TRADISI HAJATAN:
SEJARAH, POLA DAN SIKLUS KEMISKINAN PADA MASYARAKAT PESISIR
(Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung
Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang)
Peper ini dibuat untuk memenuhi
tugas Sosiologi Pedesaan
disusun oleh :
Abror Wiguna
Diana Chairunisha
Riska Cahya Wulandari
Rizka Putri Natalia
Yan Tri Anggoro Putro
Sosiologi
Fakultaas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2012
TRADISI
HAJATAN: SEJARAH, POLA DAN SIKLUS KEMISKINAN PADA MASYARAKAT PESISIR
(Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung
Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang)
Abstrak:
Tulisan ini bertolak
pada penelitian penulis tentang tradisi hajatan pada masyarakat Desa Tanjung
Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang. Sejarah awal tradisi hajantan
merupakan turun temurun dari nenek moyang dan tidak ada yang tahu pasti kapan
awal mula hajatan ini dilaksanakan. Tradisi hajatan yang berbeda dengan
wilayah-wilayah lain dan masih dilaksanakan hingga saat ini merupakan kekhasan
tersendiri untuk wilyah ini. Walau sudah terjadi pergeseran pola tradisi
hajatan di sini, namun tradisi hajatan ini masih dilaksanakan hingga penulisan
laporan penelitian ini di lakukan. Perubahan pola dan siklus hajatan yang
terjadi akan dibahas dalam laporan ini serta kaitan antara tradisi hajatan
dengan kemiskinan masyarakat pesisir akan diulas di sini.
Pengantar
Tulisan ini
mendeskripsikan kebudayaan yang masih berlangsung di Desa Tanjung Burung
Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang Banten. Kebudayaan yang amsih
berlangsung ialah tradisi hajatan. Sepintas tidak ada yang berbeda antara
tradisi hajatan di desa ini dengan desa lainnya, namun jika kita analisis lebih
mendalam terdapat perbedaan yang menjadi ciri khas dari masyarakat ini. Letak
perbedaan terlihat pada proses plaksanaan hajatannya, di mana terdapat
grup-grup kondangan dalam masyarakat. Grup-grup inilah yang menjadi kekhasan
dalam kebudayaan masyarakat pesisir Tanjung Burung.
Kebudayaan menempati
posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia.[1] Manusia dan kebudayaan
sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk dipisahkan. Kebudayaan juga
bisa menjadi identitas bagi suatu individu maupun masyarakat. Setiap masyarakat
memiliki kebudayaanya masing-masing. Kluckhohn mendefinisikan kebudayaan
sebagai: (1) keseluruhan cara hidup masyarakat; (2) warisan sosial yang
diperoleh individu dari kelompoknya; (3) suatu cara berpikir, merasa dan
percaya; (4) suatu abstraksi dari tingkah laku; (5) suatu teori dari pihak
antropolog tentang cara suatu keompok masyarakat nyatanya ertingkah laku; (6)
suatu “gudang untuk mengumpulkan hasil belajar”; (7) seperangkat
orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang sedang berlangsung; (8)
tingkah-laku yang dipelajari; (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah –laku
yang bersifat normatif; (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik untuk
lingkungan luar maupun dengan orang-orang
lain; (11) suatu endapan sejarah; dan mungkin dengan rasa putus-asa, beralih ke
khiasan-khiasan, sebagai sebuah peta, sebuah penyaring dan sebuah matriks.[2]
Tanpa kita sadari
kebudayaan sudah lahir sejak zaman nenek moyang. Salah satu kebudayaan
masyarakat yang masih berlangsung sampai sekarang adalah budaya Kondangan atau dapat dikatakan pula
tradisi hajatan. Tradisi hajatan adalah
kebudayaan yang berlangsung secara turun-temurun bagi masyarakat di desa
Tanjung Burung, Tangerang. Jika melihat dari definisi kebudayaan menurut
Kluckhohn tradisi hajatan ini mengacu pada point nomer 2 yakni warisan sosial
yang diperoleh individu melalui kelompoknya. Artinya, tradisi hajatan ini sudah
lebih dulu hadir ditengah-tengan masyarakat saat ini yang merupakan warisan
budaya dari nenk moyang terdahulu dan masih berlangsung sampai saat ini.
Dewasa ini, sangat
sulit menemukan kebudayaan atau tradisi yang masih terjaga di Indonesia. Walau
kebudayaan yang ada sekarang sudah tidak “asli” lagi, namun tradisi hajatan ini
masih tetap dilaksanakan. Dengan masih terlaksananya kebudayaan tradisional di
daerah ini membuktikan bahwa faktor eksternal tidak terlalu berpengaruh dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Kemajuan teknologi yang pesat pun tidak membuat
perubahan yang signifikan dalam tradisi ini. Namun jika kita analisis lebih
mendalam lagi, tradisi hajatan pada saat ini sudah mengalami pergeseran pola.
Pergeseran pola
dirasakan karena adanya dominasi pendatang. Masyarakat desa Tanjung Burung
tidak sepenuhnya merupakan penduduk asli desa tersebut. Beberapa dari mereka
merupakan penduduk sekitar desa Tanjung Burung yang menetap di sini karena
mengikuti suami/istrinya yang merupakan penduduk asli desa ini. Disamping
karena adanya dominasi pendatang, pergeseran pola tradisi hajatan juga
disebabkan oleh struktur sosial masyarakat saat ini. terdapat beberapa indikator
yang berubah dari tradisi hajatan ketika awal mula sampai dengan prosesnya pada
saat ini.
Dengan masih adanya
kebudayaan kondangan di desa ini, menunjukkan bahwa perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat Desa Tanjung Burung bersifat evolusioner. Yakni sedikit
perubahan yang terjadi dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Perubahan
terjadi dari segi pola pelaksanaan hajatan. Hajatan tidak lagi dilaksanakan
sesuai ketentuan awal, kini pelaksanaanya sudah tidak seperti dulu. Namun, dengan
kesepakatan bersama hajatan ini dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu saja dan
terdapat batasan untuk melaksanakannya.
Disamping pola
pelaksanaan hajatan, di desa ini memiliki keunikan lain yakni dengan adanya
“grup kondangan”. Di desa ini tidak hanya arisan saja yang membuat grup,
kondangan juga tidak mau kalah saing. Grup-grup inilah yang menjadi kekhasan
dari tradisi hajatan di desa ini. Dengan adanya grup kondangan ini, hajatan
yang dilaksanakan akan terasa lebih meriah, karena yang hadir bukan hanya dari
tetangga sekitar, namun satu kecamatan pun dapat menghadiri acara tersebut. Disamping
itu, grup kondangan dapat menunjukkan status sosial kita dalam masyarakat yakni
dengan pemberian yang kita berikan kepada yang memiliki hajat.
Ada beberapa poin
yang akan ditelaah lebih mendalam pada tulisan ini. Pertama, menjelaskan sejarah awal dari tradisi hajatan yang terjadi
di desa ini. Kedua, faktor yang
mempengaruhi pola tradisi hajatan yang terjadi saat ini dan pelaksanaanya. Ketiga, menjelaskan siklus kemiskinan yang
terjadi dalam pola tradisi hajatan. Tulisan ini dibuat dengan metode
kualitatif, yakni bedasarkan studi historis, observasi dan wawancara warga
masyarakat Desa Tanjung Burung, Tanggrang. Metode deskriptif juga digunakan
dalam penyajian tulisan ini, supaya perubahan yang terjadi dapat terlihat
dengan jelas.
Sejarah Tanjung Burung Tanggerang
1.
letak
geografis
Secara geografis Tanjung Pasir berada di sebelah
pantai Utara Tangerang, Kecamatan Teluk Naga. Lokasi Tanjung Pasir berhadapan
langsung dengan Pulau Untung Jawa dan Pulau Rambut. Lokasi ini secara
administrative berdekatan dengan Kepulauan Seribu. akses untuk menuju Kepulauan
seribu sangat mudah kerena pulau ini sering dijadikan sebagai tempat
penyebrangan dengan menggunakan alat transportasi tradisional yaitu perahu
layar. Akses menuju wilayah ini relatif mudah hal ini dikarenakan jarak tempuh
menuju Tanjung Pasir dari Kota Tangerang hanya berkisar ± 29 km dan dari
Bandara Soekarno-Hatta ± 25 km.
2.
Keadaan
Masyarakat
Keadaan masyarakat di Tanjung Pasir identik dengan
masyarakat pesisir, hal ini berhubungan dengan letak geografis yang bedekatan
langsung denga pantai. hampir sebagaian masyarakat di Tanjung Pasir
bermatapencaharian sebagai nelayan. masyarakat asli di daerah ini umumnya
menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Tangerang. Mereka tidak asing dengan
orang di luar kelompoknya karena banyak orang yang pernah mengunjungi daerah
ini. Mereka mudah menerima kehadiran atau kunjungan pendatang kerena akan
membawa rejeki untuk mereka.
Keadaan Pantai Tanjung Pasir yang berdekatan
langsung dengan Kepulauan seribu sering dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai
arena berwisata seperti berenang, mandi, berjemur di tepi pantai, jalan-jalan
dan menikmati keindahan alam dengan menghirup udara laut yang segar. Sayangnya
sanitasi air laut kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah dan
masyarakat setempat sehingga air tidak begitu jernih karena kurangnya
pengawasan dan pemeliharaan terhadap sampah-sampah.
Unsur-unsur
Kebudayaan[3]
Setiap kebudayaan
memiliki tujuh unsur dasar, yaitu kepercayaan, nilai, norma dan sanksi, simbol,
teknologi, bahasa dan kesenian.
·
Kepercayaan
Kepercayaan ini
bisa berupa pandangan-pandangna atau interpretasi tentang masa lampau, bisa brupan
penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa
depan, dan bisa juga berdasarkan commpn
sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu negara, agama, ilmu
pengetahuan, atau suatu kombinasi antara suatu hal tersebut.
·
Nilai
Nilai
menjelaskan apa yang seharusnyan terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar
kebenaran yang harus dimiliki, yang diinginkan, dan layak dihormati. Nilai
mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai
yang paling berharga. Nilai juga yang menentukan susanan kehidupan kebudayaan
masyarakat.
·
Norma dan Sanksi
Norma adalah
suatu aturan khusus, atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan
tidak harus dilakukan manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya
berprilaku atau bertindak. Norma merupakan standar yang ditetapkan sebagai
garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia.
·
Teknologi
Pengetahuan dan
teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk membangun kebudayaan materilnya.
Dengan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, suatu bangsa membangun
lingkungan fisik, sosial, dan psikologi yang khas.
·
Simbol
Simbola adalah
sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memeberikan makna. Banyak simbol berupa
objek-objek fisik yang telah memperoleh makna cultural dan dipergunakan untuk
tujuan-tujuan instrumentasl. Simbol bisa berupa barang sehari-hari, barang
berguna yang sudah memperoleh arti khusus.
·
Bahasa
Bahasa adalah
gudang kebudayaan. Bahsa merupakan sarana utama untuk menangkap, mengkomunikasikan,
mendiskusikan, mengubah, dan mewariskan arti-arti kepada generasi baru.
·
Kesenian
Setiap
kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik. Itu tidak berarti bahwa semua
bentuk seni dikembangkan dalam setiap kebudayaan. Melalui karya seni, seperti
seni sastra, music, tari, lukis dan drama, manusia mengkspresikan ide-ide,
nilai-nilai, cita-cita, serta perasaaanya.
Sejarah Tradisi Hajatan
Kebudayaan pernah
didefinisikan sebagai a design for living, suatu desain kehidupan
(Kluckhohn, 1949) dan sebagai a set of control mechanisms, seperangkat
mekanisme kontrol rencana, resep-resep, peraturan, konstruksi, apa yang oleh
para ahli komputer disebut program untuk mengatur perilaku (Geertz, 1973).[4] Awal
mula budaya hajatan itu sendiri tidak dapat dipastikan kapan atau bagaimana proses
terbentuknya. Tradisi hajatan merupakan warisan budaya sosial kepada individu
dari kelompoknya. Budaya itu sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat setempat secara terus menerus. Budaya ini menjadi tempat berkumpul bagi
masyarakat sekitar walaupun mereka tidak saling mengenal. Tradisi yang terus
menerus dijalankan oleh masyarakat adalah sebuah upaya yang dilakukan agar
budaya yang ada dilingkungan tersebut tidak hilang begitu saja.
Tradisi hajatan di desa
Tanjung Burung dilakukan sebagai moment untuk bersilahturahmi kepada para
warga. Warga yang mengadakan hajatan akan dibantu oleh warga lainnya baik dalam
hal materi maupun tenaga. Seiring perkembangan zaman barang yang dijadikan
sebagai sumbangan oleh para warga pun sedikit mengalami perubahan. Jika pada
zaman dahulu warga menyumbang dengan memberikan hasil tani mereka, maka pada
zaman sekarang warga menyumbangkan sembako dan uang. Hal ini dimaksudkan agar
meringankan warga yang mengadakan hajatan.
Setiap kebudayaan memiliki
unsur-unsur tersendiri yang menjadikan ciri khas dari kebudayaan tersebut.
Tidak terkecuali pada tradisi kondangan. dalam tradisi kondangan, unsur-unsur
yang terkandung ialah kepercayaan, nilai, norma dan sanksi. Awal mula tradisi
ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil
panen yang didapatkannya. Seiring perkembangan zaman, tradisi hajatan tidak dipersembahkan
sebagai rasa syukur atas hasil panen saja tetapi disertai dengan acara nikahan
atau khitanan.
Pola Kebudayaan Hajatan
Menurut Horton dan Hunt masyarakat
adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain,
sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang
menjadi pegangan masyarakat tersebut.[5]
Ralph Linton, seorang ahli anthropologi yang terkemuka, mengemukakan bahwa
kebudayaan secara umum diartikan sebagai way
of life suatu masyarakat (Linton, 1936). Way of life dalam pengertian ini tidak sekedar berkaitan dengan
bagaimana cara orang untuk bisa hidup secara biologis, melainkan jauh lebih
luas dari itu. Dijabarkan secara lebih rinci, way of life mencakup way of
thingking (cara berpikir, bercipta), way of feeling (cara berasa,
mengekspresikan rasa) dan way of doing (cara berbuat,berkarya). Tradisi hajatan
yang ada di desa Tanjung Burung dimaksudkan dengan bagaimana masyarakat di desa
Tanjung Burung berpikir untuk sama-sama membantu warga yang sedang ingin
melaksanakan acara tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antara warga yang
mampu dan yang tidak mampu maka disepakatilah sumbangan yang akan diberikan
kepada si pemilik hajatan. Dengan adanya kesepakatan yang disepakati oleh semua
warga tadi maka hal tersebut direalisasikan ke dalam masyarakat.
Tradisi hajatan di desa ini masih terus berangsung
dari dulu hingga sekarang. Meskipun dalam pelaksanaanya telah mengalami
beberapa pergeseran pola namun, keberadaanya masih dapat dirasakan
ditengah-tengah masyarakat. Pelaksanaan hajatan yang semula hanya diadakan
ketika musim panen saja kini sudah tidak berlaku. Namun, pihak elit desa
setempat menyepakati bahwa pelaksanaan hajatan hanya boleh dilakukan sampai
bulan ruwah saja dan tidak boleh melebihi bulan tersebut. Hal ini dimaksugkan
agar menyambut bulan puasa tidak ada yang melaksanakan hajatan dan lebih fokus
untuk beribadah.
Hajatan di desa Tanjung Burung memiliki sistem dan
pola yang sedikit berbeda dengan hajatan pada umumnya. Pertama, proses
penyebaran undangan yang diberikan kepada mayarakat. Kedua, kita dapat lihat dari segi kedatangaan,
waktu kedatangan dan dengan apa dan siapa mereka datang ke hajatan tersebut. Ketiga,
ialah sistem pemberian “sumbangan” kepada yang memiliki hajatan. Keempat,
keberadaan grup-grup kondangan dalam masyarakat Tanjung Burung.
Pola pertama yakni dari segi undangan. Terdapat dua
sistem pembagian undangan yang diterapkan. Pertama undangan diberikan langsung
kepada tiap-tiap individu dan yang kedua diberikan kepada ketua kelompok. Apabila
warga yang mengadakan hajatan berasal dari desa yang sama, biasanya mereka
mengundang dengan memberikan undangan kepada warga-warga di desa. Namun apabila
yang mengadakan hajatan berasal dari luar desa, maka hanya orang-orang tertentu
saja yang diberikan undangan seperti halnya undangan kertas dan bagi warga desa
akan diberikan undangan berupa (sirih), yaitu sebagai tanda undangan kepada
seluruh warga desa. Biasanya (sirih) diberikan ke warga yang bisa mewakili
untuk menerima undangan (sirih) dan kemudian warga tersebut akan menyampaikan
undangan secara (sambat) yaitu dari mulut ke mulut.
Setelah pemberian undangan kepada masyarakat, tahap
selanjutnya ialah mekanisme kedatangan. Sesuai dengan undangan yang tertera,
jika individu tersebut diundang secara mandiri maka dia akan datang secara
individual. Sedangkan untuk mereka yang memiliki grup, mereka cendrung datang berkelompok.
Untuk hajatan yang berada di luar desa biasanya warga menggunakan mobil bak
bahkan engkel untuk membawa warga ke tempat hajatan, namun apabila hajatannya
masih di dalam desa biasanya mereka pergi dengan berjalan kaki atau menggunakan
sepeda motor secara konvoi. Hajatan di desa Tanjung Burung bisa berlangsung
selama 3 hari sampai seminggu tergantung si pelaksana hajatan.
Waktu kondangan pun biasanya dibedakan antara kaum
perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan biasa kondangan diwaktu pagi sampai
sore, sedangkan yang laki-laki biasanya pergi kondangan di waktu malam hari
karena sepulang mereka bekerja. Laki-laki pun pergi kondangan dengan cara
berkelompok dan dikoordinasi oleh ketua juga. Dengan adanya tradisi adat dan budaya yang
sudah mencerminkan rasa persatuan dan kesatuan ini diharapkan bisa memberikan
contoh atau warisan kepada generasi mendatang sehingga menciptakan dan
melestarikan adat budaya yang selama ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat
sebelumnya.
Disamping adanya udangan dan sistem kedatangan yang
berbeda, salah satu perbedaan lainnya ialah dalam segi pemberian “sumbangan”.
Awalnya, “sumbangan” ini dimaksudkan untuk membantu meringankan beban tetangga
mereka namun, lamabat laun tidak hanya bermaksud memberikan bantuan tetapi
terdapat motiv lainnya. Ada dua fase dalam pemberian “sumbangan” hajatan di
desa ini, yaitu fase pertama ketika tiga hari sebelum acara utama hajatan
dilaksanakan, biasanya warga datang membawa barang sembako seperti beras,
kacang dll. Biasanya warga membawa bawaan beras sebanyak 5-10 liter beras per
orang maupun bawaan lainnya sesuai takaran masing-masing. Fase kedua yaitu
ketika acara utama hajatan mereka datang dan memberikan bawaan berupa amplop
yang biasanya berisi Rp50.000-Rp200.000 per amplop. Bagaimana cara memberikan
(amplop) jika datangnya secara berkelompok? Biasanya ketua kelompok akan
menarik (mengumpulkan) amplop anggota kelompoknya secara kolektif dan dipegang
oleh satu orang saja untuk diberikan kepada pelaksana hajatan.
Menurut salah satu tokoh masyarakat di desa Tajung
Burung, Bapak Sarnubi, sumbangan ini bertujuan agar dapat sedikit meringankan
beban bagi mereka yang melaksakan hajatan. Jadi dengan kata lain dalam hal
menyumbang dilakukan atas dasar kepedulian sesama, khususnya sesama warga desa
yang mayoritas masih saling memiliki ikatan keluarga antarwarga. Sedangkan cara
datang secara berkelompok hal ini dimaksudkan agar terjalin silaturahmi sesama
warga serta menurutnya, selain itu juga dilakukan untuk menjaga tradisi yang
sudah diturunkan sejak nenek moyang mereka.
Hal yang
menjadi ciri khas dari masyarakat desa Tanjung Burung ialah adanya grup-grup
kondangan. Di desa ini apabila ada warga yang melaksanakan hajatan, maka warga
yang diundang biasanya akan datang secara berkelompok (grup). Satu kelompok
biasanya terdiri dari 10-15 orang dan dikordinasi oleh salah satu warga yang
ditunjuk sebagai ketua kelompok. Grup yang ada di kampung tanjung burung ini berjumlah antara 23-24 grup,
tapi saat ini yang aktif atau yang masih menjalankan grup-grup ini sudah mulai
berkurang jumlahnya. Budaya grup disini adalah dimana orang-orang yang memiliki
keuangan yang cukup yang dapat ikut serta didalam grup ini, karena grup ini
mengharuskan para pesertanya untuk selalu ikut memberikan uang mereka atau
menyumbangkannya dalam setiap acara hajatan. Di grup ini sudah ditentukan
pembagian setiap orang itu beberapa, seandainya ada yang tidak bisa membayar
terpaksa ketua grup untuk membantu membayarkan tapi terkada jika ditagih
uangnya mereka selalu berkilah. Tak jarang dengan seringnya ketua grup
membantu, ketua grup itu sendiri menjadi rugi. Ada kalanya orang yang sudah melakukan hajatan itu malah tidak mau ikut grup lagi dikarenakan sudah mendapat untung dari uang yang didapat dari para undangan, baik itu dari grup maupun dari perorangan. Karena dengan mereka tidak lagi ikut didalam grup akan membuat malu namanya didalam grup tersebut juga membuat malu nama grup dimata orang yang mengundang. Di dalam grup ini juga terdapat pembukuan yang jelas mengenai siapa saja yang ikut didalam grup, siapa yang sudah membayar serta perhitungan lainnya. Tetapi sekarang ini grup yang ada sudah mulai berkurang karena perminatnya yang sudah tidak lagi dapat memenuhi tuntutan uang yang sudah ditetukan, karena kebanyakan orang susah untuk dapat memenuhi sejumlah uang yang diharuskan dalam membayar. Dengan semakin bertambahnya kebutuhan ekonomi semakin sulit juga untuk mengikuti grup yang mengharuskan mereka untuk membayar sesuai dengan aturan karena untuk memenuhi kebutuhan mereka pun kini semakin sulit.
Siklus Kemiskinan Pada Masyarakat Pesisir
Di
desa Tanjung Burung kecamatan Teluk Naga Tangerang terdapat sekumpulan
masyarakat yang memiliki adat dan budaya yang sedikit berbeda dengan adat
budaya di suatu wilayah laeinnya. Adat dan budaya yang ada di desa ini sangat
mencolok perbedaannya yaitu dari segi atau tata cara pada masyarakat itu
terjadi kontak komunikasi yang sangat lekat diantara mereka dan terkoordinasi
dengan baik sehingga dapat menciptakan suasana kekeluargaan yang bisa
memberikan keteladanan bagi daerah lain.
Hal-hal
yang dilakukan antar masyarakat adalah saling membantu untuk meringankan beban
warga sebagai contoh dalam pelaksanaan mereka mengadakan pertemuan keluarga untuk
membicarakan apa yang akan dilaksanakan dan kemudian setelah mendapat
persetujuan barulah dibicarakan dengan tetangga terdekat untuk diminta bantuan
memberikan saran demi kelancaran acara tersebut. Dari acara yang telah disusun
mengharapkan semua berperan serta demi terwujudnya acara tersebut. Salah satu
bentuk kerjasama yang diperoleh dari warga masyarakat adalah kepedulian dalam
membantu jalannya acara adat dan budaya yang ada di desa ini. Berikut ini
adalah wujud nyata dari hasil penelitian secara langsung pada masyarakat dengan
mengadakan wawancara kepada beberapa warga,yaitu:
1. Untuk
mendukung pelaksanaan tersebut setiap warga mendapatkan tugas sesuai dengan
kesanggupannya.
2. Untuk
membantu meringankan beban yang mempunyai masing-masing warga memberikan
banyuan sesuai dengan kemampuannya bisa berupa barang-barang kebutuhan pokok
yang dibutuhkan dengan pembagian sesuai keperluan . contoh : beras, minyak
goreng, gula, dan lain-lain.
3. Gotong
royong dalam memberikan pertolongan berupa tenaga dalam mendirikan tenda,menyediakan
sarana dan prasarana sehingga terlihat bentuk kerjasama atau gotong royong
antar warga.
Tanpa disadari,
dengan adanya tradisi hajatan di desa ini membuat umur remaja sesorang menjadi
lebih pendek. Biasan mereka cendrung menikah pada usia-usai dini. Jarang dari
mereka yang menikah di atas usia 25 tahun khususnya untuk perempuan. Kebanyakan
dari mereka sudah menikah pada usia antara 18-21 tahun. Disamping itu terdapat
teori ekonomi pertukarang dalam tradisi ini, yakni dengan menukarkan atau
mengadakan hajatan maka mereka kan mendapatkan pemasukan yang lebih banyak.
Namun disamping itu, tingkat kemiskinan pun tidak dapat dihindari, karena mata
pencaharaian mereka sehari-hari hanyalah sebagai buruh.
Pada umumnya
tindakan ekonomi terjadi pengaruh kelangkahan sumber daya yang ada sehingga
akan menimbulkan kebiasaan untuk mempertahankan dana tersebut yang nantinya
menjadi inves uang untuk melancarkan dan menghambat, memudahkan tindakan
ekonomi. Pada umunya tindakan ekonomi terjadi dalam konteks hubungan sosial
dengan orang lain, sehingga tindakan ekonomi melibatkan kerjasama, kepercayaan
dan jaringan.[6]
Tradisi Hajatan atau
Kondangan yang ada di Tanjung Burung, Tanggerang, Banten, memakai sistem
jaringan yang nantinya menimbulkan rasa kepercayaan dan kerjasama, sehingga
lahirlah kekeluargaan yang akan menimbulkan dari tiap kepercayaan yang
ditanamkan dari jaringan tersebut. Analisa proses ekonomi antara pelaku
ekonomi, proses pembentukan kepercayaan dalam tindakan atau proses terjadinya
perselisihan dalam tindakan ekonomi yang menghubungkan dan interaksi antara
ekonomi dan istitusi lain dari masyarakat yaitu hubungan ekonomi, agama,
pendidikan, stratifikasi sosial, demokrasi, atau politik. Sehingga perubahan
institusi dan parameter budaya yang terjadi konteks bagi landasan ekonomi dari
masyarakat.
Masyarakat Tanjung Burung
yang mayoritasnya bekerja di sektor perikanan, penghasilannya tidak menentu
tergantung cuaca memiliki keunikan tersendiri. Mayoritas warga desa Tanjung
Burung bekerja di sektor perikanan. Warga yang bekerja di sektor perikanan
sebagian besar berada dalam perekonomian menengah ke bawah. Kebutuhan rumah
tangga yang semakin hari semakin naik memaksa mereka untuk lebih inovatif dalam
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun ada kebutuhan yang terbilang unik dalam
masyarakat Desa Tanjung Burung, yaitu dalam hal tradisi hajatan. Walaupun
masyarakatnya yang mayoritas berada dalam perekonomian menengah ke bawah, namun
dalam hal menyumbang biasanya warga menyumbang lebih dari sumbangan yang diberikan
orang-orang pada umumnya, khususnya warga kota.
Warga desa Tanjung
Burung biasa menyumbang ke acara hajatan dalam dua waktu. Pertama, tiga hari
sebelum acara utama biasanya warga menyumbang sembako yang bisa dibilang lebih
banyak takarannya dibanding warga pada desa pada umumnya. Misalnya beras, satu
warga biasanya menyumbang beras sedikitnya sepuluh liter. Kedua, ketika acara
utama hajatan biasanya warga menyumbang uang sebanyak Rp50.000 sampai Rp200.000
per orang. Di samping untuk meringankan bagi yang punya hajatan, sumbangan itu
berguna untuk menyediakan hiburan bagi para tamu maupun semua warga desa
Tanjung Burung. Karena menurutnya hiburan ini ada ketika sedang ada warga yang
mengadakan acara hajatan selebihnya tidak pernah ada acara hiburan
besar-besaran seperti ini. Jadi pada saat terlaksananya acara hajatan warga
sekitar membantu secara maksimal agar acara tersebut bisa berjalan dengan baik
dan dengan suasana yang meriah. Hal ini justru membuat sedikit keunikan dalam
warga desa Tanjung Burung. Di dalam masyarakatnya yang mayoritas berada dalam
perekonomian menengah ke bawah, namun dalam hal menyumbang justru lebih banyak
dibanding warga desa lainnya atau bahkan di kota.
Kesimpulan
Uraian di atas telah
melihatkan adanya perbedaan tradisi hajatan di Desa Tanjung Burung Kecamatan
Teluk Naga Kabupaten Tanggrang Banten dengan desa-desa lainnya. Tradisi hajatan
di desa ini pun mengalami pergeseran tata cara. Diawali dengan pelaksanaanya yang
dulu hanya dilakukan pada musim panen saja namun sekarang telah mengalami
perbedaan. Hanya saja dibatasi sampai bulan ruwah untuk pelaksanaannya. Dari
segi grup kodangan pun kini sudah mulai berkurang. Grup kondangan tidak lagi
sebanyak dulu. Alasan yang paling mendasar ialah karena dari segi finansial mereka
tidak mencukupi untuk bergabung dalam grup kondangan tersebut. Akhirnya
sekarang grup-grup yang masih ada kini telah mengalami pergeseran dan tidak
lagi mengutamakan dari segi finansial tetapi lebih kepada segi kekeluargaan dan
kekompakan serta menjalin silahturahmi antar warganya. Seiring dengan
berjalannya waktu tradisi hajatan saat ini bahkan lebih meriah dari sebelumnya.
Mulai dari hiburannya yang kian beragam dan menarik serta antusiasme dari
masyarakat nya yang juga kian meningkat. Hal ini membuat tradisi hajatan di
Desa Tanjung Burung makin menarik dan menjadi ciri khas dari desa itu sendiri.
Daftar Pustaka
Damsar.
2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Edisi
Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Dialih bahasakan oleh Francisco Budi
Hardiman.
Raga
Maran, Rafael. 2007. Manusia dan
Kebudayaan Dala Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Raharjo.
2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan
Pertanian. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
[1] Rafael Raga Maran. 2007. Manusia
dan Kebudayaan Dala Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hal. 15
[2] Clifford
Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius. Dialih bahasakan oleh Francisco Budi Hardiman. Hal. 4
[3] Rafael Raga Maran, Op. Cit. Hal. 38
[4] ibid. hal. 20
[5] Raharjo. 2004. Pengantar
Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gajah Mada university Press.
Hal. 64
[6] Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Edisi Revisi.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Hal. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar