KAPITALISASI LAHAN DAN KEMISKINAN DI DAERAH TAMBAK
(Studi Kasus: Masyarakat Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten
Tanggrang)
Peper ini dibuat untuk memenuhi tugas Sosiologi Pedesaan
Kelompok 9:
Akram Diponegoro
Andrean Bagus Akbar
Riyan Hartanto
Silviana
Yuwan Caesa Utami
Pengantar
Tulisan ini mendeskripsikan tentang kapitalisasi lahan daerah tambak dan
kemiskinan yang ada di Desa Tanjung Burung. Desa Tajung Burung terletak di
Kabupaten Tangerang Kecamatan Teluk Naga. Tambak
adalah suatu ekosistem
buatan manusia, merupakan
lahan dekat pantai yang dibendung
dengan pematang-pematang keliling sehingga membentuk sebuah kolam
berair payau. Produksi hayati
perairan tambak sangat ditentukan oleh kesuburan tambak. Pada produktivitas tambak ditentukan
oleh sarana produksi dan kualitas habitat, dimana habitat tambak
selalu mengalami perubahan sesuai dengan keseimbangan dinamik faktor lingkungan
yang mempengaruhinya.
Daerah ini merupakan daerah pesisir yang dahulunya
sempat berjaya dalam hal tambak dengan budidaya udang windunya. Keadaan para
buruh tambak saat membudidayaan udang windu sangatlah berkecukupan karena harga
udang windu tersebut sangatlah mahal. Tapi seiring berjalannya waktu pencemaran
terjadi di daerah Desa Tanjung Burung ini yang menyebabkan para petambak udang
beralih membudidayakan ikan air tawar karena udang windu
rentan dengan berbagai penyakit juga pencemaran. Para penduduk Desa Tanjung Burung ini hanya mengurus tambak saja atau hanya
sebagai buruh tambak. Mereka bukanlah pemilik lahan tambak melainkan hanya
bertugas mengelola tambak; memberikan makan ikan-ikan yang ada di tambak dan
menjaga lahan tambak. Kebanyakan dari para pemilik tambak
bukanlah warga asli Desa Tanjung Burung. Dengan gaji yang berkisar antara
500ribu – 600ribu per bulan mereka terima sebagai upah
hasil kerja keras mereka.
Dalam penelitian ini yang menjadi
fokus adalah kapitalisasi lahan tambak dan kemiskinan petambak di Desa Tanjung
Burung. Di Desa Tanjung Burung terdapat lahan tambak yang sangat luas. Sebagian besar masyarakat Tanjung Burung yang bekerja sebagai
petambak, mengelola tambak disana tidak mendapatkan pendapatan yang setimpal
dengan yang mereka kerjakan. Rata-rata penambak disana mendapatkan pendapatan
sebesar Rp 500 – 600 ribu per bulan, pendapatan ini sangat kurang dari apa yang telah mereka
kerjakan. Dalam pembagian kerja yang ada di tambak Desa
Tanjung Burung ini ada tiga, yaitu buruh tambak, pengelola tambak dan pemilik
modal. Pekerjaan dari buruh tambak adalah menjaga tambak dan memberi makan ikan-ikan yang ada di tambak tersebut.
Pengelola keuangan tambak bertugas untuk mengelola keuangan tambak yang bertanggung jawab
langsung kepada pemilik tambak. Dan pemilik modal hanya menunggu laporan keuangan dari hasil panen tambak yang mereka miliki.
Tambak Desa Tanjung
Burung
Dari lima lahan tambak
yang kami teliti, terdapat 3 lahan tambak yang dikomersialisasikan menjadi
tempat pemancingan dan selebihnya lahan tambak dijadikan sebagai tempat
pembesaran ikan yang nantinya dijual ke pelelangan ikan. Lahan tambak yang dikomersialisasikan menjadi
tempat pemancingan terletak di daerah yang relative mudah dijangkau. Sedangkan
lahan tambak yang hasil ikannya dijual ke tempat pelelangan terletak di
pertengahan sampai ujung daerah tambak mendekati laut.
Dari lima lahan tambak yang kami sambangi hanya satu orang penduduk asli Desa
Tanjung Burung yang mempunyai tambak tersebut. Selebihnya pemilik tambak bukanlah warga asli
Desa Tanjung Burung.
Lahan tambak tersebut pertama, pemancingan Vega Jaya Makmur, pemiliknya
adalah Koh Sihwat. Koh Sihwat merupakan
warga asli Desa Tanjung Burung. Tambak ini dikelola keuangnnya oleh Pak Acing dari Desa Alar yang bersebelahan
langsung dengan desa tanjung burung. Buruh tambak yang ada di pemancingan Vega Jaya Makmur bernama Pak Ateng yang merupakan penduduk asli Desa Tanjung
Burung. Pak Ateng tinggal di gubuk kecil di lahan tambak. Istrinya membuka warung
kecil untuk menambah pemasukan keluarga. Kedua, tambak yang dikelola oleh pak
Nadawi. Pak Nadawi adalah seorang buruh tambak sekaligus pengelola keuangan
tambak di desa Tanjung Burung. Pemilik tambak yang di urus oleh pak Nadawi ini dimiliki oleh penduduk BSD (Bumi serpong damai). Tambak yang ketiga adalah
tambak yang dimiliki oleh pak Kuncang yang merupakan penduduk
Kosambi dan buruh tambak bernama Pak Memen. Keempat adalah tambak yang dimiliki oleh Bapak Pai-Pai
yang merupakan warga asli kampong melayu. Tambak dikelola oleh Pak Jumadi yang
merupakan seorang buruh tambak asli desa Tanjung Burung. Dan tambak yang kelima
adalah tambak yang dimiliki oleh Lurah Belimbing dan buruh tambaknya bernama
bapak maman. Dari kelima tambak tersebut luas tambak masing-masing 5 sampai 6
hektar. dalam sekali panen pengusaha tambak membeli 3000 ekor bibit dan
Rata-rata mereka mendapatkan 6 ton sekali panennya, panen ikan biasanya sekitar
4 bulan sampai 6 bulan. Ikan bandeng disana dijual Rp.25.000 per Kg nya.
Kemiskinan buruh tambak di Desa Tanjung Burung
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang mendasar yang dihadapi
oleh Bangsa Indonesia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai
kekurangan dan ketidakberdayaan diri si miskin. Berbagai kekurangan dan
ketidakberdayaan tersebut disebabkan baik factor internal maupun eksternal yang
membelenggu, seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri,
tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi
kebutuhan. Dengan begitu, segala aktivitas yang mereka lakukan untuk
meningkatkan hidupnya sangat sulit.
Kemiskinan yang terjadi pada
buruh tambak dikarenakan pada gaji yang kecil dan para buruh tersebut hanya
tergantung pada kerja mengelola tambak. Dalam kehidupan para buruh tambak akan
terjadi kemiskinan terus menerus selama mereka tidak mempunyai modal.
Kebanyakan warga dari desa tanjung burung hanya sebagai pengelola tambak saja.
tambak dimiliki oleh orang yang bukan warga asli desa tanjung burung. Kekayaan
alam yang ada di daerah desa tanjung burung hanya dapat dimanfaatkan oleh para
pemilik modal sedangkan warga desa tanjung burung sendiri tidak memiliki modal
sehingga mereka tidak dapat menikmati kekayaan alam desa mereka dan kemiskinan
masih membelenggu diantara mereka. Buruh tambak yang ada di Tanjung Burung
tidak bisa menuju kehidupan yang lebih baik karena kemiskinan desa sulit di
berantas jika pemerintah tidak turun langsung ke desa tersebut. Kemiskinan yang
terjadi di desa Tanjung Burung sulit untuk di rubah jika tidak ada bantuan yang
datang dari pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai kekurangan
dan ketidakberdayaan diri si miskin. Berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan
tersebut disebabkan baik faktor internal maupun eksternal yang membelenggu,
seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak mampu memanfaatkan
tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhan . Dengan begitu, segala
aktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan hidupnya sangat sulit. Tetapi selama ini
banyak perbedaan persepsi antara seseorang dengan orang lain tentang kemiskinan.
Adanya perbedaan tersebut, maka perlu adanya pembatas.
Desa Tanjung Burung adalah daerah pesisir yang mendapat buangan air dari
kali cisadane. Kali cisadane adalah kali yang tercemar saat ini karena sudah
padatnya daerah tangerang di tahun 2012 ini. Daerah tanjung burung mendapat
dampak pada tambaknya. Dahulu kehidupan desa Tanjung Burung pada masyarakat
yang bekerja sebagai petambak masih tidak sesulit pada tahun ini. Tahun ini
para petambak sudah tidak bisa mengharapkan pekerjaan dari burug tambak ini
karena komisi yang dihasilkan dari tambak sudah kecil.
Pengentasan Kemiskinan
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
untuk memajukan perekonomian di pedesaan adalah melalui Bantuan Keuangan.
Bantuan ini bisa dipergunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat,
peningkatan infrastruktur ekonomi gampong dalam skala kecil, peningkatan
kualitas kesehatan, serta mendukung peningkatan kualitas pendidikan berbasis
masyarakat seperti PAUD dan PKBM. Penyediaan dana BKPG dapat dikatakan sebagai
pendamping bagi program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)
Mandiri. Beberapa program lainnya yang bertujuan mengatasi permasalahan
kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah pusat telah disambut baik oleh
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Diantara program-program tersebut,
sebut saja diantaranya; JKA yang bersanding dengan Jamkesmas, atau Beasiswa
Anak Yatim dengan Beasiswa Miskin. Di samping itu pemerintah melalui lembaga
keuangan baik perbankan maupun lembaga keuangan mikro juga menyediakan pinjaman
modal usaha untuk membantu usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun fasilitas
ini belum digunakan secara maksimal oleh masyarakat. Beberapa kendala
diantaranya; kurangnya informasi yang diterima masyarakat, masih buruknya
sistem pengelolaan usaha sehingga dianggap tidak bankable, serta tidak adanya
jaminan kredit. Untuk itu diperlukan adanya pendampingan oleh berbagai elemen
kepada masyarakat sehingga akses layanan kredit untuk membantu usaha masyarakat
dapat diperoleh dengan mudah.
Ajaran Marx
Dengan
bertolak dari dialektika Hegel dan filsafat meanusia Feurbach, Marx memikirkan
pembebasan manusia dari segala keterasingan. Keterasingan ini menunjukan
wajahnya yang paling buruk dalam keadaan tak manusiawi kaum buruh upahan
kapitalisme bagian pertama abalalu. Syarat pembebasan itu adalah penghapusan
hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Yang membuat Marx begitu atraktif
bagi kaum buruh adalah kombinasi seruan agar kaum buruh meningkatkan terus
perjuangan kelas dengan penegasan bahwa perjuangan mereka pasti akan berhasil.
Marx mengclaim bahwa ajarannya bukan sekedar tuntutan moral, melainkan
berdasarkan analisa hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Tatanan
kapitalis akan runtuh karena kontradiksi-kontradiksinya sendiri.
Menurut
Marx perkembangan masyarakat ditentukan oleh bidang ekonomi, ciri khas bidang
ekonomi adalah konflik antara pemilik alat-alat produksi dan para pekerja. Yang
pertama adalah kelas atas karena menguasai bidang produksi dan hidup dari kaum
buruh. Kaum buruh adalah kelas bawah yang terpaksa menjual tenaga kerja mereka
kepada para pemilik. Negara dikuasai oleh kelas atas ekonomi dan karena itu
melayani kepentingan mereka. Agama, pandangan-pandangan moral, dan nilai-nilai
budaya memberikan legitimasi pada struktur kekuasaan kelas itu. Konflik antara
kelas atas dan bawah niscaya memuncak dalam sebuah revolusi yang
menjungkirbalikan tatanan lama dan meletakan dasar tatanan baru yang akan
berkembang menurut hukum yang sama.
Menurut
Marx pertentangan kelas ini mencapai puncaknya dalam sistem ekonomi kapitalis.
Tekanan kompetensi memaksa para kapitalis untuk terus mempertajam eksploitasi
buruh-buruh mereka. Justru dengan demikian kapitalisme mempersiapkan
kehancurannya sendiri. Kelas buruh semakin miskin dan semakin bertambah banyak,
sedangakan sisa kaum kapitalis tidak dapat menjual produksi lagi. Pada saat
itulah kaum buruh akan bangkit mengambil alih pabrik-pabrik dengan demikian
menciptakan masyarakat tanpa kelas, eleh karena itu tanpa explotation de
l’homme par l’homme dan tanpa penindasan masyarakat komunis.
Melihat Hubungan Pengelolaan Tambak dengan Perspektif Marx
Marx percaya bahwa ada hubungan yang inheren antara kerja dan sifat dasar
manusia, tetapi hubungan ini telah diselewengkan oleh kapitalisme. Hubungan
yang telah diselewengkan disebut dengan alienasi. Manusia menurut Marx tidak
lagi melihat kerja kita sebagai sebuah ekspresi dari tujuan kita. Tidak ada
objektivasi. Malah bekerja berdasarkan tujuan kapitalis yang menggaji dan
mengupah kita. Di dalam kapitalisme, kerja tidak lagi menjadi tujuan pada
dirinya sendiri – sebagai ungkapan dari kemampuan dan potensi
kemanusiaan-melainkan terdeduksi menjadi sarana untuk mencapai tujuan, yaitu
memperoleh uang dengan demikian kerja kita bukan lagi milik pribadi kita
sehingga tidak bisa lagi mentransformasikan kita. Dengan kata lain. Kita
dialienasi ( diasingkan ) dari kerja kita dan oleh karena itu, dialienasi dari
sifat dasar kita sebagai manusia.
Kapitalisme menurut Marx adalah sistem ekonomi di mana pengelola tambak
hanya memiliki sedikit hak milik memproduksi komoditas-komoditas demi
keuntungan yang memiliki tambak. Para pemilik tambak memiliki hal- hal berikut : komoditas-komoditas, alat
produksi, dan bahkan waktu kerja para pengelola tambak karena pemilik tambak
telah membeli alat pekerja tersebut melalui gaji. Namun, pengertian sentral
Marx adalah kapitalisme lebih dari sekedar sistem ekonomi, kapitalisme adalah
sistem kekuasaaan. Maka kapitalisme tidak hanya menjadi sekedar sistem ekonomi:
pada saat yang sama, kapitalisme juga sistem politik cara menjalankan kekuasaan
yaitu sistem politik yang dilakukan oleh para pemilik tambak yang menjalankan
kekuasaannya di lahan tambak atas eksploitasi buruh tambak.
Proletariat menurut Marx adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan
tidak memiliki sarana-sarana sendiri dan pabrik-pabrik sendiri dalam kasus ini
para buruh tambak termasuk kedalam proletariat. Para buruh tambak menurut teori
Marx akan kehilangan keterampilan mereka apabila terciptanya mesin atau alat
yang dapat menggantikan keterampilan para buruh tambak. Karena proletariat
hanya memproduksi demi pertukaran, maka mereka juga konsumen. Maksudnya adalah
para buruh tambak produk yang dimiliki bukan untuk ditukar langsung melainkan
ditukar di pasar demi uang atau untuk objek yang lain. Karena buruh tambak
tidak memiliki sarana – sarana untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan mereka
sendiri, mereka menggunakan upah yang mereka peroleh tiap bulannya untuk
membeli apa yang mereka butuhkan dan bergantung pada upah untuk bertahan hidup.
Hal ini yang membuat proletar atau buruh tambak tergantung pada orang yang
memberi upah tau para pemilik tambak.
Para pemilik tambak disebut sebagai kapitalis
karena mereka memiliki alat – alat produksi. Kapital sendiri adalah uang yang
menghasilkan banyak uang. Kapital merupakan uang yang diinvestasikan ketimbang
uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Marx memandang sebagai
“titik tolak kapital”.[1][1] Sirkulasi komoditas, dua tipe sirkulasi komoditas menurut Marx .
1.
Ciri kapital : Uang à Komoditas à Uang ( dengan jumlah yang
lebih besar ) (M1-C-M2) Dalam hal ini komoditas dibeli untuk mendapat
keuntungan bukan untuk digunakan seperti para pemilik tambak membeli,
mengontrak atau membuat lahan tambak yang dikategorikan sebagai komoditas.
Dalam mendapatkan atau menguasai komoditas seperti tambak membutuhkan uang.
Namun kepemilikan komoditas tersebut agar mendapatkan keuntungan yang lebih
besar.
2.
Bukan ciri kapital : Komoditas à Uang à Komoditas (C1-M-C2). Dalam
sirkulasi komoditas nonkapitalis ini misalnya seorang buruh tambak membeli nasi
bungkus dari gajinya dan memakan nasi bungkus tersebut untuk makan siang.
Tujuan utama dalam pertukaran sirkulasi nonkapitalis ini adalah komoditas yang
dapat digunakan dan dinikmati.
Jadi kapital bukan hanya uang yang menghasilkan
lebih banyak uang, menurut Marx kapital kapital merupakan sebuah relasi sosial
tertentu. Uang hanya akan menjadi kapital karena adanya relasi sosial antara
buruh tambak yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang
menginvestasikan uangnya. Kapasitas kapital untuk memperoleh keuntungan
terlihat “ sebagai suatu kekuatan yang dibantu oleh alam- suatu kekuatan
produktif yang imanen di dalam kapital”. Namun inilah relasi kekuasaan menurut
Marx. Kapital tidak bisa meningkat kecuali dengan orang-orang yang bekerja
secara aktual. Para buruh tambak dieksploitasi oleh suatu sistem, dan ironisnya
justru sistemlah yang diproduksi melalui kerja para buruh tambak sendiri. Sistem
kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari mereka dasar hubungan
eksploitatif tersebut. para kapitalis adalah orang yang hidup dari keuntungan
capital. Para buruh tambak dieksploitasi oleh suatu sistem, dan ironisnya
justru sistemlah yang diproduksi melalui kerja para buruh tambak sendiri.
Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang
muncul dari mereka dasar hubungan eksploitatif tersebut. Dalam ide kapital
terdapat relasi sosial antara orang - orang yang memiliki alat produksi dan
orang – orang kerja upahan yang di eksploitasi. Eksploitasi dan dominasi lebih
dari sekedar distribusi kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang.
Pekerja ( buruh tambak ) harus mentaati syarat dan ketentuan kapitalis (
pemilik tambak ) karena pekerja tidak lagi mampu memproduksi demi kebutuhan
mereka sendiri. Menurut Marx kapitalisme menciptakan “ tentara cadangan “ dari
pengangguran. Jika para pekerja tidak mau melakukan tugas dengan upah yang
diberikan oleh pemilik tambak maka akan ada orang lain di dalam “tentara cadangan”
dari pengangguran yang mau melakukannya. Pemilik tambak membayar para buruh
tambak kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri
mereka sendiri. Hal ini membawa konsep sentral Marx tentang nilai-surplus.
Nilai surplus adalah perbedaan nilai produk ketika dijual dan nilai – nilai
elemen – elemen yang digunakan untuk membuat produk tersebut. Pemilik tambak
dapat menggunakan keuntungan untuk konsumsi pribadi tetapi hal tersebut belum
menyebabkan ekspansi kapitalisme. Pemilik tambak usaha tambak mereka dengan
mengubah nilai surplus yang didapatkan dari pengelolaan tambak menjadi modal
yang akan menghasilkan nilai surplus yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Tuan dan Budak dalam
Perspektif Hegel
Inilah tempatnya dimana Hegel membicarakan pekerjaan. Sang Tuan
memperkerjakan si budak agar ia mengubah alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
si tuan. Karena khawatir akan nyawanya, si budak bekerja bagi si tuan. Ia
tergantung dari dia. Namun dalam pekerjaannya ini si budak mengalami suatu
perkembangan. Ia mengalami bahwa ia sanggup untuk menguasai alam yang dulu
memusuhinya. Dengan bekerja ia mengembangkan kecakapan-kecakapannya, ia
semakain menyadari kemampuan-kemampuannya, ia menjinakan alam yang ganas,
sehingga semakin sesuai dengan kebutuhan manusia. Dengan demikian ia
membuktikan dengan dirinya sendiri, bahwa ia dapat menguasai hidupnya.
Sebaliknya sang tuan lama-kelamaan semakin tergantung dari budaknya. Karena
hanya melalui pekerjaan budaknya ia dapat memperoleh apa yang dibutuhkannya
demi kelangsungan hidupnya. Maka hubungan yang semula ternyata telah berbalik:
sang tuan menjadi budak dan si budak menjadi tuan.[2][2]
Berbeda dengan Marx
yang langsung menerjemahkan dialektika ini ke dalam realitas politik; sejarah
niscaya akan menghasilkan revolusi sosialis dimana kaum pekerja akan
menggulingkan kaum majikan. Hegel tidak mengatakan apa hasil historis dialektika ini. Ia tidak akan
menarik kesimpulan apakah si budak akan memberontak,
apakah si tuan dapat menindas si budak. Hegel menunjukan struktur nyata
hubungan ketergantungan antara dua kelompok manusia. Analisa Hegel
memperlihatkan bahwa bisa saja kekuasaan politik berada dalam tangan suata
kelas yang dalam pemenuhan kebutuhannya justru tergantungan dari mereka yang
dikuasainya. Ketergantungan politik yang diciptakan melalui penindasan dapat
saja berbarangan dengan ketergantungan ekonomis dan vital persis kebalikannya
yang diikatkan melalui pekerjaan. Begitu pula jelaslah bahwa kelas tuan
mempunyai suatu kepentingan vital dalam kelangsungan pekerjaan si budak, dalam
etos pekerjaannya: hanya kalau budak bekerja dengan baik, tuan bisa hidup.
Filsafat
Pekerjaan
Kenyataannya
bahwa selama berabad-abad para filsuf sama sekali tidak memperhatikan
pekerjaan. Padahal tak ada seorang filsuf yang bisa hidup dan berfilsafat kalau
tidak ada orang lain yang mengolah tanah untuknya, menghasilkan makanan dan
menjaitkan pakaian untuknya. Di zaman pra industri fenomena pekerjaan hampir
tidak mendapat perhatian teoritis, kiranya tidak lepas dari dua segi penting
dalam cara produksi pada zaman itu. Pertama, orang yang bekerja sebagai tukang
selalu sudah bekerja secara maksimal: dari pagi smpai malam tanpa libur dan
dengan keterampilan yang sangat tinggi. Masalah oenambahan jumlah pekerjaan
ataupun perbaikan kualitasnya hampir tidak bisa muncul. Bekerja begitupun
dianggap biasa dan tak banyak perangsang ataupun kemungkinan untuk mengubahnya.
Kedua di bidang pertanian bidang pekerjaan utama di masa itu manusia pekerja
mengetahui bahwa hasil pekerjaan di batasi oleh faktor alam: di atas batas
tertentu suatu tambahan pekerjaan tidak akan diimbangi oleh hasil.
Smith membedakan antara pekejaan dalam arti
sebenarnya, yaitu pekerjaan yang produktif, seperti pekerjaan petani, buruh,
tukang dan pekerjaan non produktif seperti pekerjaan para prajurit, politikus,
dan ahli filsafat. Kegiatan golongan produktif tidak menciptakan
nilai baru melainkan hanya memindahkannya. Nilai tenaga kerja diukur menurut
hukum tawar menawar dan karena buruh lebi lemah dari pada kedudukan majikan.
Mereka belum menyadari bahwa meraka mempunyai kekuatan asal bersatu kesadaran
hanya diperoleh melalui perjuangan. Keadaan nyata kehidupan para buruh di zaman
kapitalisme. Akibat di eksploitasi buruh yang digambarkan oleh Karl Marx buruh
bekerja bukan karena minat, melainkan karena terpaksa. Sebagai ganti nafkah
hidupnya buruh menjual tenaga kerjanya kepada oranmg lain yang menguasai
prasarana kerja yamg dibutuhkan buruh agar ia dapat bekerja.
Etos Kerja
Etos adalah sikap kehendak
seseorang terhadap kegiatan ilmiahnya dan ia menentukan sikapnya sendiri
terhadapnya. Etos memiliki hubungan erat dengan sikap moral kesamaannya
terletak dalam kemutlakan sikapnya itu, namun perbedaanya terletak pada tekanan
sikap moral menegaskan orientasi pada norma-norma sebagai standar yang harus
diikuti. Sedangkan etos menegaskan sikap adalah sikap yang sudah mantap atau
biasa, sesuatu yang nyata mempengaruhi dan menentukan bagaimana saya atau
sekelompok orang untuk melakukan sesuatu. Mengungkapkan semangat dan sikap
batin seseorang yang didalmnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral.
Dalam dialog tentang etos hanya dijalankan oleh pihak-pihak yang bebas dan sama
kedudukannya. Setiap paksaan dan tekanan meski digagalkan. Dalam hal etos semua
pandangan, harapan normative, fiksasi ideologis, semua keyakinan sama haknya.
Menurut Hegel dan Marx
menuntut suatu etos pekerjaan dari kaum buruh yang dieksploitasi pekerjaannya
itu tidak masuk akal, analisa terhadap paham etos menunjukan hal yang sama
secara positif: sesuatu etos hanya dapat disepakati secara bebas dan dialogis
oleh pihak-pihak yang sama kedudukannya. Pengertian tersebut akan diperhatikan
kalau sekarang menempatakan masalah etos pekerjaan kedalam konteks masyarakat
Indonesia.
Orang Kecil
Yang menjadi persoalan disini
bukan kalangan elite dan kelas-kelas menengah yang sudah lumayan dengan
ekonominya. Yang mencolok adalah rendahnya imbalan bagi pekerjaan mereka,
mereka bekerja tak lepas dari cengkraman kekhawatiran akan hari esok memenuhi
kebutuhan yang paling sederhana merekapun sangat sulit. Lalu bagaimana
penghargaan atas mereka banyak buruh kasar yang tidak mempunyai kpntrak kerja;
begitu saja mereka bisa dikeluarkan oleh majikan. Pemerintah dilain pihak tak
habis-habisnya memprogandakan pembangunan yang menujukan penghargaan terhadap
pekerjaan mereka sendiri membiarkan ratusan ribu pegawai rendah yang bekerja
selama bertahun-tahun tanpa diberi pengangkatan sebagai pegawai. Lalu bagaimana
penghargaan terhadap pekerjaan itu tercermin langsung dalam besar kecilnya
imbalan yang diperoleh untuknya.
Dalam kesimpulannya, bahwa
harapan akan perkembangan suatu etos kerja dalam masyarakat hanya akan
terpenuhi apabila pekerjaan mereka dapat imbalan yang wajar, menghargai sebagai
kesibukan manusiawi dan membuka kemungkinan untuk maju selain itu apabila etos kerja dalam masyarakat belum memuaskan,
tak perlu kita mencari sebabnya dalam mentalitas masyarakat. dalam hubungan ini
yang perlu diperhatikan etos akan selalu diserukan oleh kaum elite karena hanya
mereka yang menguasai kalangan intelektual dan kalangan fisik untuk menyuarakan
pikirannya. Keadaan mereka sedemikian berbeda dengan keadaan massa rakyat yang
terjamin, berkuasa, beruntung atas pekerjaan yang lebih baik daripada pekerjaan
massa rakyat, dan bebas dari ketakutan pada hari esok.
Etos Kerja Asli Indonesia
Keurangan
dalam etos kerja mayarakat pada mentalintas mereka, melainkan pada keadaan
sosial ekonomis objektif. Banyak dari penduduk Indonesia yang sudah tidak mampu
ekonominya mereka tidak memiliki etos kerja yang baik. Yang seharusnya terjadi
jika mereka memiliki keadaan ekonomi yang kurang seharusnya bisa memiliki etos
kerja yang baik dan lebih semangat karena hidup akan terus bergulir. Banyak
korupsi di Indonesia mungkin di karenakan etos kerja yang rendah, mereka ingin
mendapat hasil yang banyak dengan mudah. Indonesia menempati urutan ke-5 di dunia
dalam hal korupsi. Para pemimpin negeri ini memang awal wulanya berjuang keras
untuk mendapatkan jabatan yang diperoleh. Tetapi ketika jabatan telah diperoleh
mereka melakukan korupsi untuk mendapatkan hasil lebih dalam pekerjaannya.
Jika para buruh di
Indonesia mendapatkan pendidikan tentang wirausaha, mungkin mereka tidak akan
memilih pekerjaan sebagai buruh. Yang terjadi mungkin mereka berusaha membuat
tambak sendiri dengan cara meminjam uang pada bank atau menggadaikan barang
yang berharga dari rumahnya untuk digadaikan. Ekonomi yang rendah di jadikan
objek untuk seseorang bisa menjadi yang lebih baik. Dalam tambak para buruh
seharusnya bisa berjuang untuk membuat usahanya sendiri dan tidak bergantung
pada pemilik modal yang bukan berasal dari Tanjung Burung. Para pemimpin atau
kepala desa di Tanjung Burung seharusnya bisa memanfaatkan sumber daya alamnya
untuk masyarakat desanya. Jika pemimpin atau kepala desa Tanjung Burung dapat
mengolah kebijakan yang pro dengan rakyat maka
Kesimpulan
Masyarakat Tanjung Burung yang bekerja sebagai buruh tambak hanya bergaji
kecil. Pekerja buruh tambak hanya mendapat Rp.500.000 per bulan jika dalam
sekali panen mendapatkan untung besar
barulah para buruh tambak mendapatkan komisi tambahan dari hasil panen ikan.
Kemiskinan yang dialami oleh para buruh tambak akan terus berlanjut selama
mereka tidak memiliki usaha lain dan hanya bergantung pada tambak milik orang
lain tersebut. Para buruh tambak
dieksploitasi oleh suatu sistem, dan ironisnya justru sistemlah yang diproduksi
melalui kerja para buruh tambak sendiri.
Para pemilik modal menyerahkan kepada buruh tambak untuk mengelola tambak
yang dimilikinya. Dalam kesimpulannya, bahwa harapan akan
perkembangan suatu etos kerja dalam masyarakat hanya akan terpenuhi apabila
pekerjaan mereka dapat imbalan yang wajar, menghargai sebagai kesibukan
manusiawi dan membuka kemungkinan untuk maju selain itu apabila etos kerja
dalam masyarakat belum memuaskan, tak perlu kita mencari sebabnya dalam
mentalitas masyarakat. dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan etos akan
selalu diserukan oleh kaum elite karena hanya mereka yang menguasai kalangan
intelektual dan kalangan fisik untuk menyuarakan pikirannya.
Eksploitasi dan dominasi lebih dari sekedar distribusi kesejahteraan dan
kekuasaan yang tidak seimbang. Pekerja ( buruh tambak ) harus mentaati syarat
dan ketentuan kapitalis ( pemilik tambak ) karena pekerja tidak lagi mampu
memproduksi demi kebutuhan mereka sendiri. Menurut Marx kapitalisme menciptakan
“ tentara cadangan “ dari pengangguran. Jika para pekerja tidak mau melakukan
tugas dengan upah yang diberikan oleh pemilik tambak maka akan ada orang lain
di dalam “tentara cadangan” dari pengangguran yang mau melakukannya. Pemilik
tambak membayar para buruh tambak kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan
meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri. Hal ini membawa konsep sentral
Marx tentang nilai-surplus. Nilai surplus adalah perbedaan nilai produk ketika
dijual dan nilai – nilai elemen – elemen yang digunakan untuk membuat produk
tersebut.
Daftar Pustaka
Magnis-Suseno, Frans. 1991.
Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar