SOSIOLOGI PEDESAAN
AGAMA DAN
KEMISKINAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT PESISIR:
Studi Tradisionalisme
Islam dan Peran Majelis Ta’lim Ibu-Ibu di Desa Tanjung Burung, Kecamatan
Teluknaga Tangerang
|
|
|
|
|
di susun oleh :
ESTU
CINDY AMALLI
IMAM
AHMAD NURDIN
MARIO
YUDHA
PRITA
AYSAH ARIFANI
VERA
SOPHIA FAUZIAH
AGAMA DAN
KEMISKINAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT PESISIR:
Studi
Tradisionalisme Islam dan Peran Majelis Ta’lim Ibu-Ibu di Desa Tanjung Burung,
Kecamatan Teluknaga Tangerang
Abstrak
Penelitian ini berusaha menjelaskan korelasi antara etika
beragama dengan kemiskinan dalam konteks masyarakat pesisir.Islammerupakan sebuah
agama yang legalis dan serba mencakup. Begitupula dalam ajarannya mengenai
semangat untuk memperoleh kekayaan agar dapat dimanfaatkan gunanya bagi ummat.
Namun berlaku pula konsekuensi obyektif pada studi ini, yakni tidak selamanya
apa yang diajarkan oleh agama dapat terlaksana dengan baik tanpa hambatan pada
realitanya. Hal ini terbukti di desa Tanjung Burung fungsi dari majlis ta’lim
yang tidak berjalan sebagaimana mestinya
Adapun maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara kemiskinan dan etika beragama di Desa Tanjung Burung, Kecamatan
Teluk Naga. Oleh karena itu penulis melakukan sebuah penelitian kualitatif
dengan mengambil sejumlah sampel kaum perempuan masyarakat pesisirdi Desa
Tanjung Burung untuk di wawancarai secara mendalam. Dari penelitian itu,
penelitian difokuskan kepada kaum perempuan terutama ibu-ibu yang tergabung
dalam Majelis taklim setempat.
Key
Word:
Agama, ritus, masyarakat perdesaan,
kebudayaan.
Pengantar
Mengutip
pernyataan dari Amartya Sen bahwa kemiskinan terjadi akibat perampasan
kapabilitas/capability deprivation (kebebasan untuk mencapai
sesuatu dalam hidup seseorang). Dalam hal ini, ketidakbebasan masyarakat yang
substansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi.[1]
Sejalan
dengan hal tersebut, stuktur ekonomi yang terdapat pada warga Desa Tanjung
Burung, terdeskripsikan bahwa mayoritas masyarakat Desa memiliki penghasilan di
bawah rata-rata. Dapat dianalisis pula dari tingkat
kesejahteraan masyarakatnya yakni: kaya 277 jiwa, sedang 500 jiwa dan kurang mampu 740 jiwa[2].Secara
umum dapat dijelaskan bahwa Desa Tanjung Burung penduduknya mayoritas
bermatapencaharian sebagai pedagang, buruh, karyawan swasta dan Pegawai Negeri
Sipil, yang merupakan potensi sangat besar. Sedangkan ABRI, petani, pertukangan
dan pensiunan jumlahnya relatif kecil.
Adapun mayoritas pekerjaan ini adalah untuk kaum laki-laki,
sehingga para kaum perempuan tidak memiliki pekerjaan dan posisi yang
substansial dalam membantu perekonomian keluarga, padahal tingkat kesejahteraan
ekonomi dari nafkah yang diberikan oleh kepala keluarga belumlah terpuaskan
secara maksimal. Hal ini berdampak pada keterbatasan perempuan (terutama
Ibu-ibu) dalam berperan dan turut andil membangun perekonomian di tengah-tengah
masyarakat. Keterbatasan ini pula yang menjadi titik nadir dan mengarahkan
kesadaran warga setempat untuk membuat kegiatan bersama berbasis religi, salah
satunya ialah Majelis taklim.
Namun studi
terhadap Majelis taklim setempat mengenai perannya dalam mengentaskan
kemiskinan, nampaknya mengalami hambatan terkait seberapa besar pemahaman
masyarakat terutama Ibu-ibu dalam memaknai arti penting religiusitas sebagai
fundamentalis meninggalkan posisi ketermiskinan di keluarga dan desanya.
Dalam pembahasan ini, penulis berusaha menjelasksan
seberapa besar peranan majelis ta’lim yang seharusnya dapat membangkitkan
spirit terhadap kaum perempuan tidak terjadi di desa tanjung burung.
Dalam pengertian
etis, Islam merupakan sebuah agama yang legalis dan serba mencakup. Allah
dijadikan sebagai Dzat tertinggi yang menguasai segalanya dan diharapkan dapat
memberikan bantuan bagi umat manusia. Semasa Nabi hidup kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat dikomunikasikan langsung dengan Allah karena peran Nabi sebagai
penyambung lidah Tuhan. Akan tetapi setelah Nabi tiada, orang-orang Islam
merasa al-Qur’an menjadi semakin membisu sehingga mereka sedapat mungkin
mempertahankan tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu
muncullah para penggagas yang memperbaharui pemahaman al-Qur’an.
Namun rentang waktu
yang memisahkan zaman, alhasil menghasilkan pemikiran yang mengarahkan bahwa
Islam dicirikan sebagai sistem dikotomis yang memenuhi kebutuhan berbeda antara
orang kota yang melek huruf dengan orang desa yang buta huruf, baik dalam
kehidupan sosial maupun religius. Hal tersebut juga mengantarkan kepada suatu
pemikran bahwa dinamika Islam hanya bersifat akhiratsaja, tanpa mengedepankan
aspek keduniawian. Padahal segala kebutuhan yang bersifat dunia serta
hubungannya untuk hidup merasakan kebahagian, diajarkan pula di dalam kitab
suci. Istilah ini dikenal dengan kaffah atau
menyeluruh. Adapun Islam sebagai agama penyempurna, hadir dengan melengkapi
kekurangan-kekurangan dengan menyentuh segala aspek sendi kehidupan.
Dalam telaah analitis tentang Weber dan Islam,
sebagaimana ditulis Bryan S. Turner ialah kajian sosiologi Islam Max Weber
terfokus pada dikotomi antara “hukum rasional dan hukum irrasional”[3].
Hukum rasional ialah hukum yang diambil dari sebuah buku suci dan bersifat
tegas dan baku (normatif). Sementara hukum irrasional ialah hukum yang
didasarkan atas pendapat seorang qadhi
dan bersifat fleksibel.
Weber bersikeras bahwa syari’at bukanlah sebuah dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar
penjelasan spekulatif para ahli fiqh
yang dikenal sebagai ijtihad. Namun
implementasinya terjadi kesenjangan antara hukum ideal dan realitas sosial.
Secara teori, syari’at bersifat kaku dan
dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak mantap. Kelemahan sistem
tersebut, lanjut Weber, terjadi karena ketidakjelasan batas antara norma yang
etis, agama dan hukum serta diiringi dengan sistematisasi yang kacau. Dalam
perjalanannya kemudian hukum para faqih
tersebut dianggap suci dan abadi sehingga terjadi stabilisasi hukum.
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama
monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama
yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Islam periode Mekkah sebagai agama
eskatologis berkembang dalam convecticle
kota pietistik yang mempertahankan suatu
tendensi untuk menarik diri dari dunia. Namun dalam perkembangan selanjutnya di
Madinah dan dalam evolusi komunitas-komunitas awal, agama ini berubah menjadi
agama prajurit dengan tekanan-tekanan kelas yang sangat kuat. Islam dianggap
Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempeunyai kecenderungan pada
‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat
‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai
‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya bahwa ajaran
Islam mempunyai sikap anti akal (irrasional) dan sangat menentang pengetahuan,
terutama pengetahuan teologis.
Lebih lanjut lagi, Islam adalah agama para petualang yang
diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat
duniawi. Weber kemudian memandang Islam dalam banyak segi sebagai lawan
puritanisme di mana ia selanjutnya memiliki semangat hedonis murni[4].
Weber menyimpulkan bahwa praktek-praktek
ekonomi kaum Muslim yang tidak mendukung proses akumulasi kapital atau
pertumbuhan kapitalisme secara keseluruhan. Demikian pula praktek-praktek
sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’ dijadikan
dasar bagi kesimpulan-kesimpulan di atas. Lebih lanjut Weber juga percaya bahwa
kaum Muslim, (lagi-lagi berbeda dengan Protestan aliran Calvin) tidak memiliki
sikap sederhana, hemat, tekun atau berperhitungan dalam seluruh kegiatan
ekonomi mereka.
Proses kemiskinan di sebabkan oleh adanya perampasan
kapabilitas secara meluas dan adanya prilaku pemimpin dalam pemerintahan yang
tidak mampu menjalakan demokrasi secara optimal. Penyebab kemiskinan yang terjadi secara terus menerus disebabkan
oleh minmalnya kebereadaan akses yang ada yang mebuat masyarakat menjalankan apa yang terpaksa mereka harus
dilakukan bukan apa yang mereka ingin lakukan. Kemiskinan yang ada sebenarnay
tidak dapat di hilangkan tetapi dalam prosesnya kemiskinan dapat di
minimalisasikan.
Tujuan dalam penulisan
laporan hasil penelitian Praktik Kuliah Lapangan Sosiologi Pedesaan di Desa Tanjung
Burung Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang adalah untuk mendeskripsikan
secara lengkap mengenai realitas kemiskinan dan peran Majelis Taklim di desa
tersebut.
Realitas
Kemiskinan Masyarakat Pesisir
Kemiskinan terjadi karena adanya perampasan
kapabilitas (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Hal ini
sejalan dengan yang dikatakan oleh Amartya Sen[5]. Lebih lanjut lagi Ia
menambahkan bahwa ketidakbebasan masyarakat yang substansif tersebut berkaitan
langsung dengan kemiskinan ekonomi. Kemiskinan membuat masyarakat tidak bisa
terhindar dari kelaparan, mendapatkan nutrisi yang cukup, memperoleh obat bagi
yang sakit, serta tidak dapat menikmati air bersih dan fasilitas
sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan pemberdayaan kaum miskin
disebabkan oleh perilaku pemimpin atau pemerintah yang tidak mampu menjalankan
kehidupan demokrasi secara optimal. Sehingga kemiskinan yang terjadi di
Indonesia lebih disebabkan oleh suatu proses pemiskinan atau yang lebih dikenal
dengan istilah kemiskinan struktural.
Mengambil studi kasus di Desa Tanjung Burung,
Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang misalnya, elit pemerintahannya belum
mampu menanggulangi masalah kemiskinan yang disebabkan karena strategi dalam
menanggulangi kemiskinan yang ditawarkan oleh pemerintah belum menjawab akar
persoalan kemiskinan. Kebijakan pemerintah hanya merespon dampak yang
ditimbulkan dari persoalan kemiskinan. Hal ini diperparah dengan
cara pandang yang selalu beranggapan bahwa penyebab kemiskinan hanya berasal dari
kaum miskin itu sendiri dan masalah ekonomi.
Menurut Sen[6], penyebab langgengnya
kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan
keberadaan akses yang ada. Begitupula halnya yang terjadi di desa Tanjung
Burung ini. Masyarakatnya mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan
hidupnya, akibatnya penduduk hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat
dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Hal ini membuat
potensi hidup masyarakat menjadi terhambat dan kontribusinya dalam
kesejahteraan kehidupan bersama menjadi lebih kecil. Keberadaan akses yang
dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi,
kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta
adanya jaring pengaman sosial.
Kemiskinan dapat ditanggulangi apabila
hak-hak dasar dari kaum miskin ditegakkan. Kemiskinan di Indonesia
jika dikaitkan dengan pemikiran Sen[7], disebabkan karena
pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak dasar dari masyarakat terutama
masyarakat miskin. Pendidikan adalah hak yang seharusnya
dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, agar dapat menunjang kehidupan yang
lebih baik. Selain itu, pemerintah juga menyediakan lapangan
pekerjaan dan kesempatan berusaha bagi masyarakat dalam mencari penghidupan yang
layak. Dalam hal ini, masyarakat desa khususnya sebagai ikon kemiskinan,
memerlukan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupannya. Di desa Tanjung
Burung sendiri, akses untuk melanjutkan jenjang ke SMP dan seterusnya masih
belum terealisasikan secara optimal. Jika ingin meneruskan, harus ke desa
tetangga dahulu. Begitupula dalam lapangan pekerjaan yang sangat minim.
Sehingga hal ini berdampak pada upaya membangun dan mensejahterakan kehidupan
keluarga dan masyarakatnya.
Peran Majelis
Ta’lim di Desa Tanjung Burung
Desa Tanjung
Burung merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten
Tangerang. Desa Tanjung Burung berdiri pada tahun 1984 dengan luas wilayah 864
Ha. Di Desa Tanjung Burung terdapat tujuh dusun, delapan rukun warga dan enam
belas rukun tetangga. Saat ini, Desa Tanjung Burung dipimpin oleh seorang kepala
desa yang bernama Rusdiono.
Dapat dilihat dalam komposisi
penduduk berdasarkan agama, mayoritas masyarakat Desa Tanjung Burung memeluk
agama Islam.
Tabel 1.1 Komposisi
penduduk berdasarkan agama
Agama
|
Jumlah
|
Islam
|
6.338
|
Katolik
|
16
|
Protestan
|
170
|
Hindu
|
0
|
Budha
|
853
|
Sumber: Arsip Sekretaris Desa
Stuktur
ekonomi yang terdapat pada warga Desa Tanjung Burung, memaparkan bahwa masih
banyak sebagian masyarakat Desa yang berpenghasilan di bawah rata-rata.
Tabel
1.2 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat: (
dalam KK / jiwa )
Kaya
|
Sedang
|
Kurang Mampu
|
277
|
500
|
740
|
Sumber: Arsip Sekretaris Desa
Mayoritas
pekerjaan masyarakat adalah untuk kaum laki-laki, sehingga para kaum perempuan
di Desa ini tidak memiliki pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga.
Meski dalam keterbatasan ekonomi sekalipun, para Ibu tidak dapat berbuat banyak
terhadap situasi dan kondisi yang ada. Minimnya akses dalam turut serta
berperan di tengah-tengah masyarakat, menimbulkan kesadaran warga setempat
untuk membuat kegiatan sebagai media pemberdaya perempuan, salah satunya ialah
Majelis taklim.
. Banyaknya Majelis taklim seimbang dengan pola persebaran masjid/mushola di
16 RT dan 8 RW. Kegiatan ini cenderung dihadiri oleh Ibu-ibu rumah tangga[8].
Adapun rangkaian kegiatan antar Majelis taklim, lebih-kurangnya masih dalam
variasi yang sama, yakni; shalawatan, doa-doa, pelajaran tauhid dan fiqih, dan
yang terakhir doa penutup. Perkumpulan pengajian yang intensif seminggu 4 kali
ini (1 kali adalah perkumpulan khusus arisan), membuat ikatan tali silahturahmi
masyarakat semankin menguat,sehingga solidaritas mekanik pun kian kokoh.diantaranya masih banyaknya
tingkat kebersamaan di antar warga yang tinggi. Masih adanya solidaritas yang
kuat diantara satu warga dengan warga lainnya. Ini membuktikan bahwa tingkat
solidaritas mekanik di desa tanjung masih terikat kuat.
Adapun unsur
pembentukkan religiusitas masyarakat terpencil sangat bertolak belakang dengan
gaya hidup rasional dan formal masyarakat urban. Terbukti bahwa masyarakat terpencil masih memegang
erat peran keagamaan, berbeda dengan masyarakat kota yang mengaplikasikan
kehidupan agama di dalam realitas dunia di atas keduniawian. Bagi orang desa yang buta
huruf, orang suci/marabout adalah
penumbuhan agama dalam bentuk emosi, yang ditata secara hierarkis berdasarkan
pewarisan kharisma. Begitupula dinamika Majelis taklim pada desa ini. Meski
mayoritas penduduk memang beragama Islam, namun sebagian penduduk masih banyak
yang buta akan keilmuan Islam itu sendiri, sehingga kehadiran ustadh/ustadzah
sebagai oase, memberikan pemahaman tentang ilmu seputar tauhid dan fiqih disetiap
pengajiannya. Sosok yang bersifat volunteer
ini begitu dihormati atas kharisma pengetahuan agama yang dimilikinya. Jama’ah pun begitu menghargai
pembelajaran yang diberikan,tanpa banyak mengkritisi keilmuan yang sebelumnya
belum pernah didapatnya.
Stigma peran
kaum perempuan di mata masyarakat hanyalah sebatas kasur,dapurdansumur. Namun
seiring dengan dinamika zaman, perempuan di
desa ini mulai mengeksiskan dirinya dalam berbagai aspek kehidupan,
salah satunya dengan tergabung dalam pengajian Majelis taklim, sehingga bagi kaum perempuan yang awalnya memiliki
banyak waktu luang karena tidak memiliki pekerjaan khusus, dapat beraktifitas
dalam mengisi kekosongan.
Eksistensi
Islam tidak bisa dibandingkan dengan pencapain teknologi Barat. Karena orang
yang hidup di Timur dan Afrika terpesona oleh hal-hal keimanan yang telah
diyakini dari para pemegang teguh keimanan yang sayangnya dibatasi oleh
kerangkeng besi yang mengkungkung kepala mereka, sehingga kaum perempuan yang tergabung dalam
majelis taklim setempat merasa apa yang diyakini, telah mencapai suatu hal yang
pasti. Tidak mampu mempelajari hal lain atau membuka diri untuk ide-ide baru.
Pemikiran serta tindakan yang terlalu
konvensional, menghantarkan kepada nasib yang tidak berkembang secara
materi/ekonomi. Hal ini dikarenakan dalam majelis taklim setempat tidak
diajarkan semangat untuk mencari ilmu secara keduniawian. Sehingga
berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk merekontruksikan keilmuan
beragama mereka dengan membangun perekonomian dan terlepas dari lingkaran
kemiskinan yang menjerat. Padahal diharapkan perempuan yang hadir di majelis
taklim dengan tujuan menimba ilmu berarti dapat berperan sebagai agen perubahan
dan pembangunan.
Karakter Islam
Tradisional
Masyarakat Indonesia banyak yang menganut salah satu corak paham
keislaman dan cukup popular di tengah
religiusitasnya, yakni islam tradisional. Paham keislaman ini sering
dikonfrontir dengan Islam Modernis, yang
menuduh Islam Tradisional sebagai penghambat kemajuan dan membawa
kemunduran umat Islam. Berbagai pemikiran yang dilakukan kaum modernis untuk
membawa umat Islam kepada kemajuan adalah dengan terlebih dahulu meninggalkan
sikap tradisionalnya.
Dalam perkembangan selanjutnya,
Islam Tradisional tidak hanya ditujukan kepada mereka yang berpegang teguh
kepada Al-Qur'an dan Al-Sunnah, namun juga hasil pemikiran (ijtihad) para ulama yang dianggap unggul
dan kokoh dalam berbagai bidang keilmuan, seperti "fiqih" (hukum Islam), tafsir, teologi, "tasawuf", dan lain sebagainya. Adapun karakter dari Islam tradisional adalah:
·
Eksklusif (tertutup). Tidak mau
menerima pemikiran, pendapat, dan saran yang berasal dari luar, terutama dalam
bidang keagamaan karena memandang bahwa hanya kelompoknya saja yang benar,
sedangkan kelompok yang lainnya tidak benar.
·
Tidak membedakan antara hal-hal yang
bersifat ajaran dengan nonajaran.
·
Berorientasi ke belakang. Menilai
berbagai keputusan hukum para ulama di masa lampau lebih agung dan menjadi
contoh ideal, yang tidak mungkin dikalahkan oleh para ulama atau sarjana yang
muncul kemudian.
·
Cenderung tekstualitas-literalis
tanpa melihat latar belakang dan situasi sosial yang menyebabkan ayat Al-Qur'an
itu diturunkan, serta pesan yang terkandung di balik satu ayat. Maka, mereka
meniru segala macam yang dicontohkan nabi dan ulama masa lampau, seperti pola
busana nabi yang mengenakan jubah, berjanggut, memakai serban, makan dengan
tangan, tidak menggunakan produk-produk teknologi modern, cenderung kembali ke
alam.
·
Tidak membatasi waktu, misalnya
belajar di pesantren tanpa batas waktu
tertentu.
·
Cenderung tidak mempermasalahkan
tradisi masyarakat lokal setempat
sebelum agama Islam diterima, yang penting menenteramkan hati dan perasaan
umat.
·
Cenderung lebih mengutamakan
perasaan daripada pikiran. Kegiatan ritual keagamaan lebih diperbanyak, seperti
zikir, berdoa, mengadakan selamatan
bersama, istighosyah bersama,
dan sebagainya.,
·
Cenderung bersifat jabariah dan
teosentris. Tunduk dan patuh pada Tuhan,
pasrah pada takdir.
·
Kurang tertarik pada ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.
·
Cenderung puas dengan apa yang sudah
ada, tidak tertarik pada persaingan
global.
Mereka yang berlatar belakang tradisionalis memandang bahwa teologi sebagai
ilmu kalam, yaitu suatu ilmu yang disiplin yang mempelajari tentang ilmu
ketuhanan, bersifat abstrak, normatif, dan skolastik. Kalangan Islam ini lebih
menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam berbagai
karya kalam klasik
Narasi Kemiskinan
Pesisir: Perlunya Reorientasi Spirit Islam
Agama mempunyai pengaruh sebagai alat integratif
dalam masyarakat di mana kegiatan beragama memiliki nilai fungsional pada
setiap aspek kesejahteraan hidup manusia.Ia berperan mengatur sistem moral dan
sosial masyarakat sehingga memungkinkan pengadaptasi dan keharmonisan di
dalamnya. Dimensi agama sesungguhnya mempunyai eksistensi dalam mendorong,
mengatur serta memaslahatkan kemakmuran baik di dunia dan akhirat.
Adapun inti
dari pemberdayaan ada tiga hal, yaitu; pengembangan (enabling),
memperkuat potensi atau daya (empowering), dan terciptanya
kemandirian.Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Setiap masyarakat
pasti memiliki daya, akan tetapi masyarakat tidak menyadari, atau bahkan belum
diketahui. Oleh karena itu, daya harus digali, dan kemudian dikembangkan.
Islam memang
tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang spirit of capitalism[9].Namun,
di dalam Islam sendiri digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi),
dan tidak cengeng.Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun Hadits
yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian
ini, seperti; “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan
cucuran keringatnya sendiri, ‘amalurrajuli biyadihi(HR.Abu Dawud)”.
“Tangan di
atas lebih baik dari tangan di bawah”; “al yad al ‘ulya khairun min al yad
al sufla”(HR.Bukhari dan Muslim). Melalui bahasa yang sangat simbolik ini
Nabi mendorong umatnya untuk kerja keras agar memiliki kekayaan, sehingga dapat
memberikan sesuatu pada orang lain, atuzzakah. (Q.S. Nisa : 77).
Selain itu,
dalam sebuah ayat Allah mengatakan, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang
yang beriman akan melihat pekerjaan kamu”(Q.S. at-Taubah : 105). Oleh
karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka
bumi dan carilah karunia (rizki) Allah.(Q.S. al-Jumu’ah : 10)
Bahkan sabda
Nabi, “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan kewajiban
setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi). Nash ini jelas memberikan isyarat agar
manusia bekerja keras dan dapat hidup dengan mandiri.
Kemauan yang
keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang
akan berhasil apabila mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang
untuk memperbaiki nasibnya. Allah pun memerintahkan umatnya untuk tawakkal dan
bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi intinya adalah inisiatif,
motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas untuk perbaikan hidup.
Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan memohon perlindungan
kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena Dialah yang menentukan
akhir dari setiap usaha
Lebih lanjut lagi, maka tidak dikenal dikotomi antara dunia dan akhirat;
agama dan iptek. Karena jelas, agama adalah spirit yang memberi arah kemajuan
dan penggunaan iptek. Di dalam konteks individu, Islam sangat mendorong
ummatnya untuk belajar dan memiliki pengetahuan (learning society).Sehingga menghabiskan waktu tanpa mendapatkan
ilmu, memperoleh ijazah tanpa ilmu atau mendapat amanah sebelum menguasai ilmu
adalah tercela. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang menempuh jalan untuk
mencari ilmu, Allah pasti akan memudahkannya menempuh jalan menuju surga” (HR
Turmidzi) "Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. Siapa saja
yang mempelajari ilmu, dia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya
tanpa mengurangi pahala orang tersebut,” (HR Ibnu Majah).
Program pengajian atau Taklim yang bersifat progresif dan membawa pada arah
kemajuan ialahselain sebagai sarana menyebar ilmu,
juga sebagai pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan.Di taklim tidak hanya
diajarkan ilmu ibadah, tetapi juga ilmu sosial, ilmu umum, hingga ilmupolitik.
Kegiatan enterpreunership
dapat disisipkan pula dalam kegiatan pengajian. Bekerja
keras sendiri merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut
Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki),
tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan
kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang
besar. Kata rizki memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus reziko (baca; resiko).
Dalam
sejarahnya Nabi Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para
pedagang dan entrepre mancanegara yang pawai.Beliau adalah praktisi
ekonomi dan sosok tauladan bagi umat.Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah asing
jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat
Islam itu sendiri. Bukanlah Islam adalah agama kaum pedagang, disebarkan ke
seluruh dunia setidaknya sampai abad ke -13 M, oleh para pedagang muslim.
Dari
aktivitas perdagangan yang dilakukan, Nabi dan sebagian besar sahabat telah
meubah pandangan dunia bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada
kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang
banyak, melainkan pada pekerjaan.
Oleh karena
itu, Nabi juga bersabda “Innallaha yuhibbul muhtarif” (sesungguhnya
Allah sangat mencintai orang yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan).Umar
Ibnu Khattab mengatakan sebaliknya bahwa, “Aku benci salah seorang di antara
kalian yang tidak mau bekerja yang menyangkut urusan dunia.
Keberadaan
Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang. Di samping
menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini juga mewariskan keahlian
berdagang khususnya kepada masyarakat pesisir. Di wilayah Pantura, misalnya,
sebagian besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan
mengaji dan berbisnis sudah menjadi satu istilah yang sangat akrab dan menyatu
sehingga muncul istilah yang sangat terkenal jigang (ngaji dan dagang).
Apa yang
tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa etos bisnis yang
dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata lain Islam dan
berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah apa yang
disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di dalamnya terdapat 90
persen pintu rizki” (HR. Ahmad).
Kesimpulan
Weber
mengatakan bahwa praktek-praktek
sufistik Islam yang pada umumnya mengesankan sikap ‘melupakan dunia’. Padahal Islam sendiri merupakan sebuah agama serba mencakup.
Begitupula dalam ajarannya mengenai semangat untuk memperoleh kekayaan agar
dapat dimanfaatkan gunanya bagi ummat.
Namun
implementasi majelis taklim sebagai bentuk kereligiusitasan masyarakat Desa
Tanjung Burung bersifat stagnan terhadap usahanya dalam memperoleh kesuksesan
dunia secara ekonomi. Maksudnya ialah, terjadi dikotomi antara kegiatan
keduniawian dan akhirat. Sehingga
yang kemudian terjadi ialah, eksistensi majelis taklim tidak dapat menjadi
jembatan transformasi untuk menghancurkan kelanggengan kemiskinan yang terjadi
di Desa.
Majelis
taklim dipandang sebagai upaya mengisi kekosongan waktu atau sebagai ritual
belaka,serta sebagai ruang sosialisasi, selain sebagai media mencari ilmu
religi. Ibu-ibu tergabung dalam pengajian ini karena tidak memiliki pekerjaan
khusus yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi perempuan,
padahal keadaan perekonomian keluarga semakin memburuk. Secara keilmuan,
pengetahuan mereka sedikit berkembang karena adanya pendidikan fiqih dan tauhid.
Tidak adanya spirit of capitalism dapat terlihat pada masyarakat Desa Tanjung
Burung, sekalipun sebagian kaum perempuan tergabung dalam majelis taklim. Ummat dikekang oleh stigma kepasrahan
dan keridhoan kepada illahi.
Diharapkan majelis taklim selain sebagai
sarana menyebar ilmu, juga sebagai pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan. Di
majelis taklim tidak hanya diajarkan ilmu ibadah, tetapi juga ilmu sosial, ilmu
umum, hingga ilmupolitik.
Referensi
Arsip Sekretaris Desa Tanjung Burung tahun 2011
Turner, Bryan S.
2012. Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer. Yogyakarta: IRCiSoD.
http://khoirulfuadi.blogspot.com/2010/10/pemikiran-amartya-k-sen-mengenai.html diakses pada 10 Mei 2012
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/04/tauhid-dan-gerakan-transformasi-sosial.html
[2] Berdasarkan profil desa tahun 2011 yang diperoleh dari Sekretaris
Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang
[4]Hedonisme yang dimaksud Weber
nampak pada kenyataan Islam yang mengutamakan kesenangan dan kebahagiaan dalam
hidup, khususnya terhadap wanita, kemewahan dan harta benda.
[6]ibid
[7]Ibid
[8]Walaupun berdasarkan penelitian ada pula Majelis taklim/pengajian
untuk laki-laki (Bapak-bapak) namun yang difokuskan kelompok ialah Majelis
taklim untuk Ibu-ibu.
[9] Istilah yang digunakan oleh Weber dalam literaturnya ‘Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme’
Terima kasih telah membantu berbagi tulisan ini. Semoga bermanfaat
BalasHapus