Jumat, 18 Januari 2013

Studi Tradisionalisme Islam dan Peran Majelis Ta’lim Ibu-Ibu di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga Tangerang


SOSIOLOGI PEDESAAN
AGAMA DAN KEMISKINAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT PESISIR:
Studi Tradisionalisme Islam dan Peran Majelis Ta’lim Ibu-Ibu di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga Tangerang





di susun oleh :
 
                                    ESTU CINDY AMALLI 
                    IMAM AHMAD NURDIN 
                           MARIO YUDHA 
                    PRITA AYSAH ARIFANI 
                    VERA SOPHIA FAUZIAH 









AGAMA DAN KEMISKINAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT PESISIR:
Studi Tradisionalisme Islam dan Peran Majelis Ta’lim Ibu-Ibu di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga Tangerang

Abstrak
Penelitian ini berusaha menjelaskan korelasi antara etika beragama dengan kemiskinan dalam konteks masyarakat pesisir.Islammerupakan sebuah agama yang legalis dan serba mencakup. Begitupula dalam ajarannya mengenai semangat untuk memperoleh kekayaan agar dapat dimanfaatkan gunanya bagi ummat. Namun berlaku pula konsekuensi obyektif pada studi ini, yakni tidak selamanya apa yang diajarkan oleh agama dapat terlaksana dengan baik tanpa hambatan pada realitanya. Hal ini terbukti di desa Tanjung Burung fungsi dari majlis ta’lim yang tidak berjalan sebagaimana mestinya
Adapun maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kemiskinan dan etika beragama di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga. Oleh karena itu penulis melakukan sebuah penelitian kualitatif dengan mengambil sejumlah sampel kaum perempuan masyarakat pesisirdi Desa Tanjung Burung untuk di wawancarai secara mendalam. Dari penelitian itu, penelitian difokuskan kepada kaum perempuan terutama ibu-ibu yang tergabung dalam Majelis taklim setempat.
Key Word: Agama, ritus, masyarakat perdesaan,  kebudayaan.

Pengantar
Mengutip pernyataan dari Amartya Sen bahwa kemiskinan terjadi akibat perampasan kapabilitas/capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Dalam hal ini, ketidakbebasan masyarakat yang substansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi.[1]
Sejalan dengan hal tersebut, stuktur ekonomi yang terdapat pada warga Desa Tanjung Burung, terdeskripsikan bahwa mayoritas masyarakat Desa memiliki penghasilan di bawah rata-rata. Dapat dianalisis pula dari tingkat kesejahteraan masyarakatnya yakni: kaya 277 jiwa, sedang 500 jiwa dan kurang mampu 740 jiwa[2].Secara umum dapat dijelaskan bahwa Desa Tanjung Burung penduduknya mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, buruh, karyawan swasta dan Pegawai Negeri Sipil, yang merupakan potensi sangat besar. Sedangkan ABRI, petani, pertukangan dan pensiunan jumlahnya relatif kecil.
 Adapun mayoritas pekerjaan ini adalah untuk kaum laki-laki, sehingga para kaum perempuan tidak memiliki pekerjaan dan posisi yang substansial dalam membantu perekonomian keluarga, padahal tingkat kesejahteraan ekonomi dari nafkah yang diberikan oleh kepala keluarga belumlah terpuaskan secara maksimal. Hal ini berdampak pada keterbatasan perempuan (terutama Ibu-ibu) dalam berperan dan turut andil membangun perekonomian di tengah-tengah masyarakat. Keterbatasan ini pula yang menjadi titik nadir dan mengarahkan kesadaran warga setempat untuk membuat kegiatan bersama berbasis religi, salah satunya ialah Majelis taklim.
Namun studi terhadap Majelis taklim setempat mengenai perannya dalam mengentaskan kemiskinan, nampaknya mengalami hambatan terkait seberapa besar pemahaman masyarakat terutama Ibu-ibu dalam memaknai arti penting religiusitas sebagai fundamentalis meninggalkan posisi ketermiskinan di keluarga dan desanya.
Dalam pembahasan ini, penulis berusaha menjelasksan seberapa besar peranan majelis ta’lim yang seharusnya dapat membangkitkan spirit terhadap kaum perempuan tidak terjadi di desa tanjung burung.
Dalam pengertian etis, Islam merupakan sebuah agama yang legalis dan serba mencakup. Allah dijadikan sebagai Dzat tertinggi yang menguasai segalanya dan diharapkan dapat memberikan bantuan bagi umat manusia. Semasa Nabi hidup kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dikomunikasikan langsung dengan Allah karena peran Nabi sebagai penyambung lidah Tuhan. Akan tetapi setelah Nabi tiada, orang-orang Islam merasa al-Qur’an menjadi semakin membisu sehingga mereka sedapat mungkin mempertahankan tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu muncullah para penggagas yang memperbaharui pemahaman al-Qur’an.
Namun rentang waktu yang memisahkan zaman, alhasil menghasilkan pemikiran yang mengarahkan bahwa Islam dicirikan sebagai sistem dikotomis yang memenuhi kebutuhan berbeda antara orang kota yang melek huruf dengan orang desa yang buta huruf, baik dalam kehidupan sosial maupun religius. Hal tersebut juga mengantarkan kepada suatu pemikran bahwa dinamika Islam hanya bersifat akhiratsaja, tanpa mengedepankan aspek keduniawian. Padahal segala kebutuhan yang bersifat dunia serta hubungannya untuk hidup merasakan kebahagian, diajarkan pula di dalam kitab suci. Istilah ini dikenal dengan kaffah atau menyeluruh. Adapun Islam sebagai agama penyempurna, hadir dengan melengkapi kekurangan-kekurangan dengan menyentuh segala aspek sendi kehidupan.
Dalam telaah analitis tentang Weber dan Islam, sebagaimana ditulis Bryan S. Turner ialah kajian sosiologi Islam Max Weber terfokus pada dikotomi antara “hukum rasional dan hukum irrasional”[3]. Hukum rasional ialah hukum yang diambil dari sebuah buku suci dan bersifat tegas dan baku (normatif). Sementara hukum irrasional ialah hukum yang didasarkan atas pendapat seorang qadhi dan bersifat fleksibel.
Weber bersikeras bahwa syari’at bukanlah sebuah dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar penjelasan spekulatif para ahli fiqh yang dikenal sebagai ijtihad. Namun implementasinya terjadi kesenjangan antara hukum ideal dan realitas sosial. Secara teori, syari’at bersifat kaku dan dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak mantap. Kelemahan sistem tersebut, lanjut Weber, terjadi karena ketidakjelasan batas antara norma yang etis, agama dan hukum serta diiringi dengan sistematisasi yang kacau. Dalam perjalanannya kemudian hukum para faqih tersebut dianggap suci dan abadi sehingga terjadi stabilisasi hukum.
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Islam periode Mekkah sebagai agama eskatologis berkembang dalam convecticle kota pietistik yang mempertahankan suatu tendensi untuk menarik diri dari dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya di Madinah dan dalam evolusi komunitas-komunitas awal, agama ini berubah menjadi agama prajurit dengan tekanan-tekanan kelas yang sangat kuat. Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempeunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal (irrasional) dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis.
Lebih lanjut lagi, Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi. Weber kemudian memandang Islam dalam banyak segi sebagai lawan puritanisme di mana ia selanjutnya memiliki semangat hedonis murni[4].
Weber menyimpulkan bahwa praktek-praktek ekonomi kaum Muslim yang tidak mendukung proses akumulasi kapital atau pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan. Demikian pula praktek-praktek sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’ dijadikan dasar bagi kesimpulan-kesimpulan di atas. Lebih lanjut Weber juga percaya bahwa kaum Muslim, (lagi-lagi berbeda dengan Protestan aliran Calvin) tidak memiliki sikap sederhana, hemat, tekun atau berperhitungan dalam seluruh kegiatan ekonomi mereka.
Proses kemiskinan di sebabkan oleh adanya perampasan kapabilitas secara meluas dan adanya prilaku pemimpin dalam pemerintahan yang tidak mampu menjalakan demokrasi secara optimal. Penyebab kemiskinan  yang terjadi secara terus menerus disebabkan oleh minmalnya kebereadaan akses yang ada yang mebuat masyarakat  menjalankan apa yang terpaksa mereka harus dilakukan bukan apa yang mereka ingin lakukan. Kemiskinan yang ada sebenarnay tidak dapat di hilangkan tetapi dalam prosesnya kemiskinan dapat di minimalisasikan.
Tujuan dalam penulisan laporan hasil penelitian Praktik Kuliah Lapangan Sosiologi Pedesaan di Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang adalah untuk mendeskripsikan secara lengkap mengenai realitas kemiskinan dan peran Majelis Taklim di desa tersebut.

Realitas Kemiskinan Masyarakat Pesisir
Kemiskinan terjadi karena adanya perampasan kapabilitas (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Amartya Sen[5]. Lebih lanjut lagi Ia menambahkan bahwa ketidakbebasan masyarakat yang substansif tersebut berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Kemiskinan membuat masyarakat tidak bisa terhindar dari kelaparan, mendapatkan nutrisi yang cukup, memperoleh obat bagi yang sakit, serta tidak dapat menikmati air bersih dan fasilitas sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan pemberdayaan kaum miskin disebabkan oleh perilaku pemimpin atau pemerintah yang tidak mampu menjalankan kehidupan demokrasi secara optimal. Sehingga kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh suatu proses pemiskinan atau yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan struktural.
Mengambil studi kasus di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang misalnya, elit pemerintahannya belum mampu menanggulangi masalah kemiskinan yang disebabkan karena strategi dalam menanggulangi kemiskinan yang ditawarkan oleh pemerintah belum menjawab akar persoalan kemiskinan. Kebijakan pemerintah hanya merespon dampak yang ditimbulkan dari persoalan kemiskinan.  Hal ini diperparah dengan cara pandang yang selalu beranggapan bahwa penyebab kemiskinan hanya berasal dari kaum miskin itu sendiri dan masalah ekonomi.  
Menurut Sen[6], penyebab langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan keberadaan akses yang ada. Begitupula halnya yang terjadi di desa Tanjung Burung ini. Masyarakatnya mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya penduduk hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Hal ini membuat potensi hidup masyarakat menjadi terhambat dan kontribusinya dalam kesejahteraan kehidupan bersama menjadi lebih kecil. Keberadaan akses yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.
Kemiskinan dapat ditanggulangi apabila hak-hak dasar dari kaum miskin ditegakkan.  Kemiskinan di Indonesia jika dikaitkan dengan pemikiran Sen[7], disebabkan karena pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak dasar dari masyarakat terutama masyarakat miskin.  Pendidikan adalah hak yang seharusnya dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, agar dapat menunjang kehidupan yang lebih baik.  Selain itu, pemerintah juga menyediakan lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha bagi masyarakat dalam mencari penghidupan yang layak.  Dalam hal ini, masyarakat desa khususnya sebagai ikon kemiskinan, memerlukan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupannya. Di desa Tanjung Burung sendiri, akses untuk melanjutkan jenjang ke SMP dan seterusnya masih belum terealisasikan secara optimal. Jika ingin meneruskan, harus ke desa tetangga dahulu. Begitupula dalam lapangan pekerjaan yang sangat minim. Sehingga hal ini berdampak pada upaya membangun dan mensejahterakan kehidupan keluarga dan masyarakatnya.


Peran Majelis Ta’lim di Desa Tanjung Burung
Desa Tanjung Burung merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang. Desa Tanjung Burung berdiri pada tahun 1984 dengan luas wilayah 864 Ha. Di Desa Tanjung Burung terdapat tujuh dusun, delapan rukun warga dan enam belas rukun tetangga. Saat ini, Desa Tanjung Burung dipimpin oleh seorang kepala desa yang bernama Rusdiono.

Dapat dilihat dalam komposisi penduduk berdasarkan agama, mayoritas masyarakat Desa Tanjung Burung memeluk agama Islam.

Tabel 1.1 Komposisi penduduk berdasarkan agama
Agama
Jumlah
Islam
6.338
Katolik
16
Protestan
170
Hindu
0
Budha
853
Sumber: Arsip Sekretaris Desa
                                      
Stuktur ekonomi yang terdapat pada warga Desa Tanjung Burung, memaparkan bahwa masih banyak sebagian masyarakat Desa yang berpenghasilan di bawah rata-rata.
Tabel 1.2 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat:  ( dalam KK / jiwa )
Kaya
Sedang
Kurang Mampu
277
500
740
Sumber: Arsip Sekretaris Desa

Mayoritas pekerjaan masyarakat adalah untuk kaum laki-laki, sehingga para kaum perempuan di Desa ini tidak memiliki pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga. Meski dalam keterbatasan ekonomi sekalipun, para Ibu tidak dapat berbuat banyak terhadap situasi dan kondisi yang ada. Minimnya akses dalam turut serta berperan di tengah-tengah masyarakat, menimbulkan kesadaran warga setempat untuk membuat kegiatan sebagai media pemberdaya perempuan, salah satunya ialah Majelis taklim.
. Banyaknya Majelis taklim seimbang dengan pola persebaran masjid/mushola di 16 RT dan 8 RW. Kegiatan ini cenderung dihadiri oleh Ibu-ibu rumah tangga[8]. Adapun rangkaian kegiatan antar Majelis taklim, lebih-kurangnya masih dalam variasi yang sama, yakni; shalawatan, doa-doa, pelajaran tauhid dan fiqih, dan yang terakhir doa penutup. Perkumpulan pengajian yang intensif seminggu 4 kali ini (1 kali adalah perkumpulan khusus arisan), membuat ikatan tali silahturahmi masyarakat semankin menguat,sehingga solidaritas mekanik pun kian kokoh.diantaranya masih banyaknya tingkat kebersamaan di antar warga yang tinggi. Masih adanya solidaritas yang kuat diantara satu warga dengan warga lainnya. Ini membuktikan bahwa tingkat solidaritas mekanik di desa tanjung masih terikat kuat.
Adapun unsur pembentukkan religiusitas masyarakat terpencil sangat bertolak belakang dengan gaya hidup rasional dan formal masyarakat urban. Terbukti bahwa masyarakat terpencil masih memegang erat peran keagamaan, berbeda dengan masyarakat kota yang mengaplikasikan kehidupan agama di dalam realitas dunia di atas keduniawian. Bagi orang desa yang buta huruf, orang suci/marabout adalah penumbuhan agama dalam bentuk emosi, yang ditata secara hierarkis berdasarkan pewarisan kharisma. Begitupula dinamika Majelis taklim pada desa ini. Meski mayoritas penduduk memang beragama Islam, namun sebagian penduduk masih banyak yang buta akan keilmuan Islam itu sendiri, sehingga kehadiran ustadh/ustadzah sebagai oase, memberikan pemahaman tentang ilmu seputar tauhid dan fiqih disetiap pengajiannya. Sosok yang bersifat volunteer ini begitu dihormati atas kharisma pengetahuan agama yang dimilikinya. Jama’ah pun begitu menghargai pembelajaran yang diberikan,tanpa banyak mengkritisi keilmuan yang sebelumnya belum pernah didapatnya.
Stigma peran kaum perempuan di mata masyarakat hanyalah sebatas kasur,dapurdansumur. Namun seiring dengan dinamika zaman, perempuan di  desa ini mulai mengeksiskan dirinya dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya dengan tergabung dalam pengajian Majelis taklim, sehingga bagi kaum perempuan yang awalnya memiliki banyak waktu luang karena tidak memiliki pekerjaan khusus, dapat beraktifitas dalam mengisi kekosongan.
Eksistensi Islam tidak bisa dibandingkan dengan pencapain teknologi Barat. Karena orang yang hidup di Timur dan Afrika terpesona oleh hal-hal keimanan yang telah diyakini dari para pemegang teguh keimanan yang sayangnya dibatasi oleh kerangkeng besi yang mengkungkung kepala mereka, sehingga kaum perempuan yang tergabung dalam majelis taklim setempat merasa apa yang diyakini, telah mencapai suatu hal yang pasti. Tidak mampu mempelajari hal lain atau membuka diri untuk ide-ide baru.
Pemikiran serta tindakan yang terlalu konvensional, menghantarkan kepada nasib yang tidak berkembang secara materi/ekonomi. Hal ini dikarenakan dalam majelis taklim setempat tidak diajarkan semangat untuk mencari ilmu secara keduniawian. Sehingga berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk merekontruksikan keilmuan beragama mereka dengan membangun perekonomian dan terlepas dari lingkaran kemiskinan yang menjerat. Padahal diharapkan perempuan yang hadir di majelis taklim dengan tujuan menimba ilmu berarti dapat berperan sebagai agen perubahan dan pembangunan.


Karakter Islam Tradisional
Masyarakat Indonesia banyak yang menganut salah satu corak paham keislaman   dan cukup popular di tengah religiusitasnya, yakni islam tradisional. Paham keislaman ini sering dikonfrontir dengan Islam Modernis, yang  menuduh Islam Tradisional sebagai penghambat kemajuan dan membawa kemunduran umat Islam. Berbagai pemikiran yang dilakukan kaum modernis untuk membawa umat Islam kepada kemajuan adalah dengan terlebih dahulu meninggalkan sikap tradisionalnya.
 Dalam perkembangan selanjutnya, Islam Tradisional tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, namun juga hasil pemikiran (ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam berbagai bidang keilmuan, seperti "fiqih" (hukum Islam), tafsir, teologi, "tasawuf", dan lain sebagainya. Adapun karakter dari Islam tradisional adalah:
·           Eksklusif (tertutup). Tidak mau menerima pemikiran, pendapat, dan saran yang berasal dari luar, terutama dalam bidang keagamaan karena memandang bahwa hanya kelompoknya saja yang benar, sedangkan kelompok yang lainnya tidak benar.
·           Tidak membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan nonajaran.
·           Berorientasi ke belakang. Menilai berbagai keputusan hukum para ulama di masa lampau lebih agung dan menjadi contoh ideal, yang tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang muncul kemudian.
·           Cenderung tekstualitas-literalis tanpa melihat latar belakang dan situasi sosial yang menyebabkan ayat Al-Qur'an itu diturunkan, serta pesan yang terkandung di balik satu ayat. Maka, mereka meniru segala macam yang dicontohkan nabi dan ulama masa lampau, seperti pola busana nabi yang mengenakan jubah, berjanggut, memakai serban, makan dengan tangan, tidak menggunakan produk-produk teknologi modern, cenderung kembali ke alam.

·           Tidak membatasi waktu, misalnya belajar di pesantren tanpa batas  waktu tertentu.
·           Cenderung tidak mempermasalahkan tradisi masyarakat lokal  setempat sebelum agama Islam diterima, yang penting menenteramkan hati dan perasaan umat.
·           Cenderung lebih mengutamakan perasaan daripada pikiran. Kegiatan ritual keagamaan lebih diperbanyak, seperti zikir, berdoa,  mengadakan selamatan bersama, istighosyah bersama, dan  sebagainya.,
·           Cenderung bersifat jabariah dan teosentris. Tunduk dan patuh pada  Tuhan, pasrah pada takdir.
·           Kurang tertarik pada ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
·           Cenderung puas dengan apa yang sudah ada, tidak tertarik pada  persaingan global.

Mereka yang berlatar belakang tradisionalis memandang bahwa teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu ilmu yang disiplin yang mempelajari tentang ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif, dan skolastik. Kalangan Islam ini lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam berbagai karya kalam klasik

Narasi Kemiskinan Pesisir: Perlunya Reorientasi Spirit Islam
Agama mempunyai pengaruh sebagai alat integratif dalam masyarakat di mana kegiatan beragama memiliki nilai fungsional pada setiap aspek kesejahteraan hidup manusia.Ia berperan mengatur sistem moral dan sosial masyarakat sehingga memungkinkan pengadaptasi dan keharmonisan di dalamnya. Dimensi agama sesungguhnya mempunyai eksistensi dalam mendorong, mengatur serta memaslahatkan kemakmuran baik di dunia dan akhirat.
Adapun inti dari pemberdayaan ada tiga hal, yaitu; pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya kemandirian.Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi masyarakat tidak menyadari, atau bahkan belum diketahui. Oleh karena itu, daya harus digali, dan kemudian dikembangkan.
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang spirit of capitalism[9].Namun, di dalam Islam sendiri digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng.Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti; “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri, ‘amalurrajuli biyadihi(HR.Abu Dawud)”.
Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”; “al yad al ‘ulya khairun min al yad al sufla”(HR.Bukhari dan Muslim). Melalui bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras agar memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain, atuzzakah. (Q.S. Nisa : 77).
Selain itu, dalam sebuah ayat Allah mengatakan, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. at-Taubah : 105). Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah.(Q.S. al-Jumu’ah : 10)
Bahkan sabda Nabi, “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi). Nash ini jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan dapat hidup dengan mandiri.
Kemauan yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Allah pun memerintahkan umatnya untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha
Lebih lanjut lagi, maka tidak dikenal dikotomi antara dunia dan akhirat; agama dan iptek. Karena jelas, agama adalah spirit yang memberi arah kemajuan dan penggunaan iptek. Di dalam konteks individu, Islam sangat mendorong ummatnya untuk belajar dan memiliki pengetahuan (learning society).Sehingga menghabiskan waktu tanpa mendapatkan ilmu, memperoleh ijazah tanpa ilmu atau mendapat amanah sebelum menguasai ilmu adalah tercela. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti akan memudahkannya menempuh jalan menuju surga” (HR Turmidzi) "Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. Siapa saja yang mempelajari ilmu, dia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang tersebut,” (HR Ibnu Majah).
Program pengajian atau Taklim yang bersifat progresif dan membawa pada arah kemajuan ialahselain sebagai sarana menyebar ilmu, juga sebagai pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan.Di taklim tidak hanya diajarkan ilmu ibadah, tetapi juga ilmu sosial, ilmu umum, hingga ilmupolitik.
   Kegiatan enterpreunership dapat disisipkan pula dalam kegiatan pengajian. Bekerja keras sendiri merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus reziko (baca; resiko).
Dalam sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang dan entrepre mancanegara yang pawai.Beliau adalah praktisi ekonomi dan sosok tauladan bagi umat.Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukanlah Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia setidaknya sampai abad ke -13 M, oleh para pedagang muslim.
Dari aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah meubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak, melainkan pada pekerjaan.
Oleh karena itu, Nabi juga bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif” (sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan).Umar Ibnu Khattab mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di antara kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.
Keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang. Di samping  menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga mewariskan keahlian berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah Pantura, misalnya, sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang).
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).

Kesimpulan
Weber mengatakan bahwa praktek-praktek sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’. Padahal Islam sendiri merupakan sebuah agama serba mencakup. Begitupula dalam ajarannya mengenai semangat untuk memperoleh kekayaan agar dapat dimanfaatkan gunanya bagi ummat.
Namun implementasi majelis taklim sebagai bentuk kereligiusitasan masyarakat Desa Tanjung Burung bersifat stagnan terhadap usahanya dalam memperoleh kesuksesan dunia secara ekonomi. Maksudnya ialah, terjadi dikotomi antara kegiatan keduniawian dan akhirat. Sehingga yang kemudian terjadi ialah, eksistensi majelis taklim tidak dapat menjadi jembatan transformasi untuk menghancurkan kelanggengan kemiskinan yang terjadi di Desa.
Majelis taklim dipandang sebagai upaya mengisi kekosongan waktu atau sebagai ritual belaka,serta sebagai ruang sosialisasi, selain sebagai media mencari ilmu religi. Ibu-ibu tergabung dalam pengajian ini karena tidak memiliki pekerjaan khusus yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi perempuan, padahal keadaan perekonomian keluarga semakin memburuk. Secara keilmuan, pengetahuan mereka sedikit berkembang karena adanya pendidikan fiqih dan tauhid.
Tidak adanya spirit of capitalism dapat terlihat pada masyarakat Desa Tanjung Burung, sekalipun sebagian kaum perempuan tergabung dalam majelis taklim. Ummat dikekang oleh stigma kepasrahan dan keridhoan kepada illahi.
Diharapkan majelis taklim selain sebagai sarana menyebar ilmu, juga sebagai pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan. Di majelis taklim tidak hanya diajarkan ilmu ibadah, tetapi juga ilmu sosial, ilmu umum, hingga ilmupolitik.

Referensi
Arsip Sekretaris Desa Tanjung Burung tahun 2011
Turner, Bryan S. 2012. Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD.
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/04/tauhid-dan-gerakan-transformasi-sosial.html


           



[2] Berdasarkan profil desa tahun 2011 yang diperoleh dari Sekretaris Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang
[3]Turner, Bryan S, 2012, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, Yogyakarta: IRCiSoD
[4]Hedonisme yang dimaksud Weber nampak pada kenyataan Islam yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda.
[6]ibid
[7]Ibid
[8]Walaupun berdasarkan penelitian ada pula Majelis taklim/pengajian untuk laki-laki (Bapak-bapak) namun yang difokuskan kelompok ialah Majelis taklim untuk Ibu-ibu.
[9] Istilah yang digunakan oleh Weber dalam literaturnya ‘Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme’

1 komentar: