HITAM PUTIH PENAMBANGAN PASIR:
STUDI KASUS DESA TANJUNG BURUNG, KECAMATAN TELUK NAGA, KABUPATEN TANGERANG,
PROVINSI BANTEN
Disusun oleh :
Andi Guna
M. Marwan Rifai
Rio Cahyo Saputro
Rusmiati Sintia Dewi
Zsa ZSa Ryana
Abstrak
Desa Tanjung Burung, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, sebuah desa di
pesisir pantai utara Pulau Jawa yang di sebelah baratnya dilalui Sungai
Cisadane ini, memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang melimpah,
terutama pasir lautnya. Hal itu membuat ketertarikan perusahaan-perusahaan yang
menggunakan pasir sebagai barang komoditasnya, bekerja sama dalam memanfaatkan
potensi pasir laut tersebut bersama pihak warga desa. Ternyata, kerja sama yang
diharapkan tidak “semanis” seperti yang diidealkan. Kami melihat banyaknya
kontroversi dan konspirasi terkait permasalahan kondisi lingkungan yang
dihadapkan dengan kebutuhan ekonomi dan kepentingan politik. Karya tulis ini
berupaya mendeskripsikan permasalahan penambangan pasir tersebut terkait aspek
ekologis, ekonomi, dan politik, dengan berbagai data yang kami dapat dari hasil
wawancara langsung narasumber dan kesekretariatan desa Tanjung Burung, didukung
dengan berbagai studi kepustakaan dan referensi.
Kata kunci: penambangan, pasir [laut], ekologi, ekonomi, politik.
Pendahuluan
Peradaban panjang Indonesia telah membuktikan bagaimana peran pesisir
dalam siklus pembentukan tatanan masyarakat. Kawasan pesisir berperan sebagai kota-kota pelabuhan.
Sungai seolah menjadi pusat peradaban dan pusat kegiatan yang tiada henti bagi
mereka. Dalam hal ini, dapat kita ketahui bahwa bagaimana orang sejak dulu
telah menyadari betapa besarnya peranan dari sungai demi keberlangsungan hidup manusia.
Desa Tanjung Burung
sebagai salah satu desa yang dilalui sungai tentu menjadi suatu hal yang istimewa.
Disadari atau tidak, potensi
sumber daya desa Tanjung Burung
dapat dieksplor dan tentu
menjanjikan keuntungan berlimpah. Pasir laut dan sungai menjadi potensi utama di
Desa Tanjung Burung. Sejak
tahun 80-an penambangan pasir di desa ini telah ada. Demikian pula eksplorasi
penambangan pasir sungai hingga sekarang masih tetap berlangsung.
Faktanya,
penambangan pasir yang masih berlangsung hingga saat ini mengundang kontroversi
dari berbagai kalangan. Benturan-benturan kepentingan seringkali terjadi dan
menjadi alasan utama munculnya kontroversi tersebut. Kepentingan ekonomi,
lingkungan, maupun
politik menjadi beberapa aspek yang terlibat. Kontroversi yang terjadi tentu
tak luput dari perhatian masyarakat desa.
Disadari atau tidak, mereka
tentu dapat merasakan dampak positif maupun
negatif dari penambangan pasir yang ada di sepanjang pinggiran sungai Cisadane yang melalui Desa Tanjung Burung tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan, penulis berusaha fokus untuk meneliti
bagaimana
kontroversi penambangan pasir ini terjadi. Dalam artian, peneliti lebih menitikberatkan pada kajian aspek ekologis, politik dan
ekonomi penambangan pasir di desa tersebut.
Metode penelitian ini ialah
penelitian langsung di lapangan yang dilakukan secara kualitatif. Metode
kualitatif yang dipakai bertujan demi menguak kontroversi penambangan pasir
yang ada serta bagaimana kepentingan politik, ekonomi, dan lingkungan bermain dalam arena ini. Selain penelitian langsung di lapangan,
peneliti juga melakukan studi pustaka untuk kajian lebih lanjut serta referensi
terkait dengan
penelitian ini.
Untuk menggambarkan hasil penelitian secara lebih sistematis, maka hasil penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian, di
antaranya gambaran umum Desa Tanjung Burung, kajian ekologis terhadap penambangan pasir di Desa Tanjung Burung, kajian ekonomi terhadap penambangan
pasir di Desa Tanjung Burung, dan kajian politik terhadap penambangan pasir di
Desa Tanjung Burung.
Gambaran Umum Desa Tanjung Burung
Secara geografis, Desa Tanjung Burung yang
terletak di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten ini, berada di
sekitar pesisir pantai utara jawa. Laut Jawa menjadi batas administrasi sebelah
utara desa ini, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan jalan raya utama
Teluk Naga. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung Pasir, dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane yang
memanjang dari utara ke selatan desa ini.[1][1]
Dari potensi alamnya,
kondisi di Desa Tanjung Burung terbilang cukup melimpah. Terbukti dari luas lahan daratan dan
perairan[i1] [i1] yang menjadi potensi besar desa ini. Meski terbilang luas dan potensial,
namun itu semua tidak mewujud menjadi hal yang dapat membuat warga setempat
memperoleh hasil yang memadai. Lahan-lahan yang ada tidak termanfaatkan dengan
baik. Seperti lahan yang ada di beberapa ratus meter sebelah utara gapura Desa Tanjung Burung, yang
lahannya malah dijadikan peternakan sapi Tum[2][2]. Dan, beberapa ratus meter ke utara, terlihat adanya tumpukan sampah
plastik yang dipilah oleh warga sekitar, yang kemudian menjual sampah hasil
pilahan tersebut ke perusahaan yang mau membelinya untuk diolah. Padahal, jika
lahan peternakan sapi dan lokasi pemilahan sampah plastik tersebut digunakan
oleh warga sekitar untuk keperluan – misalnya – pertanian, pertambakan, atau
perladangan, hasil dari pengolahan lahan itu bisa dirasakan langsung oleh warga
setempat. Bukan seperti yang sedang terjadi saat ini.
Meski memang benar pada kenyataannya juga telah
banyak lahan yang dimanfaatkan warga untuk pertanian, perladangan, pertambakan,
dan peternakan rumahan (kecil), namun pemandangan tidak mengenakkan seperti
pemilahan sampah plastik, atau pembuangan limbah galangan kapal ke aliran
sungai Cisadane, tidak dapat dipungkiri lagi. Seandainya hal itu tidak perlu
terjadi, mungkin kehidupan ekonomi warga Desa Tanjung Burung yang seperti
mereka impikan dapat secara stabil diwujudkan bersama kelestarian lingkungan
dan keasriannya.
“..., kita
gak suka sama hadirnya peternakan [sapi] itu, apalagi waktu warga ditawarin
[proyek] kompos oleh Tum itu. Itu nanti baunya ke mana-mana, limbah
pembuangannya langsung ke kali [Cisadane]. Terus, galangan [kapal] itu yang ada
di kanan jalan kalo dari sini, itu juga kita gak suka. Bau dari catnya, terus
limbah minyak dan karbit yang dibuangnya ke kali, bikin bau di sini, terus ikan
pada mati. Ditambah lagi setahun terakhir ini, di kiri jalan kalo dari sini,
ada tumpukan sampah plastik yang ntar dipilih-pilih mana plastik yang masih
bagus buat dijual lagi ke PT.... Tapi, kita gak dapet apa-apa. Malah
orang-orang atas (elit politik) yang dapet hasilnya dari peternakan dan
galangan itu…”
Dengan keadaan yang
seperti itu, masyarakat setempat telah mendaya-gunakan lahannya untuk membuat
tambak. Selain tambak, masyarakat desa ini juga ada yang menggantungkan
penghasilannya pada laut dan sungai dengan menjadi nelayan. Di sisi lain, juga
terdapat suatu potensi melimpah yang dimiliki desa ini selain lahan perkebunan,
tambak, dan perairan. Yakni, pasir laut (dan sungai). Sebelah utara desa yang
berbatasan dengan (pesisir) laut dan memanjang di sebelah barat dari utara ke
selatan Sungai Cisadane, membuat desa ini dianugerahi pasir laut yang melimpah.
Hingga menjadi sebab kenapa sekarang ini banyak penambangan pasir di daerah
aliran sungai Cisadane sampai ke muara.
Lalu, bagaimana kehidupan
masyarakatnya? Ternyata, kehidupan sosial masyarakatnya di sini cukup unik,
jika kita melihat dan terbiasa dengan kehidupan kota Jakarta saat ini. Terbukti
dari kebiasaan-kebiasaan kaum ibu-ibu yang
menghadiri suatu acara kondangan.
Mereka menghadiri acara kondangan dengan
bersama-sama dengan tetangga sedesanya (atau satu RW) dan terkoordinasi oleh
koordinatornya. Selain kondangan, ibu-ibu
juga aktif dalam kegiatan yang disosialisasikan oleh komunitas PKK
setempat. Tidak hanya ibu-ibu, para bapak-bapak dan remaja laki-laki pun
punya kegiatan unik, yakni ber-silat.
Para jawara silat di sini masih mumpuni,
termasuk Pak Sarnubi.
Pola interaksi antar
anggota masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal, secara umum
terbilang baik. Terlihat dari interaksi-interaksi warganya yang dinilai masih
tergolong guyub atau oleh Durkheim
disebut memiliki solidaritas mekanik.[4][4] Terdapat beberapa pendapat dari warga sekitar, salah satunya pendapat dari
Pak Guntur yang diselingi oleh ungkapan-ungkapan dari Pak Sarnubi dengan
mengatakan bahwa pola interaksi maasyarakat di desa ini masih cenderung ramah
dan tidak berbeda jauh dari pola interaksi 15 tahun yang lalu. Mereka
mengatakan[5][5] :
“ … kalo di
masyarakat sini sekarang mah, gak beda jauh sama yang dulu-dulu. Bedanya mah,
paling kalo lagi kumpul-kumpul, yang dulu biasanya jalan kaki atau naik sepeda,
sekarang udah pake motor. Yang bikin heran, udah ada motor, malah sering dateng
telat. Padahal dulu waktu jalan kaki atau sepeda, jarang yang telat, eh,
sekarang malah pada telat begitu pada punya motor. Kita mah gak tau yah kenapa
bisa telat, tapi kita gak boleh suudzan
(buruk sangka). Mereka kan juga manusia biasa, punya kegiatan sendiri
juga, begitulah istilahnya. … “
Mungkin, dari ungkapan
warga melalui Pak Guntur dan Pak Sarnubi tersebut, tersirat bahwa telah ada
sedikit perubahan pola interaksi pada masyarakat setempat, ditandai dari perubahan
kebiasaan-kebiasaan. Hal itu pun ditegaskan oleh Bapak Hasan Basri, selaku
sekretaris desa Tanjung Burung, dalam pernyataannya bahwa
masyarakat desa Tanjung Burung ini telah sedikit berubah, ditambah lagi dengan
suasana politik Indonesia yang mereka anggap sedang semrawut ini dan masuknya parpol-parpol ke desa.
Seperti itulah kondisi
geografis dan kehidupan sosial berbudaya masyarakat Desa Tanjung Burung. Mengenai proses penambangan pasir dan aspek-aspek tertentu di
dalamnya, akan dibahas pada sub-bab pembahasan berikutnya.
Terkait mengenai potensi
pasir di Desa Tanjung Burung, memang sudah sejak lama sumber daya alam pasir
ini tersedia. Tidak ada yang tahu pasti kapan pasir laut ini mulai ada di
daerah ini. Para narasumber yang kami wawancarai pun mengakui tidak mengetahui
secara pasti kapan pasir laut di desa ini mulai ada. Mereka mengungkapkan bahwa
pasir laut di sini sudah ada sejak lama, bahkan mungkin sebelum desa ini ada,
namun mulai ada penambangan pasir laut itu mulai tahun 80-an.[6][6]
Beberapa narasumber kami
yang berprofesi sebagai penambang pasir, warga desa, maupun tokoh masyarakat
menilai bahwa pasir laut di desa ini (dan di desa-desa yang berada di daerah
aliran sungai Cisadane dan sekitar muara) cukup bagus, melimpah, dan murah.[7][7] Kualitasnya yang dinilai baik oleh pihak penambang dan pembeli pasir,
membuat pasir laut di desa ini menjadi barang komoditas ekonomi yang menjadi andalan desa Tanjung Burung saat ini.[8][8] Jumlah yang melimpah dan terbilang murah pun, menjadi faktor pendukung
yang membuat pasir laut di desa ini terus diekplorasi dan diambil untuk dijual
tiap harinya.
Kajian Ekologi terhadap Penambangan Pasir di Desa Tanjung Burung
Penambangan pasir yang terdapat di wilayah Desa Tanjung
Burung, ternyata merupakan akibat-sebab dari suatu fenomena lain. Fenomena
konflik sumber daya alam merupakan isu ekologis yang secara instrumental
menjadi garapan ekologi manusia. Apa penyebab lahirnya penambangan pasir di
daerah ini? Ternyata, Bapak Guntur selaku mantan ketua LH Tanjung Burung,
mengatakan bahwa penambangan pasir akibat dari limbah kota dan industri. Limbah
yang mulai datang pada awal tahun 1990-an, memasuki aliran Sungai Cisadane
secara berkala (setahun sekali) yang berdampak pada perpindahan
kumpulan-kumpulan ikan yang semula berada di tempat terdalam di sungai yang
biasanya terdapat pada bagian tengah dari lebar sungai, ke pinggiran/tepian
sungai karena limbah yang memiliki massa lebih berat dari air bergerak ke hulu
menyusuri bagian tengah sungai Cisadane ini. Sehingga, penduduk memiliki
kesempatan untuk panen ikan ketika limbah datang. Dalam hal ini terlihat sisi
ekologi manusia yaitu adanya hubungan timbal balik makluk hidup (manusia)
dengan lingkungan hidupnya.
Namun, perlahan tapi
pasti, 15 tahun terakhir ini ternyata banyaknya limbah yang mengalir dari
“atas” semakin meningkat kuantitasnya bersamaan dengan tingkat kejenuhan
material yang terkandung. Hal itu berakibat pada banyaknya ikan-ikan yang tidak
dapat bertahan hidup saat harus berhadapan dengan limbah itu. Hingga sejak 6-8
tahun terakhir tidak ada lagi ikan yang bisa di panen, kecuali ikan sapu-sapu
yang kemampuan daya tahan untuk bertahan hidupnya tinggi. Namun, ternyata ikan
sapu-sapu pun kini sudah berkurang bahkan tak ada lagi yang mampu hidup di
sungai Cisadane di aliran desa Tanjung Burung.[9][9]
Ketiadaan ikan-ikan di aliran sungai Cisadane Tanjung
Burung ini, serta semakin sedikitnya lahan-lahan persawahan, lalu karena ulah-ulah beberapa anggota masyarakat
yang menginginkan membangun/membuat lahan tambak, mereka menjual pasir yang
merupakan hasil pengerukkan tambak itu ke orang yang membutuhkan pasir untuk
membangun gedung/rumah. Lalu, dengan itu, ditemukanlah potensi baru dari desa
Tanjung Burung berupa pasir pantai dengan berbagai kualitas yang akhirnya
menjadi salah satu potensi besar yang dimiliki desa Tanjung Burung. Hingga
membentuk suatu kesempatan kerja baru berupa penambangan pasir pantai.
Sayangnya, penambangan
pasir ini tidak menggunakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan),
sehingga terlalu banyak pasir yang diambil di tepian sungai dan laut yang
berakibat pada intrusi air laut (asin) dan air payau ke dalam tanah yang
nantinya dikonsumsi untuk kebutuhan masyarakat. Di mana tingkat salinitas yang
tinggi tidak baik bagi peredaran darah tertutup pada manusia umumnya. Di sisi
lain, penambangan pasir ini juga berdampak pada melebarnya tepian sungai
Cisadane yang mengaliri desa Tanjung Burung ini dan meningkatnya tingkat
kerusakan akibat abrasi di bagian utara desa Tanjung Burung. Dalam arti lain,
tiap tahunnya, desa Tanjung Burung mengalami penyempitan wilayah daratan, dan
terancam longsor pada daerah-daerah di sepanjang tepian sungai dan laut. Inilah
akibat dari penambangan pasir yang dikategorikan “tidak memenuhi persyaratan
hukum ekonomi dan potensi.”
1
|
Limbah Masuk Normal è Tiap Tahun è Panen Ikan
|
2
|
Limbah Masuk Tinggi è Panen Ikan
Habis è Kecuali
Sapu-sapu
|
3
|
Limbah Masuk Makin Tinggi è Sapu-sapu
lenyap è Tambak
|
4
|
Tambak è Pasir Hasil
Galian Dijual è Jadi Modal +
Bahan Bangunan
|
5
|
Pasir Jadi Potensi è Penambangan
Pasir è Tidak AMDAL è Kerusakan Lingkungan dan Kerugian
|
6
|
Kerusakan Lingkungan è Intrusi dan
Abrasi
|
7
|
Kerugian è Materi dan
Korban Jiwa
|
Pemaparan di atas lebih kurang telah mendeskripsikan kondisi perlakuan
masyarakat Desa Tanjung Burung terhadap kali yang ada di sana. Indikasi adanya
destabilisasi keseimbangan alam pun telah tampak. Dalam hal ini, kajian ekologi
bisa menganalisisnya. Ekologi merupakan sebuah multi-disiplin di mana fokus
perhatiannya pada dinamika hubungan interaksional antara sistem sosial dan
sistem ekologi yang juga memerlukan dukungan dari beberapa cabang ilmu lain
untuk melengkapinya.[10][10] Dinamika internal ekosistem selalu berkaitan antara faktor biotik dan
faktor abiotik. Faktor biotik di sini adalah manusia atau masyarakat Desa
Tanjung Burung dan faktor abiotik di sini adalah Sungai Cisadane yang dikeruk
potensi pasirnya.
Pengerukan pasir di Sungai Cisadane sekitar Desa Tanjung Burung sendiri
tidaklah terlepas dari pengaruh atau kebijakan para elit politiknya. Kajian
ekologi politik selalu mempertanyakan kekuatan (ekonomi dan politik) apakah
yang sesungguhnya telah menyebabkan rusaknya pesisir? Jika keadaan lingkungan
merupakan produk dari proses-proses politik maka tidak terlepas adalah
keterlibatan proses dialektik dalam politik ekonomi.[11][11] Penurunan kualitas dari Sungai Cisadane sekitar Tanjung Burung dengan
pengerukan pasir yang terus dilakukan sebenarnya bertujuan untuk memanfaatkan
potensi pasir di sungai tersbeut. Juga untuk meningkatkan ekonomi dari
masyarakat stempat. Tetapi pengambilan potensi pasir yang dilakukan masyarakat
Desa Tanjung Burung tidaklah disertai dengan penghitungan faktor lingkungan
atau sisi ekologinya. Apabila terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam
proses pertukaran-pertukaran dalam sistem ekologi, maka keseluruhan sistem akan
mengalami gangguan yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam, dalam hal
ini kawasan Sungai Cisadane sekitar Desa Tanjung Burung. Pada akhirnya,
ketidakseimbangan yang telah terjadi di Sungai Cisadane sekitar Tanjung Burung
tersebut malah menyebabkan kesusahan tersendiri bagi masyarakat Tanjung Burung.
Betapapun kecilnya fungsi dan peranan sebuah komponen ekosistem,
keberadaannya tetap harus dipertahankan dan dilestarikan. Akan tetapi melihat
penggalian pasir yang ada di Desa Tanjung Burung telah menyingkap adanya
kontradiksi antara kepentingan ekonomi dan politik dengan kepentingan ekologi.
Sejatinya, dalam paham ekologi, pendekatan untuk mencapai derajat kesejahteraan
adalah dengan pertukaran yang adil dan seimbang. Pertukaran yang adil dan
seimbang ini jika dikaitkan dengan penggalian pasir di Tanjung Burung bisa
berupa peran apa yang dilakukan oleh masyarakat Tanjung Burung terhadap
lingkungan sungai disamping aktivitas penggalian pasir terus dilakukan. Jadi,
masyarakat mengambil untung dari pasir di sungai tetapi lingkungan pun tetap
merasakan pertularan yang adil, lingkungan tetap dipelihara, misalnya saja
peran yang bisa dilakukan adalah melakukan penggalian atau bpenambangan pasir
yang berbasis AMDAL. Kode etik dalam pemanfaatan sumber daya alam di paham
ekologi sendiri adalah dengan hidup bersama antar elemen makhluk diiringi
dengan pembagian ruang yang adil.
Landasan moral dari rasionalisme ekologi sendiri adalah dengan preservasi
dan perbaikan material dan ecological
basis of society yang diperlukan agar berjalannya berbagai fungsi dan
struktur rasional dalam kehidupan seperti aktivitas penambangan pasir tersebut
yang lebih berorientasi pada ekonomi. Kemudian adalah nilai moralitas yang
senantiasa mendorong seseorang atau anggota komunitas untuk berupaya maksimal
dan menciptakan situasi optimal bagi terbentuknya sistem sosial –ekologi yang
jauh dari ancaman ekologis[12][12]. Proyek-proyek yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi harus
dipikir-pikir ulang. Dengan mengacu pada landasan moral tersebut, diharapkan
kedepannya seluruh aspek masyarakat (semua golongan dari elit pengabil
keputusan sampai warga biasa) yang berhubungan kesehariannya dengan Sungai
Cisadane tersebut dapat lebih bersikap arif dan berpikir rasional akan segala
kebijakan terkait penambangan pasir di daerah tersebut. Dengan demikina,
diharapkan destabilitasi lingkungan sekitar sungai bisa dikurangi tetapi
ekonomi dari masyarakat Tanjung Burung tetap hidup, dengan atau tanpa
penambangan pasir.
Kajian Ekonomi terhadap Penambangan Pasir di Desa Tanjung Burung
Desa Tanjung Burung,
desa yang di dalamnya akan Anda dapati sebuah daerah yang masih jauh tertinggal
dari hiruk-pikuk perkotaan. Di sini jangan harap anda akan bertemu gedung-gedung perkantoran,
pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, bahkan minimart sekalipun. Kegiatan bisnis
(baca: perdagangan) seperti itu hanya diwakili oleh warung-warung kecil, maupun
kegiatan sektor informal lain yang berciri pedesaan.
Namun demikian, justru disanalah keistimewaan Tanjung
Burung. Meskipun secara geografis, Desa Tanjung Burung berada di tengah-tengah
metropolitan Tangerang yang notabene merupakan penyangga ibukota Jakarta, akan
tetapi Desa Tanjung Burung sendiri masih jauh dari kesan kemewahan seperti
halnya yang biasa dipamerkan wajah kota metropolitan. Sekumpulan orang yang
sedang memancing, sekelompok warga yang sedang bercengkerama satu sama lain,
dan pemandangan khas desa lainnya masih menjadi pemandangan yang tak sulit
untuk dijumpai.
Walau hanya mengandalkan jalan yang lebarnya tak lebih dari 3 meter sebagai
akses utama, namun lambat laun mampu membuat ekonomi Desa Tanjung Burung terus perlahan naik dari waktu ke
waktu. Kondisi alam Tanjung Burung yang masih “hijau” dan letaknya yang berada
di pesisir laut jawa, membuatnya menjadi kandidat kuat primadona baru bagi
warga ibukota yang haus akan tempat wisata. Kian hari, sumber pemasukkan pundi
pun kian bervariasi. Berbagai sektor pun berdatangan dan mewarnai ekonomi Desa
Tanjung Burung. Mulai dari wisata air, tambak, warung kecil, rumah makan,
tempat pemancingan, hingga penambangan pasir pun turut ambil bagian dalam perekonomian Desa
Tanjung Burung.
Seperti
halnya di wilayah lainnya, di mana ada peluang pertumbuhan ekonomi, di situ
pula investor akan berbondong-bondong untuk menanamkan investasinya. Hal itulah
yang kini menghinggapi Desa Tanjung Burung. Berbagai macam usaha seperti yang
telah dijabarkan di atas, ternyata
banyak dimiliki oleh orang-orang di luar Tanjung Burung. Para investor begitu
jeli dalam membaca peluang bisnis di Desa Tanjung Burung yang memiliki banyak
potensi bisnis. Sebut saja dari sektor perikanan dan pariwisata, yang dalam
ilmu ekonomi disebut dengan sektor ekonomi riil[13][13], dapat dikatakan cukup menjanjikan untuk
mendatangkan pundi demi pundi ke kantong para penanam investasi.
Begitu
pun halnya dengan penambangan pasir yang ada di Desa Tanjung Burung itu
sendiri. Dalam tulisan ini, kami akan memfokuskan kajian kami pada penambangan
pasir karena tentang lahan perekonomian lainnya telah dikaji oleh kelompok yang
lain. Penambangan pasir, sebuah proses di mana manusia mengambil pasir-pasir dari
kawasan sungai, untuk kemudian dijual dan dijadikan bahan bangunan. Penambangan
pasir memang acapkali menjadi primadona bagi perekonomian masyarakat pesisir,
termasuk masyarakat Desa Tanjung Burung.
Penambagan pasir yang
ada di Desa Tanjung Burung ini sendiri sudah berumur kurang lebih mencapai 25
tahun. Sebuah umur yang cukup fantastis untuk sebuah keberlangsungan bisnis.
Terbayang, berapa banyak pundi yang berhasil mampir ke saku-saku investor
maupun warga Desa Tanjung Burung itu sendiri.
Akan tetapi,
keberlangsungan penambangan pasir ini bukannya tanpa ganjalan begitu saja.
Dalam penambangan pasir yang dilakukan di Desa Tanjung Burung itu sendiri,
banyak terjadi kotroversi. Mulai dari legalitas penambangan pasir itu sendiri
hingga masalah lingkungan begitu menjadi sorotan warga Desa Tanjung Burung itu
sendiri dan beberapa pihak di luar Desa Tanjung Burung.
Dalam segi bisnis pun,
penambangan pasir di Desa Tanjung Burung pun terbilang “jorok” atau dengan kata
lain banyak melakukan pelanggaran. Mulai dari aplikasi penambangannya hingga
nilai etik pun sedikit diabaikan oleh pengusaha penambangan pasir. Penambangan
pasir yang notabene termasuk ke dalam bisnis di bidang sumber daya alam yang
terbatas, seharusnya memperhatikan tentang biaya peluang atau oppotunity cost[14][14]. Opportunity
cost dalam kasus perbisnisan ini, berarti bahwa tiap-tiap bisnis di bidang
sumber daya alam yang terbatas ini, haruslah memperhatikan tentang cadangan
sumber daya itu sendiri agar tak mengorbankan keseimbangan alam maupun kehidupan
masyarakat sekitar.
Kajian Politik terhadap Penambangan Pasir Desa Tanjung Burung
Politik, hal yang selalu dikaitkan dengan kekuasaan
dan wewenang ini hadir dalam berbagai aspek kehidupan yang dijalani manusia.
Karena memang menurut Talcot Parson, politik adalah salah satu unsur kehidupan
yang harus ada dan berjalan sesuai fungsinya. Begitu pun halnya di Desa Tanjung Burung, percaturan politik pun terjadi demi menjaga
keseimbangan faktor-faktor penyusun kehidupan itu sendiri.
Dalam kasus penambangan pasir di Desa Tanjung Burung ini pun syarat akan campur tangan politik di dalamnya, statusnya yang ilegal namun mampu terus bertahan
hingga sekarang, menandakan bahwa di baliknya begitu banyak muatan politik.
Tanda-tandanya dapat dibaca secara kasat mata, di mana tak ada upaya-upaya
pihak teknokrat untuk menghentikan penambangan pasir ini, padahal dampak-dampak
negatifnya telah dirasakan warga sekitar, bahkan warga pun telah mencoba
mengajukan protes ke pemerintah, namun tetap saja mentah dan tak mengubah apa pun.
Setali tiga uang dengan fenomena
penambangan pasir tersebut, ternyata dalam keilmuan sosiologi, kecenderungan
seperti ini telah disinggung jauh-jauh hari. George Simmel dalam bukunya The Philosophy of Money, menegaskan
bahwa uang yang tadinya tercipta sebagai alat pembayaran atau alat pertukaran
barang atau jasa, telah mengalami perluasan definisi. Simmel menegaskan
bahwasanya uang mampu mereduksi kualitas menjadi kuantitas[15][15], maksudnya adalah uang telah
menjadi komoditas yang di dalamnya terjadi transaksi kepentingan, yang di
dalamnya ditentukan seberapa besar uang yang bermain diantara mereka.
Dalam kasus penambangan pasir ini, yang ternyata turut
melibatkan elit-elit desa setempat, uang memiliki peran
untuk memback-up elit desa agar nantinya dapat meredam gelombang
penolakkan dari warga maupun dari aktivis lingkungan yang ada. Royalti per
bulan yang diberikan pemilik tambang kepada elit desa, disinyalir sebagai bukti yang kuat dan jadi penyebab utama dari tumpulnya mata pisau pemerintah saat berhadapan dengan
ilegalisasi pasir yang terjadi di Desa Tanjung Burung. Padahal nominal yang
diterima para elit pun hanya berkisar puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah
saja. Sebuah nominal yang tentu saja tak sebanding dengan keuntungan yang
diterima pemilik tambang serta kerusakan alam yang terjadi akibat penambangan
tersebut.
Fenomena politik terkait penambangan pasir ini pun tak
berhenti sampai di situ, sistem dualisme sekdes yang ada di Desa Tanjung Burung
pun ternyata turut berperan dalam bertahannya penambangan pasir ilegal ini.
Sistem Pilkades yang berbeda dengan periode-periode sebelumnya, mendorong
terjadinya sebuah pemilihan kepala desa seperti layaknya pilkada ataupun
pilpres. Di mana tiap calon maju secara pasangan, dan tentunya disponsori oleh
pihak-pihak tertentu. Hal ini pula lah yang diduga beberapa tokoh masyarakat
Desa Tanjung Burung berkaitan dengan tetap bertahannya penambangan pasir ilegal
tersebut. Bos-bos penambang ini disinyalir turut mensponsori kemenangan kepala
desa yang menjabat sekarang ini.[16][16]
Kesimpulan
Dari
Penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bagaimana eksplorasi sumber daya
alam, dalam hal ini penambangan pasir berimplikasi pada kehidupan masyarakat
Desa Tanjung Burung. Dalam hal ini terlihat, bagaimana keseimbangan lingkungan
terganggu akibat adanya penambangan pasir yang faktanya memang profit oriented. Banjir, sendimentasi lumpur sungai, dan erosi tanah di
sepanjang pinggir sungai menjadi beberapa implikasi negatif yang ditanggung lingkungan.
Selain itu
kepentingan yang bersifat politis pun turut andil untuk melanggengkan
penambangan pasir yang didominasi oleh beberapa perusaahaan yang notabennya cukup besar. Bentrok kepentingan yang terjadi, juga melibatkan aparat
birokratis desa yang secara tidak langsung memperoleh keuntungan atas adanya
penambangan pasir yang sedang berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, Arya Hadi. 2007. “Dinamika Sosio-Ekologi
Pedesaan : Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi
Lingkungan dan Ekologi Politik” dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan
Ekologi Manusia.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Post-modernisme. Jakarta: Kanisius.
Ritzer, George dan Douglas J.
Goodman. 2011. Teori Sosiologi : dari
Teori Sosiologi Klasik sampai Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Tim Erlangga. 2000. Pasar Modal dan
Manajemen Portofolio. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
[1][1] Data didapat dari pengamatan
langsung penulis, dengan referensi data tertulis dari kesekretariatan desa.
[7][7] Berdasarkan hasil wawancara oleh
beberapa narasumber pada tanggal 22 April 2012, pukul 10.30-11.45.
[8][8] Berdasarkan hasil wawancara dengan
Pak Jenggot pada tanggal 20 April 2012, pukul 16.35. Pak Jenggot merupakan
salah seorang penambang pasir lepas (freelance),
sekaligus pembeli pasir demi keperluan proyek bangunan.
[10][10] Arya Hadi Darmawan, “Dinamika
Sosio-Ekologi Pedesaan : Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia,
Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik” dalam Sodality : Jurnal Transdisiplin
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, Vol. 1 No. 1, April 2007, hal 11.
[13][13] Tim Erlangga, Pasar Modal dan Manajemen
Portofolio, Jakarta :
Penerbit Erlangga. 2000. Hal. 284.
[14][14] Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya dan
Lingkungan, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2004. Hal. 64.
[15][15] John Lechte, 50 Filsuf
Kontemporer: dari strukturalisme sampai post modernisme, Jakarta : Kanisius. 2001. Hal. 339.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar