Jumat, 25 Januari 2013

SOSIOLOGI PEDESAAN : Adaptasi Ekologis dan Diaspora Para Nelayan Demak di Desa Tanjung Burung



SOSIOLOGI PEDESAAN :
Adaptasi Ekologis dan Diaspora Para Nelayan Demak
di Desa Tanjung Burung





                Disusun oleh :        
 Afriani
Caesar Akbar Prasetyo
Dwi Agus Supriyadi
Fitri Pitri
Rifka Kamila  


Adaptasi Ekologis dan Diaspora Para Nelayan Demak
di Desa Tanjung Burung

Abstrak
Penelitian yang dilakukan di Desa Tanjung Burung, Tangerang terhadap nelayan di pesisir pantai, bertujuan untuk mengetahui bagaimana dominasi nelayan Demak  di Desa Tanjung Burung. Melalui wawancara mendalam terhadap sejumlah nelayan di Desa Tanjung Burung, kami pun mengetahui bagaimana mereka dapat beradaptasi untuk dapat bertahan hidup sebagai nelayan. Diaspora nelayan Demak di Desa Tanjung Burung salah satunya adalah memanfaatkan kemampuan mereka seperti mengajari, sehingga regenerasi terhadap nelayan Demak pun semakin banyak, mereka pun juga mengetahui dari mulut ke mulut besarnya potensi tangkapan hasil laut seperti udang di Desa Tanjung Burung. Dilengkapi dengan foto sebagai tambahan untuk mendeskripsikan kondisi nelayan di Desa Tanjung Burung.

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang strategis dan diapit oleh dua samudera dan dua samudera sehingga letak Indonesia yang strategis tersebut wilayah perairan Indonesia menjadi urat nadi bagi perdagangan asia bahkan dunia. Negara Indonesia yang bukan hanya merupakan Negara yang unik namun Indonesia juga bercirikan kelautan, karena negara Indonesia memiliki hamparan yang luas yang ditebari beribu-ribu pulau dari sabang sampai merauke. Memiliki  jumlah pulau lebih dari 13.500 buah, Indonesia adalah Negara dengan pantai terpanjang ke dua di dunia[1][1]. Bangsa Indonesia pun tak luput dalam memanfaatkan letak geografis Indonesia yang merupakan wilayah perairan.
Kemampuan dalam mengelola perairan di Indonesia salah satunya menjadi modal utama dalam memanfaatkan wilayah laut dan sumber daya yang terkandung di dalam air sejak kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dua kerajaan tersebut pernah menjadi center of excellence di bidang maritim[2][2]. Namun, mengalami kemorosotan dalam membangun budaya maritim di Indonesia sejak turunnya masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit tentang budaya maritim. Dalam membangun kebudayaan Bahari atau maritim bukan hanya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit saja perjuangan mengembangkan kebaharian nusantara pun berlanjut. Pada tahun 1998, presiden BJ Habibie kembali mendeklarasikan pembangunan kelautan Indonesia yaitu “Deklarasi Bunaken”, inti dari deklarasi tersebut adalah pemahaman bahwa laut merupakan peluang dan tantangan untuk masa depan[3][3].
Pengembangan budaya bahari atau maritim bukan hanya dari presiden BJ Habibie saja, namun ketika tahun 1999 presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan komitmennya dalam “Pembangunan Kelautan di Indonesia[4][4]. Dalam pengembangan budaya Bahari pada masa Abdurrahman Wahid terbentuklah DKP (Depatemen Kelautan dan Perikanan) dan DMI (Dewan Maritim Indonesia). Terbentuknya kepengurusan terhadap kelautan di Indonesia, merupakan wujud dari Indonesia memanfaatkan letak geografis Indonesia dengan mengembangkan budaya Bahari  sejak perjuangan pendahulu kita, seperti yang terlukiskan di dalam lagu anak-anak yang berjudul Nenek Moyangku, liriknya menceritakan bagaimana semangat juang yang tertanam pada orang-orang terdahulu dalam budaya bahari.
Kesinambungan pemanfaatan budaya bahari bukan hanya sampai pada kepengurusan saja, pemanfaatan selanjutnya adalah kebutuhan ekonomi melalui mata pencaharian, yaitu nelayan. Pemanfaatan kelautan dalam pemenuhan ekonomi dalam mata pencaharian sebagai nelayan merupakan salah satu wujud pentingnya lautan bagi bangsa Indonesia. Nelayan hadir bukan hanya memenuhi kebutuhan ekonomi untuk pribadi saja, namun mereka adalah penyumbang kuantitas produksi perikanan tangkap nasional[5][5].
Pemanfaatan wilayah perairan pantai untuk nelayan, baik pantai lepas maupun peisir pantai. Seperti Demak yang merupakan daerah perkembangan budaya bahari yang termasuk cepat, untuk itu nelayan demak pun tak dapat dipungkiri kelihaiannya dalam menangkap ikan. Nelayan Demak tersebar di pesisir pantai salah satunya adalah Desa Tanjung Burung.
Desa Tanjung Burung pun merupakan salah satu desa pesisir kemiskinan structural yang berpotensial terbukti banyaknya nelayan dari berbagai daerah termasuk Demak yang melirik besarnya potensi tangkapan udang dan ikan di Sungai Cisadane. Nelayan di desa Tanjung Burung pun hanya sedikit yang masuk dalam kategori nelayan pemilik, kebanyakan nelayan buruh yang menaungi hidupnya di desa tanjung Burung. Nelayan-nelayan buruh pun hadir dari Demak yang memutuskan untuk tinggal di Desa Tanjung Burung, Tangerang.
Keputusan para nelayan Demak di Desa Tanjung Burung karena melihat besarnya potensi kekayaan hasil tangkapannya. Melalui adaptasi ekologi-sosial mereka pun dapat bertahan hidup. Serta diaspora nelayan Demak pun semakin merambah dalam kehidupan pesisir di Desa Tanjung Burung.
Risalah Datangnya Nelayan di Tanjung Burung
Dalam sejarah yang telah dijelaskan diatas, kepulauan Indonesia sejak abad VII secara ekonomi telah dipersatukan oleh kerajaan sriwijaya dengan menguasai lalu lintas perdagangan dari barat dan timur, dari utara dan selatan di selat Malaka, laut cina selatan dan laut jawa. Pada abad XIII konsep penyatuan kepulauan Indonesia secara poliitk dibawah satu kekuasaan dari kerajaan singasari melalui semboyan Cakrawala Mandala Dwipantara . semboyan ini kemudian diwujudkan oleh Maha Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit pada abad ke XIV melaui sumpah Palapanya. Dilihat dari segi geografis, Indonesia memiliki lautan 2/3 dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Secara bertahap bangsa ini bertransformasi, pertama negara ini disebut sebagai Negara maritim, kedua berubah menjadi Negara agraria dan saat ini berlanjut pada bentuk negara semi industri.
Tak dapat dipungkiri Negara maritim telah pernah menyentuh bangsa ini, masa jaya yang pernah diciptakan pada masa kerajaan dulu saat ini belum bisa terulang. Meski bangsa ini telah memasuki fase semi industry, tetap saja ada masyarakat yang tetap mengagungkan kelautan sebagai lahan dasar mereka untuk menyambung kehidupan. Keterbukaan, kemandirian dan keberanian menjadi ciri khas terhadap masyarakat yang masih mengagungkan budaya maritim. Contohnya saja para nelayan yang berada di  Tanjung Burung mereka secara terbuka untuk menerjang zaman yang terus berubah, saat ini mencari ikan dan udang semakin sulit namun mereka tetap teguh dan tidak mengeluh dalam menrima cobaan seoerti itu. Bantuan dari pemerintah, itu seakan menunggu hujan uang dari indhnya pelangi. Oleh karena itu para nelayan disana menciptakan komunitas untuk membuat koperasi nelayan agar ketika musim paceklik maka nelayan tak perlu khawatir akan musim tersebut karena adanya simpanan. Namun, koperasi tersebut saat ini telah sirna karena adanya oknum nelayan yang menodai kepercayaan nelayan lain. Isu BBM kemarin saja membuat nelayan yang ada di Tanjung Burung menjadi gelisah, pemerintah seakan telah tunanetra terhadap rakyat kecil. Seolah tidak berfikir bahwa orang miskin yang ada di bangsa ini masih banyak, jika BBM jadi naik ebtah nasib nelayan nantinya. Keberanian mereka memang tak hilang, laut yang tak jelas kondisinya tetap akan mereka terjang jika memang musim ikan dan udang sedang berjalan.
Hasil penelitian kami mendapati bahwa nelayan yang pertama kali datang ke Tanjung Burung adalah pak Jafar beserta keempat kawan-kawannya, Pak Jafar merupakan  nelayan yang berasal dari Jepara, akan tetapi teman-temannya yang datang bersama ke Tanjung Burung berasal dari  Demak.  Menurut penuturannya,  sebelum  menginjakan kaki di Tanjung Burung pak Jafar menghabiskan waktu untuk mencari nafkah di Tanjung Pasir. Karena alasan di Tanjung pasir  ombaknya terlalu besar dan ada sejumlah biota laut yang sering menempel dibadan kapal yang mengakibatkan kapal milik beliau menjadi rapuh dan cepat rusak, serta di Tanjung Pasir jumlah ikan dan udang  mulai mengalami penurunan sehingga pak Jafar dan kawan-kawan mulai mencari sumber ikan dan udang yang masih berkuantitas banyak.
Faktor ekonomi yang menarik mereka untuk mengarungi tempat lain agar mecukupi kebutuhan hidup, salah satu kawan dari pak jafar mengatakan bahwa nelayan itu laksana burung yang terus terbang untuk  mencari makanan. Nelayan juga begitu, nelayan harus terus menerjang ombak untuk mencari sumber ikan dan udang. Tak ada kata berdiam diri bagi nelayan jika ingin terus hidup. Pada awalnya mereka nelayan yang pertama datang di Tanjung Burung, namun karena relasai social yang tercipta karena adanya interaksi dengan nelayan-nelayan mengakibtakan nelayan yang ada di Tanjung Burung saat ini semakin bertambah.
Nelayan di Tanjung Burung    lebih dikenal dengan sebutan nelayan Demak, walaupun  Pak jafar berasal dari jepara akan tetapi relasi social yang dia dan teman-temannya lakukan mayoritas bersentuhan dengan nelayan Demak. Maka tak heran apabila saat ini di Tanjung Burung lebih banyak nelayan yang berasal dari Demak. Bibit diaspora mulai terjadi dengan adanya relasi social yang mereka lakukan, info mulut ke mulut seakan menjadi media yang ampuh untuk meregenerasi nelayan Demak secara berkelanjutan.
Tempat istirahat para nelayan Demak terlihat benar-benar sederhana, tak Nampak kemewahan yang tercipta. Hanya gubuk dari bilik bamboo yang telah menua, pencahayaan dari lampu bohlam yang secara remang-remang terpancarkan, serta televisi  berwarna hitam yang setia untuk menhibur mereka. Kesan nelayan hidup termarginalkan itu memang adanya, kesan hidup apa adanya itu bukan sebuah penipuan tapi memang sebuah kenyataan. Namun, setelah kami mengulik lebih lamna tentang kehidupan mereka. Ternyata mereka berkata bahwa kehdiupan saat ini lebih baik dibandingkan dengan masa lampau. Dulu mereka tidak tinggal di gubuk seperti sekarang, mereka tinggal di perahu-perahu yang seti amereka gunakan untuk mencari sumber penghasilan. Tak heran mereka pernah menyandang predikat ”Manusia Perahu” ternyata sebab itulah mereka pernah mendapatkan label tersebut. Gubuk yang menjadi tempat tinggal, televisi yang mereka gunakan untuk menghibur diri dan listrik yang mereka nikmati. Hal tersebut tidak semerta-merta dapat secara ajaib atau turun dari langit. Semua fasilitas yang mereka dapatkan, itu semua dari pelele.
Di desa tanjung burung, para nelayan bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mencari ikan dan udang. Kerja keras mereka berbeda dengan dulu kala, saat ini mereka harus lebih kerja keras lagi karena sumber ikan dan udang telah sulit dicari. Limbah pabrik, polusi dari pembuangan bahan para nelayan dan sampah yang terus menerus bertambah yang membuat mereka harus bekerja lebih keras lagi. Boeke mengatakan “ desa itu bukan tempat untuk bekerja, tetapi tempat ketenraman. Ketentraman itu adalah pada hakekatnya hidup yang sebenarnya bagi orang timur”.[6][6] Namun pernyataan dari boeke tidak dapat digunakan ketika studi kasusnya adalah Desa Tanjung Burung, disini para nelayan bekerja keras dengan giatnya, ketentraman memang ada tapi tak mutlak mereka cicipi. Konsep yang mereka gunakan adalah ketentraman hadir setelah kerja keras telah mereka jalani.
Seiring dengan datangnya demak di Desa tanjung Burung, maka ada sebuah transformasi dari segi pekerjaan di Desa Tanjung Burung. Nelayan, itulah profesi baru dari masyarakat Desa Tanjung Burung ketika nelayan Demak mulai
datang. Pada awalnya masyarakat Desa Tanjung Burung hanya menjadi pembantu bagi para nelayan Demak, mereka hanya bisa sekedar mambantu saja. Masyarakat Desa Tanjung Burung memang asing dengan pekerjaan sebagai Nelayan, oleh karena itu mereka ketika ingin menggeluti pekerjaan tersebut harus banyak belajar. Awalnya mereka memang hanya membantu sebisanya saja ketitka nelayan Demak sedang melaut, seiring waktu yang terus berjalan dan masyarakat Desa Tanjung Burung mendapatkan proses belajar secara langsung oleh para nelayan Demak, maka tak heran secara perlahan mereka sudah mulai bisa melaut dan menjadi nelayan.
Kami secara tak sengaja mewancarai mantan ketua RT di Tanjung Burung, dia saat itu sedang memperbaiki jaring-jaring diperahunya. Beliau mengatakan bahwa dia menjadi nelayan saat ini berkat jasa para nelayan demak yang mengajari dia sebagai nelayan, bahkan awalnya dia hanya menumpang perahu dari nelayan demak untuk melaut. Namun, saat ini dia telah memiliki satu buah perahu untuk mengantarnya ke laut dan mencari udang beserta ikan. Orang mempelajari simbol sekligus makna dalam interaksi social. Kendati merespon tanda tanpa berfikit, orang meresepons melalui proses berfikir. Tanda memiliki arti sendiri. Simbol adalah objek social yang digunakan untuk mempresentasikan apa-apa yang memang disepakati bisa dipresentasikan oleh simbol tersebut.[7][7]
Dalam kehidupan nelayan demak pun memiliki symbol-simbol tersendiri dan biasanya hanya nelayan demak lah yang mengetahui makna dari simbol-simbol yang mereka ciptakan. Yang paling jelas terlihat yaitu mengenai perahu mereka, nelayan demak ketika di tengah lautan dapat mengenali kawan mereka melalui perahu yang mereka gunakan. Perahu demak biasanya lebih cekung dan meninggi dibagian ujung kapal. Serta dari segi lukisan kapal memilki perbedaan, secara kasat mata perahu nelyaan demak dilukis seperi motif batik dan biasanya berwarna cerah.
Adaptasi Ekologi Sosial di Desa Tanjung Burung
Manusia merupakan satu komponen dari suatu jaringan komponen dalam ekosistem tertentu, masing-masing komponen dari suatu lingkaran ekologi mempunyai peranan menurut fungsi dan kebutuhannya, masing-masing saling menyesuiakan dan menempatkan dirinya sehingga terwujud suatu keseimbangan ekologis. Satu komponen berubah, maka akan merubah pula peran dan fungsi dari komponen yang lain, keadaan mana akan mempengaruhi keseimbangan ekologi tadi.
Faktor sumber alam dalam ekosistem masyarakat pesisir adalah yang berhubungan dengan berbagai komponen di lingkungan sekitar pesisir itu, dan keterlibatan manusia dengan ekosistem tersebut tentunya berkisar pada aspek lingkungan yang berfungsi untuk memenuhi seperangkat kebutuhan masyarakat pesisir itu sendiri. Salah satu kebutuhan pokok dari para nelayan di Desa Tanjung Burung ini adalah mencari dan mendapatkan udang, yaitu untuk kebutuhan komoditi penjualan (ekonomi).
Untuk mendapatkan udang, para nelayan desa tanjung burung tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut. Udang-udang tersebut bisa mereka dapatkan hanya beberapa meter di sekitar muara sungai. peralatan yang mereka butuhkan untuk mencari nafkah hanyalah sebuah perahu dan jaring. Rata-rata nelayan memiliki perahu masing-masing. Namun, ada juga beberapa nelayan yang tidak memiliki perahu, mereka dipinjamkan perahu oleh pelelenya.
Peralatan yang dibutuhkan nelayan untuk mencari udang
Udang udang hasil tangkapan para nelayan disortir berdasarkan ukuran ataupun jenisnya. Kemudian, setelah di sortir udang-udang tersebut baru akan di timbang dan dibeli oleh pelele berdasarkan harga perkilo dari jenis udangnya.
Aktivitas yang dilakukan oleh pelele
Pelele adalah seorang perantara antara tempat pelelangan ikan (TPI) dan nelayan. Pelele dapat dikatakan juga bos dari para nelayan. Pelele ini memiliki anak buah rata-rata 10 nelayan. Para nelayan-nelayan tersebut bekerja pada seorang pelele, seluruh hasil tangkapan nelayan tersebut dijual kepada pelele. Di desa tanjung burung ini tidak terdapat tempat pelelangan ikan, oleh sebab itu di desa ini terdapat pelele. Udang-udang hasil tangkapan nelayan ini tidak hanya di jual ke tempat pelelangan ikan, tetapi banyak juga yang langsung di kirim ke restoran-restoran besar di Jakarta, bahkan ada juga yang di ekspor ke Negara-negara tetangga, seperti ke singapura. Udang-udang ini banyak di ekspor ke restoran-restoran hotel di singapura.
Sebelum ada pelele, kehidupan para nelayan di Desa Tanjung Burung cukup memprihatinkan. Mereka tidak memiliki rumah ataupun tempat singgah, yang mereka miliki hanya perahu. Mereka menjalankan hidupnya sehari-hari di perahu, seperti istirahat, makan, ataupun tidur. Mereka berinteraksi dengan penduduk sekitar tanjung burung hanya pada saat mereka membeli sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Setelah adanya pelele, mereka tidak usah bersusah payah untuk jauh-jauh menjual hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan di Jakarta. Tetapi mereka juga dibuatkan gubuk-gubuk untuk tempat mereka singgah dan beristirahat oleh para pelele. Setiap kelompok nelayan memiliki pelele masing-masing yang berbeda. Setiap pelele menampung hasil tangkapan dari beberapa nelayan. Dan pelele tersebut yang bertanggung jawab atas kesejahteraan para nelayannya tersebut.
Pola hubungan antara nelayan dan pelele seperti yang tertilis dalam teori fungsionalis structural, yaitu masyarakat adalah suatu system yang tersiri atas elemen-elemen atau system yang saling berhubungan[8][8]. Begitu pula dengan pola hubungan antara nelayan dan pelele, mereka seperti suatu system yang saling berhubungan. Apabila nelayan tidak bekerja mencari udang, maka pelele tidak mendapatkan apa-apa karena sumber penghasilan pelele berada pada hasil tangkapan nelayan. Begitu juga pada nelayan, apabila tidak ada pelele, mereka tidak dapat menjual hasil tangkapannya.
Ketatnya pola hubungan kerja yang dikembangkan pada kehidupan nelayan ini tidak seluruhnya menunjukkan kecenderungan hubungan business-like, terutama bagi nelayan yang sama-sama melaut. Hubungan antar manusia disini secara emosional lebih erat dan terikat satu sama lain, karena pada dasarnya mereka satu nasib dengan sama-sama bergumul di laut, keselamatan dan keberuntungan seseorang berarti keselamatan dan keberuntungan anggota lainnya, demikian sebaliknya.
Walaupun manusia mempunyai potensi akal dalam mewujudkan berbagai dorongan kebutuhan dan keinginan yang ada dalam dirinya, namun untuk beradaptasi pada habitat kelautan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan potensi itu saja; kemampuan fisik manusia cenderung lebih diandalkan dalam mewujudkan tujuan hidupnya. Kemampuan fisik manusia sangatlah terbatas, keadaan mana terbukti dengan lemahnya sistem adaptasi mereka terhadap berbagai lingkungan alam fisik. Ketidak berdayaan manusia terhadap alamnya ini mendorong mereka untuk berbuat baik dengan sesamanya; lautan adalah fenomena alam yang ganas dan sukar diduga terjadinya, sehingga keterlibatan individu lain untuk sama-sama mencari kehidupan di laut ini sangat diperlukan.
Kesimpulan
Tak dapat dipungkiri Negara maritim telah pernah menyentuh bangsa ini, masa jaya yang pernah diciptakan pada masa kerajaan dulu saat ini belum bisa terulang. Meski bangsa ini telah memasuki fase semi industry, tetap saja ada masyarakat yang tetap mengagungkan kelautan sebagai lahan dasar mereka untuk menyambung kehidupan. Keterbukaan, kemandirian dan keberanian menjadi ciri khas terhadap masyarakat yang masih mengagungkan budaya maritim. Contohnya saja para nelayan yang berada di  Tanjung Burung mereka secara terbuka untuk menerjang zaman yang terus berubah, saat ini mencari ikan dan udang semakin sulit namun mereka tetap teguh dan tidak mengeluh dalam menerima cobaan seperti itu. Bantuan dari pemerintah, itu seakan menunggu hujan uang dari indahnya pelangi. Oleh karena itu para nelayan disana menciptakan komunitas untuk membuat koperasi nelayan agar ketika musim paceklik maka nelayan tak perlu khawatir akan musim tersebut karena adanya simpanan. Namun, koperasi tersebut saat ini telah sirna karena adanya oknum nelayan yang menodai kepercayaan nelayan lain. Isu BBM kemarin saja membuat nelayan yang ada di Tanjung Burung menjadi gelisah, pemerintah seakan telah tunanetra terhadap rakyat kecil. Seolah tidak berfikir bahwa orang miskin yang ada di bangsa ini masih banyak, jika BBM jadi naik entah nasib nelayan nantinya. Keberanian mereka memang tak hilang, laut yang tak jelas kondisinya tetap akan mereka terjang jika memang musim ikan dan udang sedang berjalan.
Nelayan di Tanjung Burung    lebih dikenal dengan sebutan nelayan Demak, walaupun nelayan itu berasal dari jepara akan tetapi relasi sosial yang dilakukan mayoritas bersentuhan dengan nelayan Demak. Maka tak heran apabila saat ini di Tanjung Burung lebih banyak nelayan yang berasal dari Demak. Bibit diaspora mulai terjadi dengan adanya relasi sosial yang mereka lakukan, info mulut ke mulut seakan menjadi media yang ampuh untuk meregenerasi nelayan Demak secara berkelanjutan.
Untuk mendapatkan udang, para nelayan desa tanjung burung tidak perlu jauh-jauh ke tengah laut. Udang-udang tersebut bisa mereka dapatkan hanya beberapa meter di sekitar muara sungai. peralatan yang mereka butuhkan untuk mencari nafkah hanyalah sebuah perahu dan jaring. Rata-rata nelayan memiliki perahu masing-masing. Namun, ada juga beberapa nelayan yang tidak memiliki perahu, mereka dipinjamkan perahu oleh pelelenya. Udang-udang hasil tangkapan para nelayan disortir berdasarkan ukuran ataupun jenisnya. Kemudian, setelah di sortir udang-udang tersebut baru akan di timbang dan dibeli oleh pelele berdasarkan harga perkilo dari jenis udangnya.
Di desa tanjung burung ini tidak terdapat tempat pelelangan ikan, oleh sebab itu di desa ini terdapat pelele. Udang-udang hasil tangkapan nelayan ini tidak hanya di jual ke tempat pelelangan ikan, tetapi banyak juga yang langsung di kirim ke restoran-restoran besar di Jakarta, bahkan ada juga yang di ekspor ke Negara-negara tetangga, seperti ke singapura. Udang-udang ini banyak di ekspor ke restoran-restoran hotel di singapura.
Sebelum ada pelele, kehidupan para nelayan di Desa Tanjung Burung cukup memprihatinkan. Mereka tidak memiliki rumah ataupun tempat singgah, yang mereka miliki hanya perahu. Setelah adanya pelele, mereka tidak usah bersusah payah untuk jauh-jauh menjual hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan di Jakarta. Tetapi mereka juga dibuatkan gubuk-gubuk untuk tempat mereka singgah dan beristirahat oleh para pelele.
Pola hubungan antara nelayan dan pelele seperti yang tertilis dalam teori fungsionalis structural, yaitu masyarakat adalah suatu system yang tersiri atas elemen-elemen atau system yang saling berhubungan. Begitu pula dengan pola hubungan antara nelayan dan pelele, mereka seperti suatu system yang saling berhubungan. Apabila nelayan tidak bekerja mencari udang, maka pelele tidak mendapatkan apa-apa karena sumber penghasilan pelele berada pada hasil tangkapan nelayan. Begitu juga pada nelayan, apabila tidak ada pelele, mereka tidak dapat menjual hasil tangkapannya.
Ketatnya pola hubungan kerja yang dikembangkan pada kehidupan nelayan ini tidak seluruhnya menunjukkan kecenderungan hubungan business-like, terutama bagi nelayan yang sama-sama melaut. Hubungan antar manusia disini secara emosional lebih erat dan terikat satu sama lain, karena pada dasarnya mereka satu nasib dengan sama-sama bergumul di laut, keselamatan dan keberuntungan seseorang berarti keselamatan dan keberuntungan anggota lainnya, demikian sebaliknya.

Daftar Pustaka

Kusnadi. 2007. Jaminan Nasional Nelayan. Yogyakarta: LKiS.
Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer, George. 2011. Teori Sosiologi, ter. Nurhadi. New York: Kreasi Wacana.

Shahab, Kurnadi. 2007. Sosiologi Pedesaan. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

Sajogyo dan pudjiwati sajogyo. sosiologi pedesaan. 2002. Yogyakarta: gadjah mada university press
Wahyono S.K. Indonesia Negara Maritim. 2009. Jakarta: Anggota IKAPI


[10][2] Djoko Pramono, Budaya Bahari (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2005) hlm. 7
[11][3] Ibid.,hlm: 8
[12][4] Ibid.,
[13][5] Kusnadi, Jaminan Nasional Nelayan (Yogyakarta :LKiS, 2007) hlm: 1
[14][6] Sajogyo dan pudjiwati sajogyo, sosiologi pedesaan (Yogyakarta: gadjah mada university press,2002), 24
[15][7] Ritzer George. Teori Sosiologi, ter. Nurhadi (New York: Kreasi Wacana, 2011), 394
[16][8] Kurnadi shahab. 2007. Sosiologi Pedesaan. Jogjakarta: Ar-Ruzz. Hal:46




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar