SOSIOLOGI PEDESAAN :
Adaptasi Ekologis dan Diaspora Para Nelayan Demak
di Desa Tanjung Burung
Disusun oleh :
Afriani
Caesar Akbar Prasetyo
Dwi Agus Supriyadi
Fitri Pitri
Rifka Kamila
Adaptasi Ekologis dan Diaspora Para Nelayan Demak
di Desa Tanjung Burung
Abstrak
Penelitian yang dilakukan di Desa Tanjung Burung, Tangerang terhadap
nelayan di pesisir pantai, bertujuan untuk mengetahui bagaimana dominasi
nelayan Demak di Desa Tanjung Burung.
Melalui wawancara mendalam terhadap sejumlah nelayan di Desa Tanjung Burung,
kami pun mengetahui bagaimana mereka dapat beradaptasi untuk dapat bertahan
hidup sebagai nelayan. Diaspora nelayan Demak di Desa Tanjung Burung salah
satunya adalah memanfaatkan kemampuan mereka seperti mengajari, sehingga
regenerasi terhadap nelayan Demak pun semakin banyak, mereka pun juga
mengetahui dari mulut ke mulut besarnya potensi tangkapan hasil laut seperti
udang di Desa Tanjung Burung. Dilengkapi dengan foto sebagai tambahan untuk
mendeskripsikan kondisi nelayan di Desa Tanjung Burung.
Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara yang strategis dan diapit oleh dua samudera dan dua samudera
sehingga letak Indonesia yang strategis tersebut wilayah perairan Indonesia
menjadi urat nadi bagi perdagangan asia bahkan dunia. Negara Indonesia yang
bukan hanya merupakan Negara yang unik namun Indonesia juga bercirikan
kelautan, karena negara Indonesia memiliki hamparan yang luas yang ditebari
beribu-ribu pulau dari sabang sampai merauke. Memiliki jumlah pulau lebih
dari 13.500 buah, Indonesia adalah Negara dengan pantai terpanjang ke dua di
dunia[1][1]. Bangsa Indonesia pun tak
luput dalam memanfaatkan letak geografis Indonesia yang merupakan wilayah
perairan.
Kemampuan dalam mengelola perairan di Indonesia salah
satunya menjadi modal utama dalam memanfaatkan wilayah laut dan sumber daya
yang terkandung di dalam air sejak kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dua
kerajaan tersebut pernah menjadi center
of excellence di bidang maritim[2][2]. Namun, mengalami kemorosotan
dalam membangun budaya maritim di Indonesia sejak turunnya masa kejayaan
Sriwijaya dan Majapahit tentang budaya maritim. Dalam membangun kebudayaan
Bahari atau maritim bukan hanya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit saja
perjuangan mengembangkan kebaharian nusantara pun berlanjut. Pada tahun 1998,
presiden BJ Habibie kembali mendeklarasikan pembangunan kelautan Indonesia
yaitu “Deklarasi Bunaken”, inti dari
deklarasi tersebut adalah pemahaman bahwa laut merupakan peluang dan tantangan
untuk masa depan[3][3].
Pengembangan budaya bahari atau maritim bukan hanya
dari presiden BJ Habibie saja, namun ketika tahun 1999 presiden Abdurrahman
Wahid yang menyatakan komitmennya dalam “Pembangunan
Kelautan di Indonesia”[4][4]. Dalam pengembangan budaya Bahari
pada masa Abdurrahman Wahid terbentuklah DKP (Depatemen Kelautan dan Perikanan)
dan DMI (Dewan Maritim Indonesia). Terbentuknya kepengurusan terhadap kelautan
di Indonesia, merupakan wujud dari Indonesia memanfaatkan letak geografis
Indonesia dengan mengembangkan budaya Bahari
sejak perjuangan pendahulu kita, seperti yang terlukiskan di dalam lagu
anak-anak yang berjudul Nenek Moyangku, liriknya menceritakan bagaimana
semangat juang yang tertanam pada orang-orang terdahulu dalam budaya bahari.
Kesinambungan pemanfaatan budaya bahari bukan hanya
sampai pada kepengurusan saja, pemanfaatan selanjutnya adalah kebutuhan ekonomi
melalui mata pencaharian, yaitu nelayan. Pemanfaatan kelautan dalam pemenuhan
ekonomi dalam mata pencaharian sebagai nelayan merupakan salah satu wujud
pentingnya lautan bagi bangsa Indonesia. Nelayan hadir bukan hanya memenuhi
kebutuhan ekonomi untuk pribadi saja, namun mereka adalah penyumbang kuantitas
produksi perikanan tangkap nasional[5][5].
Pemanfaatan wilayah perairan pantai untuk nelayan,
baik pantai lepas maupun peisir pantai. Seperti Demak yang merupakan daerah
perkembangan budaya bahari yang termasuk cepat, untuk itu nelayan demak pun tak
dapat dipungkiri kelihaiannya dalam menangkap ikan. Nelayan Demak tersebar di
pesisir pantai salah satunya adalah Desa Tanjung Burung.
Desa Tanjung Burung pun merupakan salah satu desa
pesisir kemiskinan structural yang berpotensial terbukti banyaknya nelayan dari
berbagai daerah termasuk Demak yang melirik besarnya potensi tangkapan udang dan
ikan di Sungai Cisadane. Nelayan di desa Tanjung Burung pun hanya sedikit yang
masuk dalam kategori nelayan pemilik, kebanyakan nelayan buruh yang menaungi
hidupnya di desa tanjung Burung. Nelayan-nelayan buruh pun hadir dari Demak
yang memutuskan untuk tinggal di Desa Tanjung Burung, Tangerang.
Keputusan para nelayan Demak di Desa Tanjung Burung
karena melihat besarnya potensi kekayaan hasil tangkapannya. Melalui adaptasi
ekologi-sosial mereka pun dapat bertahan hidup. Serta diaspora nelayan Demak
pun semakin merambah dalam kehidupan pesisir di Desa Tanjung Burung.
Risalah Datangnya Nelayan di Tanjung Burung
Dalam
sejarah yang telah dijelaskan diatas, kepulauan Indonesia sejak abad VII secara
ekonomi telah dipersatukan oleh kerajaan sriwijaya dengan menguasai lalu lintas
perdagangan dari barat dan timur, dari utara dan selatan di selat Malaka, laut
cina selatan dan laut jawa. Pada abad XIII konsep penyatuan kepulauan Indonesia
secara poliitk dibawah satu kekuasaan dari kerajaan singasari melalui semboyan Cakrawala Mandala Dwipantara . semboyan
ini kemudian diwujudkan oleh Maha Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit pada
abad ke XIV melaui sumpah Palapanya. Dilihat dari segi geografis, Indonesia
memiliki lautan 2/3 dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Secara bertahap
bangsa ini bertransformasi, pertama
negara ini disebut sebagai Negara maritim, kedua
berubah menjadi Negara agraria dan saat ini berlanjut pada bentuk negara
semi industri.
Tak dapat
dipungkiri Negara maritim telah pernah menyentuh bangsa ini, masa jaya yang
pernah diciptakan pada masa kerajaan dulu saat ini belum bisa terulang. Meski
bangsa ini telah memasuki fase semi industry, tetap saja ada masyarakat yang
tetap mengagungkan kelautan sebagai lahan dasar mereka untuk menyambung kehidupan.
Keterbukaan, kemandirian dan keberanian menjadi ciri khas terhadap masyarakat
yang masih mengagungkan budaya maritim. Contohnya saja para nelayan yang berada
di Tanjung Burung mereka secara terbuka
untuk menerjang zaman yang terus berubah, saat ini mencari ikan dan udang
semakin sulit namun mereka tetap teguh dan tidak mengeluh dalam menrima cobaan
seoerti itu. Bantuan dari pemerintah, itu seakan menunggu hujan uang dari
indhnya pelangi. Oleh karena itu para nelayan disana menciptakan komunitas
untuk membuat koperasi nelayan agar ketika musim paceklik maka nelayan tak
perlu khawatir akan musim tersebut karena adanya simpanan. Namun, koperasi
tersebut saat ini telah sirna karena adanya oknum nelayan yang menodai
kepercayaan nelayan lain. Isu BBM kemarin saja membuat nelayan yang ada di
Tanjung Burung menjadi gelisah, pemerintah seakan telah tunanetra terhadap
rakyat kecil. Seolah tidak berfikir bahwa orang miskin yang ada di bangsa ini
masih banyak, jika BBM jadi naik ebtah nasib nelayan nantinya. Keberanian
mereka memang tak hilang, laut yang tak jelas kondisinya tetap akan mereka
terjang jika memang musim ikan dan udang sedang berjalan.
Hasil penelitian kami
mendapati bahwa nelayan yang pertama kali datang ke Tanjung Burung adalah pak
Jafar beserta keempat kawan-kawannya, Pak Jafar merupakan nelayan yang berasal dari Jepara, akan tetapi
teman-temannya yang datang bersama ke Tanjung Burung berasal dari Demak.
Menurut penuturannya,
sebelum menginjakan kaki di
Tanjung Burung pak Jafar menghabiskan waktu untuk mencari nafkah di Tanjung
Pasir. Karena alasan di Tanjung pasir
ombaknya terlalu besar dan ada sejumlah biota laut yang sering menempel
dibadan kapal yang mengakibatkan kapal milik beliau menjadi rapuh dan cepat
rusak, serta di Tanjung Pasir jumlah ikan dan udang mulai mengalami penurunan sehingga pak Jafar
dan kawan-kawan mulai mencari sumber ikan dan udang yang masih berkuantitas
banyak.
Faktor
ekonomi yang menarik mereka untuk mengarungi tempat lain agar mecukupi
kebutuhan hidup, salah satu kawan dari pak jafar mengatakan bahwa nelayan itu
laksana burung yang terus terbang untuk
mencari makanan. Nelayan juga begitu, nelayan harus terus menerjang
ombak untuk mencari sumber ikan dan udang. Tak ada kata berdiam diri bagi
nelayan jika ingin terus hidup. Pada awalnya mereka nelayan yang pertama datang
di Tanjung Burung, namun karena relasai social yang tercipta karena adanya
interaksi dengan nelayan-nelayan mengakibtakan nelayan yang ada di Tanjung
Burung saat ini semakin bertambah.
Nelayan di
Tanjung Burung lebih dikenal dengan sebutan nelayan Demak, walaupun Pak jafar berasal dari jepara akan tetapi
relasi social yang dia dan teman-temannya lakukan mayoritas bersentuhan dengan
nelayan Demak. Maka tak heran apabila saat ini di Tanjung Burung lebih banyak
nelayan yang berasal dari Demak. Bibit diaspora mulai terjadi dengan adanya
relasi social yang mereka lakukan, info mulut ke mulut seakan menjadi media
yang ampuh untuk meregenerasi nelayan Demak secara berkelanjutan.
Tempat
istirahat para nelayan Demak terlihat benar-benar sederhana, tak Nampak
kemewahan yang tercipta. Hanya gubuk dari bilik bamboo yang telah menua,
pencahayaan dari lampu bohlam yang secara remang-remang terpancarkan, serta
televisi berwarna hitam yang setia untuk
menhibur mereka. Kesan nelayan hidup termarginalkan itu memang adanya, kesan
hidup apa adanya itu bukan sebuah penipuan tapi memang sebuah kenyataan. Namun,
setelah kami mengulik lebih lamna tentang kehidupan mereka. Ternyata mereka
berkata bahwa kehdiupan saat ini lebih baik dibandingkan dengan masa lampau.
Dulu mereka tidak tinggal di gubuk seperti sekarang, mereka tinggal di
perahu-perahu yang seti amereka gunakan untuk mencari sumber penghasilan. Tak
heran mereka pernah menyandang predikat ”Manusia Perahu” ternyata sebab itulah
mereka pernah mendapatkan label tersebut. Gubuk yang menjadi tempat tinggal,
televisi yang mereka gunakan untuk menghibur diri dan listrik yang mereka
nikmati. Hal tersebut tidak semerta-merta dapat secara ajaib atau turun dari
langit. Semua fasilitas yang mereka dapatkan, itu semua dari pelele.
Di desa
tanjung burung, para nelayan bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mencari ikan
dan udang. Kerja keras mereka berbeda dengan dulu kala, saat ini mereka harus
lebih kerja keras lagi karena sumber ikan dan udang telah sulit dicari. Limbah
pabrik, polusi dari pembuangan bahan para nelayan dan sampah yang terus menerus
bertambah yang membuat mereka harus bekerja lebih keras lagi. Boeke mengatakan
“ desa itu bukan tempat untuk bekerja, tetapi tempat ketenraman. Ketentraman
itu adalah pada hakekatnya hidup yang sebenarnya bagi orang timur”.[6][6] Namun pernyataan dari boeke tidak dapat digunakan ketika studi kasusnya
adalah Desa Tanjung Burung, disini para nelayan bekerja keras dengan giatnya,
ketentraman memang ada tapi tak mutlak mereka cicipi. Konsep yang mereka
gunakan adalah ketentraman hadir setelah kerja keras telah mereka jalani.
Seiring
dengan datangnya demak di Desa tanjung Burung, maka ada sebuah transformasi
dari segi pekerjaan di Desa Tanjung Burung. Nelayan, itulah profesi baru dari
masyarakat Desa Tanjung Burung ketika nelayan Demak mulai
datang. Pada
awalnya masyarakat Desa Tanjung Burung hanya menjadi pembantu bagi para nelayan
Demak, mereka hanya bisa sekedar mambantu saja. Masyarakat Desa Tanjung Burung
memang asing dengan pekerjaan sebagai Nelayan, oleh karena itu mereka ketika
ingin menggeluti pekerjaan tersebut harus banyak belajar. Awalnya mereka memang
hanya membantu sebisanya saja ketitka nelayan Demak sedang melaut, seiring
waktu yang terus berjalan dan masyarakat Desa Tanjung Burung mendapatkan proses
belajar secara langsung oleh para nelayan Demak, maka tak heran secara perlahan
mereka sudah mulai bisa melaut dan menjadi nelayan.
Kami secara
tak sengaja mewancarai mantan ketua RT di Tanjung Burung, dia saat itu sedang
memperbaiki jaring-jaring diperahunya. Beliau mengatakan bahwa dia menjadi
nelayan saat ini berkat jasa para nelayan demak yang mengajari dia sebagai
nelayan, bahkan awalnya dia hanya menumpang perahu dari nelayan demak untuk
melaut. Namun, saat ini dia telah memiliki satu buah perahu untuk mengantarnya
ke laut dan mencari udang beserta ikan. Orang mempelajari simbol sekligus makna
dalam interaksi social. Kendati merespon tanda tanpa berfikit, orang meresepons
melalui proses berfikir. Tanda memiliki arti sendiri. Simbol adalah objek
social yang digunakan untuk mempresentasikan apa-apa yang memang disepakati
bisa dipresentasikan oleh simbol tersebut.[7][7]
Dalam
kehidupan nelayan demak pun memiliki symbol-simbol tersendiri dan biasanya
hanya nelayan demak lah yang mengetahui makna dari simbol-simbol yang mereka
ciptakan. Yang paling jelas terlihat yaitu mengenai perahu mereka, nelayan
demak ketika di tengah lautan dapat mengenali kawan mereka melalui perahu yang
mereka gunakan. Perahu demak biasanya lebih cekung dan meninggi dibagian ujung
kapal. Serta dari segi lukisan kapal memilki perbedaan, secara kasat mata
perahu nelyaan demak dilukis seperi motif batik dan biasanya berwarna cerah.
Adaptasi Ekologi Sosial di Desa Tanjung Burung
Manusia
merupakan satu komponen dari suatu jaringan komponen dalam ekosistem tertentu,
masing-masing komponen dari suatu lingkaran ekologi mempunyai peranan menurut
fungsi dan kebutuhannya, masing-masing saling menyesuiakan dan menempatkan
dirinya sehingga terwujud suatu keseimbangan ekologis. Satu komponen berubah,
maka akan merubah pula peran dan fungsi dari komponen yang lain, keadaan mana
akan mempengaruhi keseimbangan ekologi tadi.
Faktor
sumber alam dalam ekosistem masyarakat pesisir adalah yang berhubungan dengan
berbagai komponen di lingkungan sekitar pesisir itu, dan keterlibatan manusia
dengan ekosistem tersebut tentunya berkisar pada aspek lingkungan yang
berfungsi untuk memenuhi seperangkat kebutuhan masyarakat pesisir itu sendiri.
Salah satu kebutuhan pokok dari para nelayan di Desa Tanjung Burung ini adalah
mencari dan mendapatkan udang, yaitu untuk kebutuhan komoditi penjualan
(ekonomi).
Untuk
mendapatkan udang, para nelayan desa tanjung burung tidak perlu jauh-jauh ke
tengah laut. Udang-udang tersebut bisa mereka dapatkan hanya beberapa meter di
sekitar muara sungai. peralatan yang mereka butuhkan untuk mencari nafkah
hanyalah sebuah perahu dan jaring. Rata-rata nelayan memiliki perahu
masing-masing. Namun, ada juga beberapa nelayan yang tidak memiliki perahu,
mereka dipinjamkan perahu oleh pelelenya.
Peralatan
yang dibutuhkan nelayan untuk mencari udang
Udang udang
hasil tangkapan para nelayan disortir berdasarkan ukuran ataupun jenisnya.
Kemudian, setelah di sortir udang-udang tersebut baru akan di timbang dan
dibeli oleh pelele berdasarkan harga perkilo dari jenis udangnya.
Aktivitas
yang dilakukan oleh pelele
Pelele
adalah seorang
perantara antara tempat pelelangan ikan (TPI) dan nelayan. Pelele dapat dikatakan juga bos dari para nelayan. Pelele ini memiliki
anak buah rata-rata 10 nelayan. Para nelayan-nelayan tersebut bekerja pada
seorang pelele, seluruh hasil tangkapan nelayan tersebut dijual kepada pelele.
Di desa tanjung burung ini tidak terdapat tempat pelelangan ikan, oleh sebab itu
di desa ini terdapat pelele. Udang-udang hasil tangkapan nelayan ini tidak
hanya di jual ke tempat pelelangan ikan, tetapi banyak juga yang langsung di
kirim ke restoran-restoran besar di Jakarta, bahkan ada juga yang di ekspor ke
Negara-negara tetangga, seperti ke singapura. Udang-udang ini banyak di ekspor
ke restoran-restoran hotel di singapura.
Sebelum ada
pelele, kehidupan para nelayan di Desa Tanjung Burung cukup memprihatinkan.
Mereka tidak memiliki rumah ataupun tempat singgah, yang mereka miliki hanya
perahu. Mereka menjalankan hidupnya sehari-hari di perahu, seperti istirahat,
makan, ataupun tidur. Mereka berinteraksi dengan penduduk sekitar tanjung
burung hanya pada saat mereka membeli sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka.
Setelah adanya
pelele, mereka tidak usah bersusah payah untuk jauh-jauh menjual hasil
tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan di Jakarta. Tetapi mereka juga
dibuatkan gubuk-gubuk untuk tempat mereka singgah dan beristirahat oleh para
pelele. Setiap kelompok nelayan memiliki pelele masing-masing yang berbeda.
Setiap pelele menampung hasil tangkapan dari beberapa nelayan. Dan pelele
tersebut yang bertanggung jawab atas kesejahteraan para nelayannya tersebut.
Pola
hubungan antara nelayan dan pelele seperti yang tertilis dalam teori
fungsionalis structural, yaitu masyarakat adalah suatu system yang tersiri atas
elemen-elemen atau system yang saling berhubungan[8][8]. Begitu
pula dengan pola hubungan antara nelayan dan pelele, mereka seperti suatu
system yang saling berhubungan. Apabila nelayan tidak bekerja mencari udang,
maka pelele tidak mendapatkan apa-apa karena sumber penghasilan pelele berada
pada hasil tangkapan nelayan. Begitu juga pada nelayan, apabila tidak ada
pelele, mereka tidak dapat menjual hasil tangkapannya.
Ketatnya
pola hubungan kerja yang dikembangkan pada kehidupan nelayan ini tidak
seluruhnya menunjukkan kecenderungan hubungan business-like, terutama
bagi nelayan yang sama-sama melaut. Hubungan antar manusia disini secara
emosional lebih erat dan terikat satu sama lain, karena pada dasarnya mereka
satu nasib dengan sama-sama bergumul di laut, keselamatan dan keberuntungan
seseorang berarti keselamatan dan keberuntungan anggota lainnya, demikian
sebaliknya.
Walaupun
manusia mempunyai potensi akal dalam mewujudkan berbagai dorongan kebutuhan dan
keinginan yang ada dalam dirinya, namun untuk beradaptasi pada habitat
kelautan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan potensi itu saja; kemampuan
fisik manusia cenderung lebih diandalkan dalam mewujudkan tujuan hidupnya.
Kemampuan fisik manusia sangatlah terbatas, keadaan mana terbukti dengan
lemahnya sistem adaptasi mereka terhadap berbagai lingkungan alam fisik.
Ketidak berdayaan manusia terhadap alamnya ini mendorong mereka untuk berbuat
baik dengan sesamanya; lautan adalah fenomena alam yang ganas dan sukar diduga
terjadinya, sehingga keterlibatan individu lain untuk sama-sama mencari
kehidupan di laut ini sangat diperlukan.
Kesimpulan
Tak dapat
dipungkiri Negara maritim telah pernah menyentuh bangsa ini, masa jaya yang
pernah diciptakan pada masa kerajaan dulu saat ini belum bisa terulang. Meski
bangsa ini telah memasuki fase semi industry, tetap saja ada masyarakat yang
tetap mengagungkan kelautan sebagai lahan dasar mereka untuk menyambung
kehidupan. Keterbukaan, kemandirian dan keberanian menjadi ciri khas terhadap
masyarakat yang masih mengagungkan budaya maritim. Contohnya saja para nelayan
yang berada di Tanjung Burung mereka
secara terbuka untuk menerjang zaman yang terus berubah, saat ini mencari ikan
dan udang semakin sulit namun mereka tetap teguh dan tidak mengeluh dalam
menerima cobaan seperti itu. Bantuan dari pemerintah, itu seakan menunggu hujan
uang dari indahnya pelangi. Oleh karena itu para nelayan disana menciptakan
komunitas untuk membuat koperasi nelayan agar ketika musim paceklik maka
nelayan tak perlu khawatir akan musim tersebut karena adanya simpanan. Namun,
koperasi tersebut saat ini telah sirna karena adanya oknum nelayan yang menodai
kepercayaan nelayan lain. Isu BBM kemarin saja membuat nelayan yang ada di
Tanjung Burung menjadi gelisah, pemerintah seakan telah tunanetra terhadap
rakyat kecil. Seolah tidak berfikir bahwa orang miskin yang ada di bangsa ini
masih banyak, jika BBM jadi naik entah nasib nelayan nantinya. Keberanian mereka
memang tak hilang, laut yang tak jelas kondisinya tetap akan mereka terjang
jika memang musim ikan dan udang sedang berjalan.
Nelayan di
Tanjung Burung lebih dikenal dengan sebutan nelayan Demak, walaupun nelayan
itu berasal dari jepara akan tetapi relasi sosial yang dilakukan mayoritas
bersentuhan dengan nelayan Demak. Maka tak heran apabila saat ini di Tanjung
Burung lebih banyak nelayan yang berasal dari Demak. Bibit diaspora mulai
terjadi dengan adanya relasi sosial yang mereka lakukan, info mulut ke mulut
seakan menjadi media yang ampuh untuk meregenerasi nelayan Demak secara
berkelanjutan.
Untuk
mendapatkan udang, para nelayan desa tanjung burung tidak perlu jauh-jauh ke
tengah laut. Udang-udang tersebut bisa mereka dapatkan hanya beberapa meter di
sekitar muara sungai. peralatan yang mereka butuhkan untuk mencari nafkah
hanyalah sebuah perahu dan jaring. Rata-rata nelayan memiliki perahu
masing-masing. Namun, ada juga beberapa nelayan yang tidak memiliki perahu,
mereka dipinjamkan perahu oleh pelelenya. Udang-udang hasil tangkapan para
nelayan disortir berdasarkan ukuran ataupun jenisnya. Kemudian, setelah di
sortir udang-udang tersebut baru akan di timbang dan dibeli oleh pelele
berdasarkan harga perkilo dari jenis udangnya.
Di desa
tanjung burung ini tidak terdapat tempat pelelangan ikan, oleh sebab itu di
desa ini terdapat pelele. Udang-udang hasil tangkapan nelayan ini tidak hanya
di jual ke tempat pelelangan ikan, tetapi banyak juga yang langsung di kirim ke
restoran-restoran besar di Jakarta, bahkan ada juga yang di ekspor ke
Negara-negara tetangga, seperti ke singapura. Udang-udang ini banyak di ekspor
ke restoran-restoran hotel di singapura.
Sebelum ada
pelele, kehidupan para nelayan di Desa Tanjung Burung cukup memprihatinkan.
Mereka tidak memiliki rumah ataupun tempat singgah, yang mereka miliki hanya
perahu. Setelah adanya pelele, mereka tidak usah bersusah payah untuk jauh-jauh
menjual hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan di Jakarta. Tetapi
mereka juga dibuatkan gubuk-gubuk untuk tempat mereka singgah dan beristirahat
oleh para pelele.
Pola
hubungan antara nelayan dan pelele seperti yang tertilis dalam teori
fungsionalis structural, yaitu masyarakat adalah suatu system yang tersiri atas
elemen-elemen atau system yang saling berhubungan. Begitu pula dengan pola
hubungan antara nelayan dan pelele, mereka seperti suatu system yang saling
berhubungan. Apabila nelayan tidak bekerja mencari udang, maka pelele tidak
mendapatkan apa-apa karena sumber penghasilan pelele berada pada hasil tangkapan
nelayan. Begitu juga pada nelayan, apabila tidak ada pelele, mereka tidak dapat
menjual hasil tangkapannya.
Ketatnya
pola hubungan kerja yang dikembangkan pada kehidupan nelayan ini tidak
seluruhnya menunjukkan kecenderungan hubungan business-like, terutama
bagi nelayan yang sama-sama melaut. Hubungan antar manusia disini secara
emosional lebih erat dan terikat satu sama lain, karena pada dasarnya mereka
satu nasib dengan sama-sama bergumul di laut, keselamatan dan keberuntungan
seseorang berarti keselamatan dan keberuntungan anggota lainnya, demikian
sebaliknya.
Daftar Pustaka
Kusnadi. 2007. Jaminan Nasional Nelayan. Yogyakarta:
LKiS.
Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ritzer,
George. 2011. Teori Sosiologi, ter.
Nurhadi. New York: Kreasi Wacana.
Shahab,
Kurnadi. 2007. Sosiologi Pedesaan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Sajogyo dan pudjiwati sajogyo. sosiologi pedesaan. 2002. Yogyakarta:
gadjah mada university press
Wahyono S.K. Indonesia Negara
Maritim. 2009. Jakarta: Anggota IKAPI
[14][6] Sajogyo dan
pudjiwati sajogyo, sosiologi pedesaan
(Yogyakarta: gadjah mada university press,2002), 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar