Jumat, 25 Januari 2013

KAPITALISASI LAHAN DAN KEMISKINAN DI DAERAH TAMBAK (Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang) Peper ini dibuat untuk memenuhi tugas Sosiologi Pedesaan


KAPITALISASI LAHAN DAN KEMISKINAN DI DAERAH TAMBAK
(Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggrang)
Peper ini dibuat untuk memenuhi tugas Sosiologi Pedesaan


Kelompok 9:
Akram Diponegoro                            
           Andrean Bagus Akbar                                   
Riyan Hartanto                                  
Silviana                                              
Yuwan Caesa Utami                          


 
Pengantar
Tulisan ini mendeskripsikan tentang kapitalisasi lahan daerah tambak dan kemiskinan yang ada di Desa Tanjung Burung. Desa Tajung Burung terletak di Kabupaten Tangerang Kecamatan Teluk Naga. Tambak  adalah  suatu  ekosistem  buatan  manusia,  merupakan  lahan  dekat pantai yang dibendung dengan pematang-pematang keliling sehingga membentuk sebuah  kolam  berair  payau. Produksi hayati perairan tambak sangat ditentukan oleh kesuburan tambak.  Pada produktivitas tambak ditentukan  oleh  sarana produksi  dan kualitas habitat, dimana habitat tambak selalu mengalami perubahan sesuai dengan keseimbangan dinamik faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Daerah ini merupakan daerah pesisir yang dahulunya sempat berjaya dalam hal tambak dengan budidaya udang windunya. Keadaan para buruh tambak saat membudidayaan udang windu sangatlah berkecukupan karena harga udang windu tersebut sangatlah mahal. Tapi seiring berjalannya waktu pencemaran terjadi di daerah Desa Tanjung Burung ini yang menyebabkan para petambak udang beralih membudidayakan ikan air tawar karena udang windu rentan dengan berbagai penyakit juga pencemaran. Para penduduk Desa Tanjung Burung ini hanya mengurus tambak saja atau hanya sebagai buruh tambak. Mereka bukanlah pemilik lahan tambak melainkan hanya bertugas mengelola tambak; memberikan makan ikan-ikan yang ada di tambak dan menjaga lahan tambak. Kebanyakan dari para pemilik tambak bukanlah warga asli Desa Tanjung Burung. Dengan gaji yang berkisar antara 500ribu – 600ribu per bulan mereka terima sebagai upah hasil kerja keras mereka.
            Dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah kapitalisasi lahan tambak dan kemiskinan petambak di Desa Tanjung Burung. Di Desa Tanjung Burung terdapat lahan tambak yang sangat luas. Sebagian besar masyarakat Tanjung Burung yang bekerja sebagai petambak, mengelola tambak disana tidak mendapatkan pendapatan yang setimpal dengan yang mereka kerjakan. Rata-rata penambak disana mendapatkan pendapatan sebesar Rp 500 – 600 ribu per bulan, pendapatan ini sangat kurang dari apa yang telah mereka kerjakan. Dalam pembagian kerja yang ada di tambak Desa Tanjung Burung ini ada tiga, yaitu buruh tambak, pengelola tambak dan pemilik modal. Pekerjaan dari buruh tambak adalah menjaga tambak dan memberi makan ikan-ikan yang ada di tambak tersebut. Pengelola keuangan tambak bertugas untuk mengelola keuangan tambak yang bertanggung jawab langsung kepada pemilik tambak. Dan pemilik modal hanya menunggu laporan keuangan dari hasil panen tambak yang mereka miliki.

Tambak Desa Tanjung Burung 
Dari lima lahan tambak yang kami teliti, terdapat 3 lahan tambak yang dikomersialisasikan menjadi tempat pemancingan dan selebihnya lahan tambak dijadikan sebagai tempat pembesaran ikan yang nantinya dijual ke pelelangan ikan. Lahan tambak yang dikomersialisasikan menjadi tempat pemancingan terletak di daerah yang relative mudah dijangkau. Sedangkan lahan tambak yang hasil ikannya dijual ke tempat pelelangan terletak di pertengahan sampai ujung daerah tambak mendekati laut. Dari lima lahan tambak yang kami sambangi hanya satu orang penduduk asli Desa Tanjung Burung yang mempunyai tambak tersebut. Selebihnya pemilik tambak bukanlah warga asli Desa Tanjung Burung.
Lahan tambak tersebut pertama, pemancingan Vega Jaya Makmur, pemiliknya adalah Koh Sihwat. Koh Sihwat merupakan warga asli Desa Tanjung Burung. Tambak ini dikelola keuangnnya oleh Pak Acing dari Desa Alar yang bersebelahan langsung dengan desa tanjung burung. Buruh tambak yang ada di pemancingan Vega Jaya Makmur bernama Pak Ateng yang merupakan penduduk asli Desa Tanjung Burung. Pak Ateng tinggal di gubuk kecil di lahan tambak. Istrinya membuka warung kecil untuk menambah pemasukan keluarga. Kedua, tambak yang dikelola oleh pak Nadawi. Pak Nadawi adalah seorang buruh tambak sekaligus pengelola keuangan tambak di desa Tanjung Burung. Pemilik tambak yang di urus oleh pak Nadawi ini dimiliki oleh penduduk BSD (Bumi serpong damai). Tambak yang ketiga adalah tambak yang dimiliki oleh pak Kuncang yang merupakan penduduk Kosambi dan buruh tambak bernama Pak Memen. Keempat adalah tambak yang dimiliki oleh Bapak Pai-Pai yang merupakan warga asli kampong melayu. Tambak dikelola oleh Pak Jumadi yang merupakan seorang buruh tambak asli desa Tanjung Burung. Dan tambak yang kelima adalah tambak yang dimiliki oleh Lurah Belimbing dan buruh tambaknya bernama bapak maman. Dari kelima tambak tersebut luas tambak masing-masing 5 sampai 6 hektar. dalam sekali panen pengusaha tambak membeli 3000 ekor bibit dan Rata-rata mereka mendapatkan 6 ton sekali panennya, panen ikan biasanya sekitar 4 bulan sampai 6 bulan. Ikan bandeng disana dijual Rp.25.000 per Kg nya.

Kemiskinan buruh tambak di Desa Tanjung Burung
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang mendasar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan diri si miskin. Berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan tersebut disebabkan baik factor internal maupun eksternal yang membelenggu, seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhan. Dengan begitu, segala aktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan hidupnya sangat sulit.
 Kemiskinan yang terjadi pada buruh tambak dikarenakan pada gaji yang kecil dan para buruh tersebut hanya tergantung pada kerja mengelola tambak. Dalam kehidupan para buruh tambak akan terjadi kemiskinan terus menerus selama mereka tidak mempunyai modal. Kebanyakan warga dari desa tanjung burung hanya sebagai pengelola tambak saja. tambak dimiliki oleh orang yang bukan warga asli desa tanjung burung. Kekayaan alam yang ada di daerah desa tanjung burung hanya dapat dimanfaatkan oleh para pemilik modal sedangkan warga desa tanjung burung sendiri tidak memiliki modal sehingga mereka tidak dapat menikmati kekayaan alam desa mereka dan kemiskinan masih membelenggu diantara mereka. Buruh tambak yang ada di Tanjung Burung tidak bisa menuju kehidupan yang lebih baik karena kemiskinan desa sulit di berantas jika pemerintah tidak turun langsung ke desa tersebut. Kemiskinan yang terjadi di desa Tanjung Burung sulit untuk di rubah jika tidak ada bantuan yang datang dari pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan diri si miskin. Berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan tersebut disebabkan baik faktor internal maupun eksternal yang membelenggu, seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhan . Dengan begitu, segala aktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan hidupnya sangat sulit. Tetapi selama ini banyak perbedaan persepsi antara seseorang dengan orang lain tentang kemiskinan. Adanya perbedaan tersebut, maka perlu adanya pembatas.
Desa Tanjung Burung adalah daerah pesisir yang mendapat buangan air dari kali cisadane. Kali cisadane adalah kali yang tercemar saat ini karena sudah padatnya daerah tangerang di tahun 2012 ini. Daerah tanjung burung mendapat dampak pada tambaknya. Dahulu kehidupan desa Tanjung Burung pada masyarakat yang bekerja sebagai petambak masih tidak sesulit pada tahun ini. Tahun ini para petambak sudah tidak bisa mengharapkan pekerjaan dari burug tambak ini karena komisi yang dihasilkan dari tambak sudah kecil.

Pengentasan Kemiskinan
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memajukan perekonomian di pedesaan adalah melalui Bantuan Keuangan. Bantuan ini bisa dipergunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan infrastruktur ekonomi gampong dalam skala kecil, peningkatan kualitas kesehatan, serta mendukung peningkatan kualitas pendidikan berbasis masyarakat seperti PAUD dan PKBM. Penyediaan dana BKPG dapat dikatakan sebagai pendamping bagi program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. Beberapa program lainnya yang bertujuan mengatasi permasalahan kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah pusat telah disambut baik oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Diantara program-program tersebut, sebut saja diantaranya; JKA yang bersanding dengan Jamkesmas, atau Beasiswa Anak Yatim dengan Beasiswa Miskin. Di samping itu pemerintah melalui lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga keuangan mikro juga menyediakan pinjaman modal usaha untuk membantu usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun fasilitas ini belum digunakan secara maksimal oleh masyarakat. Beberapa kendala diantaranya; kurangnya informasi yang diterima masyarakat, masih buruknya sistem pengelolaan usaha sehingga dianggap tidak bankable, serta tidak adanya jaminan kredit. Untuk itu diperlukan adanya pendampingan oleh berbagai elemen kepada masyarakat sehingga akses layanan kredit untuk membantu usaha masyarakat dapat diperoleh dengan mudah.

Ajaran Marx
Dengan bertolak dari dialektika Hegel dan filsafat meanusia Feurbach, Marx memikirkan pembebasan manusia dari segala keterasingan. Keterasingan ini menunjukan wajahnya yang paling buruk dalam keadaan tak manusiawi kaum buruh upahan kapitalisme bagian pertama abalalu. Syarat pembebasan itu adalah penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Yang membuat Marx begitu atraktif bagi kaum buruh adalah kombinasi seruan agar kaum buruh meningkatkan terus perjuangan kelas dengan penegasan bahwa perjuangan mereka pasti akan berhasil. Marx mengclaim bahwa ajarannya bukan sekedar tuntutan moral, melainkan berdasarkan analisa hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Tatanan kapitalis akan runtuh karena kontradiksi-kontradiksinya sendiri.
Menurut Marx perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang ekonomi, ciri khas bidang ekonomi adalah konflik antara pemilik alat-alat produksi dan para pekerja. Yang pertama adalah kelas atas karena menguasai bidang produksi dan hidup dari kaum buruh. Kaum buruh adalah kelas bawah yang terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada para pemilik. Negara dikuasai oleh kelas atas ekonomi dan karena itu melayani kepentingan mereka. Agama, pandangan-pandangan moral, dan nilai-nilai budaya memberikan legitimasi pada struktur kekuasaan kelas itu. Konflik antara kelas atas dan bawah niscaya memuncak dalam sebuah revolusi yang menjungkirbalikan tatanan lama dan meletakan dasar tatanan baru yang akan berkembang menurut hukum yang sama.
Menurut Marx pertentangan kelas ini mencapai puncaknya dalam sistem ekonomi kapitalis. Tekanan kompetensi memaksa para kapitalis untuk terus mempertajam eksploitasi buruh-buruh mereka. Justru dengan demikian kapitalisme mempersiapkan kehancurannya sendiri. Kelas buruh semakin miskin dan semakin bertambah banyak, sedangakan sisa kaum kapitalis tidak dapat menjual produksi lagi. Pada saat itulah kaum buruh akan bangkit mengambil alih pabrik-pabrik dengan demikian menciptakan masyarakat tanpa kelas, eleh karena itu tanpa explotation de l’homme par l’homme dan tanpa penindasan masyarakat komunis.

Melihat Hubungan Pengelolaan Tambak dengan Perspektif Marx
Marx percaya bahwa ada hubungan yang inheren antara kerja dan sifat dasar manusia, tetapi hubungan ini telah diselewengkan oleh kapitalisme. Hubungan yang telah diselewengkan disebut dengan alienasi. Manusia menurut Marx tidak lagi melihat kerja kita sebagai sebuah ekspresi dari tujuan kita. Tidak ada objektivasi. Malah bekerja berdasarkan tujuan kapitalis yang menggaji dan mengupah kita. Di dalam kapitalisme, kerja tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri – sebagai ungkapan dari kemampuan dan potensi kemanusiaan-melainkan terdeduksi menjadi sarana untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang dengan demikian kerja kita bukan lagi milik pribadi kita sehingga tidak bisa lagi mentransformasikan kita. Dengan kata lain. Kita dialienasi ( diasingkan ) dari kerja kita dan oleh karena itu, dialienasi dari sifat dasar kita sebagai manusia.
Kapitalisme menurut Marx adalah sistem ekonomi di mana pengelola tambak hanya memiliki sedikit hak milik memproduksi komoditas-komoditas demi keuntungan yang memiliki tambak. Para pemilik tambak memiliki  hal- hal berikut : komoditas-komoditas, alat produksi, dan bahkan waktu kerja para pengelola tambak karena pemilik tambak telah membeli alat pekerja tersebut melalui gaji. Namun, pengertian sentral Marx adalah kapitalisme lebih dari sekedar sistem ekonomi, kapitalisme adalah sistem kekuasaaan. Maka kapitalisme tidak hanya menjadi sekedar sistem ekonomi: pada saat yang sama, kapitalisme juga sistem politik cara menjalankan kekuasaan yaitu sistem politik yang dilakukan oleh para pemilik tambak yang menjalankan kekuasaannya di lahan tambak atas eksploitasi buruh tambak.
Proletariat menurut Marx adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki sarana-sarana sendiri dan pabrik-pabrik sendiri dalam kasus ini para buruh tambak termasuk kedalam proletariat. Para buruh tambak menurut teori Marx akan kehilangan keterampilan mereka apabila terciptanya mesin atau alat yang dapat menggantikan keterampilan para buruh tambak. Karena proletariat hanya memproduksi demi pertukaran, maka mereka juga konsumen. Maksudnya adalah para buruh tambak produk yang dimiliki bukan untuk ditukar langsung melainkan ditukar di pasar demi uang atau untuk objek yang lain. Karena buruh tambak tidak memiliki sarana – sarana untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, mereka menggunakan upah yang mereka peroleh tiap bulannya untuk membeli apa yang mereka butuhkan dan bergantung pada upah untuk bertahan hidup. Hal ini yang membuat proletar atau buruh tambak tergantung pada orang yang memberi upah tau para pemilik tambak.
Para pemilik tambak disebut sebagai kapitalis karena mereka memiliki alat – alat produksi. Kapital sendiri adalah uang yang menghasilkan banyak uang. Kapital merupakan uang yang diinvestasikan ketimbang uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Marx memandang sebagai “titik tolak kapital”.[1][1] Sirkulasi komoditas, dua tipe sirkulasi komoditas menurut Marx .
1.                  Ciri kapital : Uang à Komoditas à Uang ( dengan jumlah yang lebih besar ) (M1-C-M2) Dalam hal ini komoditas dibeli untuk mendapat keuntungan bukan untuk digunakan seperti para pemilik tambak membeli, mengontrak atau membuat lahan tambak yang dikategorikan sebagai komoditas. Dalam mendapatkan atau menguasai komoditas seperti tambak membutuhkan uang. Namun kepemilikan komoditas tersebut agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
2.                  Bukan ciri kapital : Komoditas à Uang à Komoditas (C1-M-C2). Dalam sirkulasi komoditas nonkapitalis ini misalnya seorang buruh tambak membeli nasi bungkus dari gajinya dan memakan nasi bungkus tersebut untuk makan siang. Tujuan utama dalam pertukaran sirkulasi nonkapitalis ini adalah komoditas yang dapat digunakan dan dinikmati.
Jadi kapital bukan hanya uang yang menghasilkan lebih banyak uang, menurut Marx kapital kapital merupakan sebuah relasi sosial tertentu. Uang hanya akan menjadi kapital karena adanya relasi sosial antara buruh tambak yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang menginvestasikan uangnya. Kapasitas kapital untuk memperoleh keuntungan terlihat “ sebagai suatu kekuatan yang dibantu oleh alam- suatu kekuatan produktif yang imanen di dalam kapital”. Namun inilah relasi kekuasaan menurut Marx. Kapital tidak bisa meningkat kecuali dengan orang-orang yang bekerja secara aktual. Para buruh tambak dieksploitasi oleh suatu sistem, dan ironisnya justru sistemlah yang diproduksi melalui kerja para buruh tambak sendiri. Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari mereka dasar hubungan eksploitatif tersebut. para kapitalis adalah orang yang hidup dari keuntungan capital. Para buruh tambak dieksploitasi oleh suatu sistem, dan ironisnya justru sistemlah yang diproduksi melalui kerja para buruh tambak sendiri.
Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari mereka dasar hubungan eksploitatif tersebut. Dalam ide kapital terdapat relasi sosial antara orang - orang yang memiliki alat produksi dan orang – orang kerja upahan yang di eksploitasi. Eksploitasi dan dominasi lebih dari sekedar distribusi kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang. Pekerja ( buruh tambak ) harus mentaati syarat dan ketentuan kapitalis ( pemilik tambak ) karena pekerja tidak lagi mampu memproduksi demi kebutuhan mereka sendiri. Menurut Marx kapitalisme menciptakan “ tentara cadangan “ dari pengangguran. Jika para pekerja tidak mau melakukan tugas dengan upah yang diberikan oleh pemilik tambak maka akan ada orang lain di dalam “tentara cadangan” dari pengangguran yang mau melakukannya. Pemilik tambak membayar para buruh tambak kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri. Hal ini membawa konsep sentral Marx tentang nilai-surplus. Nilai surplus adalah perbedaan nilai produk ketika dijual dan nilai – nilai elemen – elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut. Pemilik tambak dapat menggunakan keuntungan untuk konsumsi pribadi tetapi hal tersebut belum menyebabkan ekspansi kapitalisme. Pemilik tambak usaha tambak mereka dengan mengubah nilai surplus yang didapatkan dari pengelolaan tambak menjadi modal yang akan menghasilkan nilai surplus yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Tuan dan Budak dalam Perspektif Hegel
Inilah tempatnya dimana Hegel membicarakan pekerjaan. Sang Tuan memperkerjakan si budak agar ia mengubah alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan si tuan. Karena khawatir akan nyawanya, si budak bekerja bagi si tuan. Ia tergantung dari dia. Namun dalam pekerjaannya ini si budak mengalami suatu perkembangan. Ia mengalami bahwa ia sanggup untuk menguasai alam yang dulu memusuhinya. Dengan bekerja ia mengembangkan kecakapan-kecakapannya, ia semakain menyadari kemampuan-kemampuannya, ia menjinakan alam yang ganas, sehingga semakin sesuai dengan kebutuhan manusia. Dengan demikian ia membuktikan dengan dirinya sendiri, bahwa ia dapat menguasai hidupnya. Sebaliknya sang tuan lama-kelamaan semakin tergantung dari budaknya. Karena hanya melalui pekerjaan budaknya ia dapat memperoleh apa yang dibutuhkannya demi kelangsungan hidupnya. Maka hubungan yang semula ternyata telah berbalik: sang tuan menjadi budak dan si budak menjadi tuan.[2][2]
Berbeda dengan Marx yang langsung menerjemahkan dialektika ini ke dalam realitas politik; sejarah niscaya akan menghasilkan revolusi sosialis dimana kaum pekerja akan menggulingkan kaum majikan. Hegel tidak mengatakan apa hasil historis dialektika ini. Ia tidak akan menarik kesimpulan apakah si budak akan memberontak, apakah si tuan dapat menindas si budak. Hegel menunjukan struktur nyata hubungan ketergantungan antara dua kelompok manusia. Analisa Hegel memperlihatkan bahwa bisa saja kekuasaan politik berada dalam tangan suata kelas yang dalam pemenuhan kebutuhannya justru tergantungan dari mereka yang dikuasainya. Ketergantungan politik yang diciptakan melalui penindasan dapat saja berbarangan dengan ketergantungan ekonomis dan vital persis kebalikannya yang diikatkan melalui pekerjaan. Begitu pula jelaslah bahwa kelas tuan mempunyai suatu kepentingan vital dalam kelangsungan pekerjaan si budak, dalam etos pekerjaannya: hanya kalau budak bekerja dengan baik, tuan bisa hidup.

Filsafat Pekerjaan
Kenyataannya bahwa selama berabad-abad para filsuf sama sekali tidak memperhatikan pekerjaan. Padahal tak ada seorang filsuf yang bisa hidup dan berfilsafat kalau tidak ada orang lain yang mengolah tanah untuknya, menghasilkan makanan dan menjaitkan pakaian untuknya. Di zaman pra industri fenomena pekerjaan hampir tidak mendapat perhatian teoritis, kiranya tidak lepas dari dua segi penting dalam cara produksi pada zaman itu. Pertama, orang yang bekerja sebagai tukang selalu sudah bekerja secara maksimal: dari pagi smpai malam tanpa libur dan dengan keterampilan yang sangat tinggi. Masalah oenambahan jumlah pekerjaan ataupun perbaikan kualitasnya hampir tidak bisa muncul. Bekerja begitupun dianggap biasa dan tak banyak perangsang ataupun kemungkinan untuk mengubahnya. Kedua di bidang pertanian bidang pekerjaan utama di masa itu manusia pekerja mengetahui bahwa hasil pekerjaan di batasi oleh faktor alam: di atas batas tertentu suatu tambahan pekerjaan tidak akan diimbangi oleh hasil.
Smith membedakan antara pekejaan dalam arti sebenarnya, yaitu pekerjaan yang produktif, seperti pekerjaan petani, buruh, tukang dan pekerjaan non produktif seperti pekerjaan para prajurit, politikus, dan ahli filsafat. Kegiatan golongan produktif tidak menciptakan nilai baru melainkan hanya memindahkannya. Nilai tenaga kerja diukur menurut hukum tawar menawar dan karena buruh lebi lemah dari pada kedudukan majikan. Mereka belum menyadari bahwa meraka mempunyai kekuatan asal bersatu kesadaran hanya diperoleh melalui perjuangan. Keadaan nyata kehidupan para buruh di zaman kapitalisme. Akibat di eksploitasi buruh yang digambarkan oleh Karl Marx buruh bekerja bukan karena minat, melainkan karena terpaksa. Sebagai ganti nafkah hidupnya buruh menjual tenaga kerjanya kepada oranmg lain yang menguasai prasarana kerja yamg dibutuhkan buruh agar ia dapat bekerja.


Etos Kerja
            Etos adalah sikap kehendak seseorang terhadap kegiatan ilmiahnya dan ia menentukan sikapnya sendiri terhadapnya. Etos memiliki hubungan erat dengan sikap moral kesamaannya terletak dalam kemutlakan sikapnya itu, namun perbedaanya terletak pada tekanan sikap moral menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai standar yang harus diikuti. Sedangkan etos menegaskan sikap adalah sikap yang sudah mantap atau biasa, sesuatu yang nyata mempengaruhi dan menentukan bagaimana saya atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu. Mengungkapkan semangat dan sikap batin seseorang yang didalmnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral. Dalam dialog tentang etos hanya dijalankan oleh pihak-pihak yang bebas dan sama kedudukannya. Setiap paksaan dan tekanan meski digagalkan. Dalam hal etos semua pandangan, harapan normative, fiksasi ideologis, semua keyakinan sama haknya.
Menurut Hegel dan Marx menuntut suatu etos pekerjaan dari kaum buruh yang dieksploitasi pekerjaannya itu tidak masuk akal, analisa terhadap paham etos menunjukan hal yang sama secara positif: sesuatu etos hanya dapat disepakati secara bebas dan dialogis oleh pihak-pihak yang sama kedudukannya. Pengertian tersebut akan diperhatikan kalau sekarang menempatakan masalah etos pekerjaan kedalam konteks masyarakat Indonesia. 
 Orang Kecil
Yang menjadi persoalan disini bukan kalangan elite dan kelas-kelas menengah yang sudah lumayan dengan ekonominya. Yang mencolok adalah rendahnya imbalan bagi pekerjaan mereka, mereka bekerja tak lepas dari cengkraman kekhawatiran akan hari esok memenuhi kebutuhan yang paling sederhana merekapun sangat sulit. Lalu bagaimana penghargaan atas mereka banyak buruh kasar yang tidak mempunyai kpntrak kerja; begitu saja mereka bisa dikeluarkan oleh majikan. Pemerintah dilain pihak tak habis-habisnya memprogandakan pembangunan yang menujukan penghargaan terhadap pekerjaan mereka sendiri membiarkan ratusan ribu pegawai rendah yang bekerja selama bertahun-tahun tanpa diberi pengangkatan sebagai pegawai. Lalu bagaimana penghargaan terhadap pekerjaan itu tercermin langsung dalam besar kecilnya imbalan yang diperoleh untuknya.
Dalam kesimpulannya, bahwa harapan akan perkembangan suatu etos kerja dalam masyarakat hanya akan terpenuhi apabila pekerjaan mereka dapat imbalan yang wajar, menghargai sebagai kesibukan manusiawi dan membuka kemungkinan untuk maju selain itu apabila  etos kerja dalam masyarakat belum memuaskan, tak perlu kita mencari sebabnya dalam mentalitas masyarakat. dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan etos akan selalu diserukan oleh kaum elite karena hanya mereka yang menguasai kalangan intelektual dan kalangan fisik untuk menyuarakan pikirannya. Keadaan mereka sedemikian berbeda dengan keadaan massa rakyat yang terjamin, berkuasa, beruntung atas pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan massa rakyat, dan bebas dari ketakutan pada hari esok.

Etos Kerja Asli Indonesia
            Keurangan dalam etos kerja mayarakat pada mentalintas mereka, melainkan pada keadaan sosial ekonomis objektif. Banyak dari penduduk Indonesia yang sudah tidak mampu ekonominya mereka tidak memiliki etos kerja yang baik. Yang seharusnya terjadi jika mereka memiliki keadaan ekonomi yang kurang seharusnya bisa memiliki etos kerja yang baik dan lebih semangat karena hidup akan terus bergulir. Banyak korupsi di Indonesia mungkin di karenakan etos kerja yang rendah, mereka ingin mendapat hasil yang banyak dengan mudah. Indonesia menempati urutan ke-5 di dunia dalam hal korupsi. Para pemimpin negeri ini memang awal wulanya berjuang keras untuk mendapatkan jabatan yang diperoleh. Tetapi ketika jabatan telah diperoleh mereka melakukan korupsi untuk mendapatkan hasil lebih dalam pekerjaannya.
            Jika para buruh di Indonesia mendapatkan pendidikan tentang wirausaha, mungkin mereka tidak akan memilih pekerjaan sebagai buruh. Yang terjadi mungkin mereka berusaha membuat tambak sendiri dengan cara meminjam uang pada bank atau menggadaikan barang yang berharga dari rumahnya untuk digadaikan. Ekonomi yang rendah di jadikan objek untuk seseorang bisa menjadi yang lebih baik. Dalam tambak para buruh seharusnya bisa berjuang untuk membuat usahanya sendiri dan tidak bergantung pada pemilik modal yang bukan berasal dari Tanjung Burung. Para pemimpin atau kepala desa di Tanjung Burung seharusnya bisa memanfaatkan sumber daya alamnya untuk masyarakat desanya. Jika pemimpin atau kepala desa Tanjung Burung dapat mengolah kebijakan yang pro dengan rakyat maka

Kesimpulan
Masyarakat Tanjung Burung yang bekerja sebagai buruh tambak hanya bergaji kecil. Pekerja buruh tambak hanya mendapat Rp.500.000 per bulan jika dalam sekali panen  mendapatkan untung besar barulah para buruh tambak mendapatkan komisi tambahan dari hasil panen ikan. Kemiskinan yang dialami oleh para buruh tambak akan terus berlanjut selama mereka tidak memiliki usaha lain dan hanya bergantung pada tambak milik orang lain tersebut. Para buruh tambak dieksploitasi oleh suatu sistem, dan ironisnya justru sistemlah yang diproduksi melalui kerja para buruh tambak sendiri.
Para pemilik modal menyerahkan kepada buruh tambak untuk mengelola tambak yang dimilikinya. Dalam kesimpulannya, bahwa harapan akan perkembangan suatu etos kerja dalam masyarakat hanya akan terpenuhi apabila pekerjaan mereka dapat imbalan yang wajar, menghargai sebagai kesibukan manusiawi dan membuka kemungkinan untuk maju selain itu apabila etos kerja dalam masyarakat belum memuaskan, tak perlu kita mencari sebabnya dalam mentalitas masyarakat. dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan etos akan selalu diserukan oleh kaum elite karena hanya mereka yang menguasai kalangan intelektual dan kalangan fisik untuk menyuarakan pikirannya.
Eksploitasi dan dominasi lebih dari sekedar distribusi kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang. Pekerja ( buruh tambak ) harus mentaati syarat dan ketentuan kapitalis ( pemilik tambak ) karena pekerja tidak lagi mampu memproduksi demi kebutuhan mereka sendiri. Menurut Marx kapitalisme menciptakan “ tentara cadangan “ dari pengangguran. Jika para pekerja tidak mau melakukan tugas dengan upah yang diberikan oleh pemilik tambak maka akan ada orang lain di dalam “tentara cadangan” dari pengangguran yang mau melakukannya. Pemilik tambak membayar para buruh tambak kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri. Hal ini membawa konsep sentral Marx tentang nilai-surplus. Nilai surplus adalah perbedaan nilai produk ketika dijual dan nilai – nilai elemen – elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut.

Daftar Pustaka
Magnis-Suseno, Frans. 1991. Berfilsafat dari Konteks.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.





[1][1] George Ritzer. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers. Hal: 5.
[2][2]Frans Magnis-Suseno. 1991. Berfilsafat dari Konteks.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal: 115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar