. Kebutuhan rumah tangga yang semakin hari semakin naik memaksa mereka untuk lebih inovatif dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun ada kebutuhan yang terbilang unik dalam masyarakat Desa Tanjung Burung, yaitu dalam hal tradisi hajatan. Walaupun masyarakatnya yang mayoritas berada dalam perekonomian menengah ke bawah, namun dalam hal menyumbang biasanya warga menyumbang lebih dari sumbangan yang diberikan orang-orang pada umumnya, khususnya warga kota.
Warga desa Tanjung Burung biasa menyumbang ke acara hajatan dalam dua waktu. Pertama, tiga hari sebelum acara utama biasanya warga menyumbang sembako yang bisa dibilang lebih banyak takarannya dibanding warga pada desa pada umumnya. Misalnya beras, satu warga biasanya menyumbang beras sedikitnya sepuluh liter. Kedua, ketika acara utama hajatan biasanya warga menyumbang uang sebanyak Rp50.000 sampai Rp200.000 per orang. Di samping untuk meringankan bagi yang punya hajatan, sumbangan itu berguna untuk menyediakan hiburan bagi para tamu maupun semua warga desa Tanjung Burung. Karena menurutnya hiburan ini ada ketika sedang ada warga yang mengadakan acara hajatan selebihnya tidak pernah ada acara hiburan besar-besaran seperti ini. Jadi pada saat terlaksananya acara hajatan warga sekitar membantu secara maksimal agar acara tersebut bisa berjalan dengan baik dan dengan suasana yang meriah. Hal ini justru membuat sedikit keunikan dalam warga desa Tanjung Burung. Di dalam masyarakatnya yang mayoritas berada dalam perekonomian menengah ke bawah, namun dalam hal menyumbang justru lebih banyak dibanding warga desa lainnya atau bahkan di kota.

Kesimpulan
Uraian di atas telah melihatkan adanya perbedaan tradisi hajatan di Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang Banten dengan desa-desa lainnya. Tradisi hajatan di desa ini pun mengalami pergeseran tata cara. Diawali dengan pelaksanaanya yang dulu hanya dilakukan pada musim panen saja namun sekarang telah mengalami perbedaan. Hanya saja dibatasi sampai bulan ruwah untuk pelaksanaannya. Dari segi grup kodangan pun kini sudah mulai berkurang. Grup kondangan tidak lagi sebanyak dulu. Alasan yang paling mendasar ialah karena dari segi finansial mereka tidak mencukupi untuk bergabung dalam grup kondangan tersebut. Akhirnya sekarang grup-grup yang masih ada kini telah mengalami pergeseran dan tidak lagi mengutamakan dari segi finansial tetapi lebih kepada segi kekeluargaan dan kekompakan serta menjalin silahturahmi antar warganya. Seiring dengan berjalannya waktu tradisi hajatan saat ini bahkan lebih meriah dari sebelumnya. Mulai dari hiburannya yang kian beragam dan menarik serta antusiasme dari masyarakat nya yang juga kian meningkat. Hal ini membuat tradisi hajatan di Desa Tanjung Burung makin menarik dan menjadi ciri khas dari desa itu sendiri.



 
Daftar Pustaka
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Dialih bahasakan oleh Francisco Budi Hardiman.
Raga Maran, Rafael. 2007. Manusia dan Kebudayaan Dala Perspektif Ilmu Budaya Dasar.           Jakarta: Rineka Cipta.
Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gajah Mada     University Press.


[1] Rafael Raga Maran. 2007. Manusia dan Kebudayaan Dala Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 15
[2] Clifford Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Dialih bahasakan oleh Francisco Budi Hardiman. Hal. 4

[3] Rafael Raga Maran, Op. Cit. Hal. 38
[4] ibid. hal. 20
[5] Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gajah Mada university Press. Hal. 64
[6] Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Hal. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar